Recommended

Daru 22 Agustus 2014: Mengapa Harus Ada Batas di Antara Kita?

Para pelajar Daru High School (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang guru bahasa Inggris di Daru High School bertanya pada saya tentang Indonesia. Dia ingin memastikan kabar yang dia dengar: “Orang-orang putih” (maksudnya orang Asia termasuk Jawa) di Indonesia membutuhkan tengkorak manusia untuk membangun gedung tinggi dan jembatan; tumbal itu bikin mereka “orang putih” semakin kaya dan semakin sukses dibanding orang hitam. Di Daru, dia bilang, tahun kemarin beredar kabar bahwa orang Indonesia banyak menyelinap ke Papua Nugini untuk membunuhi orang sini, lalu diambil kepalanya buat membangun rumah dan jembatan di Merauke sana, dan membuang begitu saja mayat tanpa kepala itu ke hutan atau pulau.

Saya syok. “Dan kau percaya itu?”

“Semua orang heboh. Sampai tak berani keluar rumah, khawatir dibunuh orang Indonesia,” katanya. Bahkan orangtua menasihati anak yang nakal atau keluar malam dengan: “Awas nanti ada Indonesia.”

Ini rumor zaman batu yang beredar di abad milenium, dan herannya, orang percaya. Sangat percaya. Indonesia menjadi nama horor, bagai hantu yang bisa datang sekonyong-konyong mencabut nyawa.

Indonesia menjadi nama untuk menakuti anak yang nakal (AGUSTINUS WIBOWO)

Indonesia menjadi nama untuk menakuti anak yang nakal (AGUSTINUS WIBOWO)

Warga Daru sempat ketakutan mendengar rumor tentang pemburu kepala manusia dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO)

Warga Daru sempat ketakutan mendengar rumor tentang pemburu kepala manusia dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO)

Rumor ini membuat saya sedikit bimbang ketika memenuhi undangan Mekha dan guru-guru lainnya untuk berbicara di depan murid-murid kelas XI di Daru High School. Topik yang diminta adalah: isu perbatasan.

Saya lebih menginginkan kelas ini sebagai forum diskusi. Yang pertama saya lakukan adalah menggambar peta Indonesia di papan tulis, juga perbatasan dengan Papua Nugini yang berupa garis lurus dari utara ke selatan. “Apa yang aneh dengan perbatasan ini?” saya bertanya pada mereka.

Tidak ada dari tiga ratusan siswa, laki-laki dan perempuan, yang memenuhi ruang kelas besar berlantai ubin putih ini yang menjawab. Mereka hanya menatap saya nanar. Pertanyaan saya bagaikan batu yang dilempar ke dasar danau. Saya terpaksa menjawab sendiri. “Tidak satu sentimeter pun dari garis batas kita, Indonesia ataupun Papua Nugini, yang diciptakan oleh negeri kita sendiri. Kita adalah bangsa terjajah, garis batas kita adalah buah tangan penjajah yang puluhan ribu kilometer jauhnya, dan kita sekarang harus menjalani takdir garis batas yang digambarkan orang-orang kulit putih itu.”

Indonesia adalah produk penjajahan Belanda. Sedangkan Papua Nugini semula adalah dua daerah jajahan terpisah: Papua dan Nugini. Papua adalah koloni Australia (dan Australia adalah koloni Inggris), sedangkan Nugini di utara adalah jajahan Jerman. Daru dan daerah pesisir termasuk Port Moresby adalah bagian dari Teritori Papua di bawah Australia, sehingga mereka berbahasa Inggris dengan sangat baik dan jarang menggunakan bahasa Pidgin (Inggris Rusak) Tok Pisin yang banyak dipakai di daerah utara bekas jajahan Jerman. Di antara Papua dan Nugini dulu ada garis perbatasan, mereka juga tidak boleh bebas melintas, karena ini seperti dua negara berbeda. Pada tahun 1920, Australia memegang kontrol atas Nugini, dan pada tahun 1949 seluruh wilayah ini disatukan dengan nama “Teritori Papua dan Nugini”; kata “dan” itu baru dihapus pada tahun 1972. Tetapi garis batas antara Papua dan Nugini tetap berlaku hingga kemerdekaan Papua Nugini di tahun 1975.

