Recommended

Titik Nol 41: Ceroboh

Keamanan di Nepal terbilang sangat baik. (AGUSTINUS WIBOWO)

Keamanan di Nepal terbilang sangat baik. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tak ada satu kata lagi yang lebih tepat untuk mendeskripsikan diri saya – ceroboh. Pelajaran hari ini membuat saya kembali bertanya pada diri sendiri, mampukah saya mewujudkan mimpi saya melihat dunia?

Daerah Thamel memang surganya para backpacker. Apa lagi yang kurang di sini? Losmen murah bertaburan. Restoran yang menjual segala jenis makanan mulai dari dal bat Nepal, thali India,  bakmi China, spageti Italia, sampai humus Israel dan tortilla Meksiko, dari teh susu sampai tequila. Mau cuci baju? Laundry yang siap menerima baju kotor kiloan pun berjajar. Toko buku murah punya koleksi selengkap perpustakaan, menawarkan bau-bau misteri surga Shangri-la di lekukan Himalaya. Yang kangen Indonesia bahkan bisa beli shampo lidah buaya diimpor langsung dari Nusantara. Mau Internet? Ini apa lagi, murah meriah. Sepuluh Rupee per jam dengan kecepatan yang lumayan banter.

Sejak dari Tibet yang penuh perjuangan berat, ditambah lagi suntuk karena tidak bisa memotret dengan kamera yang separuh rusak, saya akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu di warung Internet murah di sebuah sudut Thamel. Tempat ini bagaikan surga bagi orang malas seperti saya. Warnet, warung, hotel adalah habitat saya selama berhari-hari.

Dari sore sampai malam saya berselancar di dunia maya, sebuah kemewahan yang tak berani saya bayangkan di Tibet di luar kota Lhasa. Empat jam duduk di depan komputer berbahaya – punggung langsung bongkok, mata berkunang-kunang, kepala pusing.

Dengan langkah sempoyongan dimabuk internet, saya kembali ke losmen di belakang gang.

Sejak tinggal di tempat murah ini, saya jadi malas ke mana-mana. Ibu losmen baik hati, sering bercanda dan ketawa. Keponakannya dan para pegawainya adalah pecandu acara gulat Amerika yang sadis di televisi. Tamu-tamunya, kebanyakan backpacker bule kere, melewatkan malam dengan berbagi kisah perjalanan di India.

Saya pun semakin tersedot dalam komunitas ini. Sehabis berinternet, saya pun bergabung dengan kumpulan turis asing yang baru datang dari India. Beberapa sepertinya sudah terhalusinasi oleh Shangri La, surga di muka bumi yang entah ketemu di mana. Pria bule berjenggot tak terawat, mengabdikan dirinya sebagai biksu, datang ke Nepal hanya untuk mengurus visa kembali ke India. Pandangan matanya kosong, bicaranya berbunga-bunga penuh mimpi negeri khayalan, nadanya mengambang. Menjelang malam, mereka mengajak saya ke atap rumah. Di atas charpoy, si biksu dan kawannya yang perempuan bersama-sama mengisap ganja – menyelami kenikmatan surga.

Bukan dunia saya. Hanya sebentar saya di atap rumah, menyaksikan pasangan biksu nyasar itu dimabuk kenikmatan, saya kembali ke kamar. Menulis buku harian. Tak banyak pula yang ditulis, selain keramaian Thamel, biksu bule yang mencari ‘kebijaksanaan Timur’ sementara orang Nepal sibuk mencari ‘kemakmuran Barat’, dan warung internet yang ramai.

Saya memejamkan mata di atas ranjang sempit ini. Betapa hari-hari saya terbuang begitu saja di Kathmandu. Tetapi saya juga perlu sedikit kenikmatan dan kesenangan di ibu kota yang nyaman dan bersahabat ini. Sungguh saya tak ingin melakukan apa-apa, kecuali bersenang-senang dan mencari kawan baru. Bukankah perjalanan di Tibet terlalu berat sehingga tidak salah kalau saya membalas dendam di Kathmandu dengan hanya berleha-leha? Apologi, apologi, dan apologi. Hati nurani saya seakan terbelah menjadi dua. Yang satu menyalahkan kemalasan saya. Satunya lagi membela mati-matian.

Begitu mata saya mulai terpejam, tiba-tiba saya terlompat. Kamera saya tidak ada di kamar!

Never Ending Peace and Love (AGUSTINUS WIBOWO)

Never Ending Peace and Love (AGUSTINUS WIBOWO)

Ini adalah kamera yang sudah rusak sejak meninggalkan Tibet. Tetapi walaupun begitu, masih bisa untuk memotret, dan satu-satunya tumpuan harapan saya untuk mengabadikan keseharian di Nepal. Bagaimana bisa hilang?

Tanpa sempat mengancingkan baju dan mengunci pitu, saya melesat ke arah warung internet. Jantung saya berdebar kencang. Nafas memburu tidak karuan.

Warung internet kosong melompong. Komputer yang tadi saya pakai sudah mati. Tak ada apa-apa. Dua jam lalu kamera saya tertinggal di sini, dan sekarang hilang!

Looking for your bag, Sir?” tiba-tiba suara pria dari belakang membuat saya terloncat. Suara itu begitu mengejutkan, tetapi membuat saya nyaris menangis penuh haru biru.

Pria itu adalah pemilik warnet.. Di atas kedua tangannya, tas mungil kamera saya bertengger. Begitu ia melihat barang saya tertinggal, tanpa tahu apa isinya, langsung diamankan di kasir. Sungguh ia orang yang jujur.

Saya langsung memeluknya, penuh dengan keharuan, tawa bercampur tangis. Sungguh tak percaya bahwa di tempat yang dipenuhi turis asing berduit tebal dikelilingi orang-orang lokal yang mengais rejeki, tempat ini masih berlimpah kejujuran. Bayangkan kalau ini terjadi di Jakarta, berapa persen kemungkinan barang berharga saya akan kembali? Di Kathmandu pun, tidak semua orang yang punya pengalaman seperti ini bisa seberuntung saya.

“Kamu ceroboh sekali,” kata pemuda pegawai losmen, “Bukan hanya kamu meninggalkan kamera di warnet, kamu juga tidak mengunci kamar. Kalau ada maling masuk, siapa yang tanggung jawab? Dan lihat bajumu itu…. tidak dikancing pula?”

Saya tertunduk malu. Di Kathmandu segala penyakit buruk saya muncul semua. Manja, malas, ceroboh, tak berguna. Apakah saya mampu mewujudkan cita-cita saya, melihat ujung Afghanistan yang keras dengan mental selembek ini?

“Coba kamu ingat-ingat ini,” kata pemuda Nepal itu, “Nepal, singkatan dari Never Ending Peace and Love, negeri kami penduduknya jujur dan penuh cinta kasih. India, itu singkatan I Never Do It Again. Di Nepal kamu masih bisa selamat. Di India, jangan harap!”

I Never Do It Again. Saya berjanji untuk tidak mengulanginya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 29 September 2008

3 Comments on Titik Nol 41: Ceroboh

  1. Buku mas agustinus yg judulny garis batas sulit sekali di dapat..

  2. Banyak kok mbak Di gramedia

  3. Never ending peace and love! wkwkwkw I never do it again….

Leave a comment

Your email address will not be published.


*