Recommended

Titik Nol 37: Kota Cantik

Lapangan Durbar di Patan (AGUSTINUS WIBOWO)

Lapangan Durbar di Patan (AGUSTINUS WIBOWO)

Pagi-pagi sekali, keluarga Pushkar Baral sudah sibuk sekali. Istrinya bangun sejak subuh, sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Anak-anak bersiap masuk sekolah. Pushkar dan istrinya siap-siap berangkat kerja.

Hari ini hari Minggu, tetapi bagi orang Nepal hari ini adalah hari kerja biasa. Dalam seminggu, hanya hari Sabtu mereka bisa beristirahat. Sementara Pushkar dan istrinya berangkat ke kantor, saya sendirian berkeliling bagian kuno kota Patan.

Patan hanya lima kilometer jauhnya dari Kathmandu, tetapi dulunya Patan adalah ibu kota dari kerajaan terpisah, berpasukan tangguh, dan berkebudayaan tinggi. Semuanya itu masih nampak jelas dari Lapangan Darbar yang dipunyai Patan. Gaya arsitektur bangunan di sini lebih padat, rapi, dan cantik. Patung Dewa Garud (Garuda) yang bersembah di atas tiang memberi penghormatan ke arah kuil suci.

Tak salah jika nama lain Patan lebih putis – Lalitpur, atau ‘kota cantik’.. Dibandingkan Lapangan Darbar Kathmandu, Darbar Patan penuh sesak oleh bangunan megah. Saya tak ingat lagi nama-nama bangunan di sini. Terlalu banyak. Semuanya adalah maha karya arsitektur bangsa Newa yang mendiami Lembah Kathmandu, baik Budha maupun Hindu.

Setelah datang dari Tibet, saya begitu tertarik melihat kehidupan umat Budha di Nepal. Sang Budha Gautama lahir di Lumbini, di Nepal bagian selatan. Tetapi di negara ini sekarang Hindu adalah mayoritas dan Nepal adalah satu-satunya negara di dunia yang menjadikan Hindu sebagai agama negara. Budha Nepal, termasuk aliran Mahayana Vajrayana, walaupun bukan mayoritas tetapi masih sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Kuil Budha juga dikunjungi oleh umat Hindu, dan umat Budha pun datang merayakan hari-hari besar Hindu. Dewi hidup yang dipuja oleh orang Hindu adalah gadis kecil dari keluarga Budha. Umat Budha Newari pun menganut sistem kasta seperti orang Hindu.

Kuil Emas umat Budha. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kuil Emas umat Budha. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kuil Emas di Patan, nama resminya Hiranya Varna Mahavihar, adalah kuil Budha. Pagodanya mengilap, memantulkan warna emas yang menakjubkan. Patung-patung Budha dari emas terpahat di sana-sini, mengundang decak kagum betapa gemilangnya masa lalu negara ini. Bikuni memimpin umat bersembahyang di hadapan patung Bodhisatva Avalokiteshvara. Api kecil menyala dari barisan ratusan cawan minyak mentega.

Di tengah suasana yang serba Budhis ini, para wanita berpakaian sari dengan titik merah tika di dahinya -pertanda habis melaksanakan puja-, sibuk menyiapkan sesaji. Patung Hanuman dari emas berkalung untaian bunga. Tradisi Hindu hidup bersama dengan ritual Budha, mentahbiskan uniknya Hindu dan Budha versi Newari.

Di pagi hari yang sejuk ini, penduduk Patan duduk-duduk di sekeliling bangunan kuno, bercengkerama menghabiskan waktu. Gaya hidup mereka nampaknya jauh lebih santai daripada penduduk Kathmandu yang dikejar beban hidup. Berjalan-jalan di lapangan Patan, saya boleh melupakan para calo, penjaja layanan guide dan porter, penawar hotel, pedagang suvenir, dan semua jenis pekerjaan yang bersuka cita mengeruk keuntungan dari turis di padatnya Thamel ataupun Hanuman Dhoka.

Patan adalah kota tertua di Lembah Kathmandu. Manjupatan, nenek moyang kota Patan, sudah ada bahkan ketika Kathmandu masih berupa danau. Peradabannya yang lebih kuno, penduduknya yang berbakat menjadi artis, dan gaya hidupnya yang santai, mungkin adalah faktor utama mengapa kota ini dulunya sangat berjaya. Pengaruh Budhisme juga mungkin menyebabkan kota ini lebih tenang dan damai, jauh bila dibandingan dengan hingar bingar Kathmandu.

 Sembahyang pagi hari. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sembahyang pagi hari. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Berbeda dengan penduduk Kathmandu yang lebih menghargai uang dan keberhasilan, penduduk Patan lebih menghargai kenyamanan hidup,” kata Pushkar.

Saya sebenarnya iri dengan kenikmatan para pemuda dan pemudi Patan di pagi hari. Mereka beramai-ramai ke pancuran, mirip dengan pemandian suci di Bali. Pancuran seperti ini ada di mana-mana, sebenarnya merupakan pancuran air suci di dekat kuil, tetapi juga merupakan sarana mandi utama bagi penduduk yang tak punya kamar mandi di rumah. Para pemuda datang membawa timba kecil berisi sikat gigi, odol, shampo, dan sabun.

Para pemuda memakai celana kombor, kaum perempuan berbalut sarung. Pemuda di pancuran sebelah kanan, dan pemudi di kiri. Air segar terus mengalir dari pancuran batu berbentuk naga. Mereka bersenda gurau selama menikmati ritual mandi segar di pagi hari. Bukan hanya menggosok badan sendiri, para pemuda juga saling menggosok punggung kawannya – sebuah wujud persaudaraan yang begitu tulus.

Ah…. betapa rindunya suasana seperti ini. Canda, tawa, kegembiraan di bawah pancuran itu begitu tulus, nyaris tanpa beban, walaupun hidup penuh dengan kesederhanaan.

Pancuran kepala naga ini juga menjadi sumber air bagi penduduk sekitar. Orang membawa kendi, diisi air suci, untuk kebutuhan sehari-hari di rumah. Nepal termasuk salah satu negara termiskin di dunia. Di ibu kota seperti Kathmandu pun banyak perumahan penduduk yang tidak terjangkau air bersih. Pancuran dan pompa air komunal masih menjadi andalan.

Mandi bersama. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mandi bersama. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi di balik kemiskinan itu, saya tidak merasakan keputusasaan. Yang ada adalah keramahan, kenyamanan, dan senyuman yang tiada henti. Penduduk larut dalam ketakwaan, sepanjang hari kuil ramai dikunjungi orang yang memberikan sesaji untuk dewa-dewi mereka.

Walaupun miskin, kasus pencopetan dan perampokan sangat jarang. Saya merasakan keamanan berjalan sendirian menyusuri gang-gang kecil di kota asing ini. Sebuah rasa nyaman yang sudah langka di tengah belantara Jakarta.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 September 2008

2 Comments on Titik Nol 37: Kota Cantik

  1. Hehehe.. Saya sudah baca buku anda, tapi selama anda menulis seperti ini di facebook saya tak ingat itu ada di buku anda. Dan baru tulisan ini yang mengingatkan saya. Hehehe..

  2. Hmm,, saya semakin tertarik membaca tentang kehidupan Sidartha Gotama, seperti apa ya rasanya berada di tempat kelahiran sang pangeran di Taman Lumbini

Leave a comment

Your email address will not be published.


*