Garis yang memisahkan Papua di sisi Indonesia dengan Papua Nugini juga adalah peninggalan dari masa penjajahan itu, ketika para imperialis rakus mengiris pulau Nugini tanpa pernah sungguh menginjakkan kaki ke daerah yang mereka klaim telah mereka kuasai. Jadilah perbatasan yang seperti penggaris tepat di tengah pulau, memisahkan Belanda di barat dengan Jerman dan Inggris di timur.

“Siapa yang tahu apa gunanya garis batas?” saya bertanya.

Senyap.

Para guru sibuk memotivasi para siswa untuk menjawab. Ini kesempatan langka, kata mereka, ada orang dari seberang perbatasan bicara soal perbatasan.

Seorang siswa laki-laki mengacungkan tangan. Dia berkata, “Kami tidak mau perbatasan. Kami mau perbatasan ini dihapus.”

“Kenapa?”

“Karena garis batas membuat kita tidak bisa saling mengenal satu sama lain.” Siswa laki-laki ini berasal dari Distrik Morehead, di ujung barat Western Province yang berbatasan langsung dengan Merauke, dan pernah pergi ke sana untuk berbelanja. Cukup banyak siswa di Daru High School ini yang berasal dari kawasan perbatasan dan bisa sedikit-sedikit bahasa Indonesia.

Berdiskusi tentang perbatasan bersama murid-murid kelas XI di Daru (AGUSTINUS WIBOWO)

Berdiskusi tentang perbatasan bersama murid-murid kelas XI di Daru (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka ingin pendidikan yang lebih baik (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka ingin pendidikan yang lebih baik (AGUSTINUS WIBOWO)

Bahkan sandal jepit dan sepatu pun adalah kemewahan di sini (AGUSTINUS WIBOWO)

Bahkan sandal jepit dan sepatu pun adalah kemewahan di sini (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang siswa yang lain mengatakan, kalau perbatasan dibuka bebas, maka mereka akan bisa pergi ke sekolah, pergi ke pasar, pergi ke rumah sakit di sisi Indonesia. Karena di Papua Nugini ini hampir tidak ada layanan apa-apa.

“Kami mau infrastruktur,” kata Mr. Namorong, guru hukum yang berasal dari Morehead, menggebu-gebu, “Kami ingin seperti Wutung”—perbatasan antara Papua Nugini dan Indonesia di dekat Jayapura yang dibuka resmi—“Saya ingin anak-anak kami bisa belajar di seberang perbatasan sana. Saya mau mereka belajar Bahasa Indonesia dan teknologi. Setidaknya, kami bisa belajar membangun rumah dengan batu bata seperti di Indonesia, supaya bisa kuat lebih dari 20 tahun, sedangkan di sini rumah kami hanya dari kayu dan harus dihancurkan setelah 10 tahun. Ke Indonesia lebih murah, ke Port Moresby terlalu jauh dan mahal, perlu ribuan kina.”

Tapi ada juga dari beberapa siswa itu yang mengatakan tidak setuju perbatasan ini dibuka. Alasannya? Mereka khawatir perdagangan ilegal, narkotika, kriminal, dan pembunuhan..

“Perbatasan,” kata saya, “adalah membutuhkan keuntungan dan minimalisasi kerugian dari dua pihak. Jika perbatasan hanya menguntungkan satu pihak saja, sulit perbatasan akan dibuka.” Saya teringat seorang diplomat Indonesia yang berkata pada saya tentang perbatasan di sisi Merauke ini: “Kalau kita buka, lalu apa yang ada di seberang perbatasan sana? Hanya ada rawa, bukan?” Indonesia masih mempertimbangkan pembukaan perbatasan di daerah ini, juga masih enggan memenuhi permintaan Papua Nugini untuk memberikan fasilitas bebas visa.

Mr. Jamie Namorong menangkis, “Masalah terbesar kami ada akses. Kami mau pelabuhan, sehingga Indonesia bisa membeli tapioka dan ikan dari kami. Kami juga bisa jual nanas, keladi, ikan kakap, daging rusa. Saya tahu di Merauke permintaannya besar sekali, kami bisa menurunkan harga di sana. Kami akan menguntungkan Indonesia juga. Tidakkah kau bisa mengizinkan orang-orang dari pedesaan di sekitar perbatasan menyeberang bebas ke sana?”

“Sayangnya, saya sama sekali bukan orang yang berwenang,” kata saya.

“Masalah terbesar kami adalah akses. Kami tidak tahu Indonesia, walaupun kami di atas pulau yang sama, berbagi perbatasan dan memiliki sistem wantok yang sama. Kalau ada hubungan yang bagus antara Indonesia dan Papua Nugini, kami bisa mendatangkan turis dari Indonesia.”

Kelas yang semula sunyi senyap kini semakin meriah, dengan para siswa juga ikut berdiskusi.

“Kami mau bisnis di Jakarta dan Jayapura,” kata yang satu.

“Sekolah…”

“Rumah sakit…”

“Pasar…”

Pembukaan perbatasan dengan Indonesia akan membuka kesempatan baru bagi mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Pembukaan perbatasan dengan Indonesia akan membuka kesempatan baru bagi mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Keamanan yang buruk di Daru membuat malam sangat mencekam (AGUSTINUS WIBOWO)

Keamanan yang buruk di Daru membuat malam sangat mencekam (AGUSTINUS WIBOWO)

Tentang keamanan di kawasan perbatasan, saya bertanya pada Mr. Manorong berapa jumlah polisi yang ada di Distrik Morehead.

“Saya tidak tahu pasti. Mungkin kurang dari satu,” katanya.

“Kurang dari satu? Maksudnya?”

“Nol atau satu.”

Daru terletak di persimpangan dua perbatasan sekaligus: Indonesia dan Australia. Terlepas dari posisinya yang teramat vital, mereka bilang di Daru hanya ada delapan polisi. Saya bertanya tentang bagaimana mereka bisa menangani banyaknya pedagang ilegal yang masuk dari Merauke, Indonesia. Juga tentang isu bahwa orang Indonesia masuk untuk membunuhi orang Papua Nugini.

“Pasti ada konspirasi,” kata Mr. Manorong, “Papua Nugini selama ini mengandalkan Kebijakan Lihat Selatan, menggantungkan pada Australia dan Selandia Baru. Tetapi ketika kami mulai beralih pada Kebijakan Lihat Utara, berhubungan dengan negara-negara Asia, maka Australia gemetar.”

Komentarnya yang tidak menjawab pertanyaan saya secara langsung itu membuat saya berpikir, isu-isu negatif tentang Indonesia di sini itu tidak datang sekonyong-konyong. Ketakutan bahwa Indonesia adalah negara komunis dan orang-orang Indonesia akan datang membunuh mereka, tentu ada yang menciptakan, dan ada tujuannya. Walaupun sekarang kita tidak bisa main tunjuk hidung siapa dan apa di balik isu itu.

“Dan itu berarti, Australia masih berpengaruh mengurusi kebijakan di Papua Nugini?” saya bertanya.

“Australia harusnya berhenti mencampuri urusan kami, berhenti menaruh kami di dalam kurungan,” kata seorang guru bahasa Inggris bernama Pisae, “Bahkan kami sudah merdeka sekian lama, mereka masih mencampuri urusan kami. Sekarang, waktunya kami memutuskan sendiri.”

“Lihatlah Indonesia itu,” kata Manorong, “Di atas pulau yang sama, di seberang sisi perbatasan sana, Indonesia bisa menanam padi. Di sini Australia memberitahu kami untuk tidak menanam padi, katanya tanah kami tidak bisa ditanami padi. Akhirnya, kami terpaksa harus mengimpor padi dari Australia!”

Setelah hubungan dagang dengan China dan Indonesia, barang kebutuhan sehari-hari jauh lebih murah daripada ketika semua harus diimpor dari Australia.

Olahraga favorit di sini juga dibawa oleh orang Australia: rugby (AGUSTINUS WIBOWO)

Olahraga favorit di sini juga dibawa oleh orang Australia: rugby (AGUSTINUS WIBOWO)

Siap berangkat (AGUSTINUS WIBOWO)

Siap berangkat (AGUSTINUS WIBOWO)

Walaupun Papua Nugini sudah menjadi negara merdeka, urusan keamanan dan perbatasan masih dikendalikan oleh Australia. Sejumlah posisi penting di kementerian, kepolisian, pendidikan, bahkan militer ditempati orang Australia. Saya mendengar dari diplomat-diplomat Indonesia, sulit sekali membuat perjanjian dengan Papua Nugini tentang isu perbatasan ini. Jika tahun ini mereka setuju, tahun depan tiba-tiba mereka batalkan sehingga perundingan harus dimulai dari nol lagi. Itulah asal lelucon di kalangan diplomat Indonesia, bahwa PNG adalah singkatan dari Promise Not Guaranteed. Dicurigai, ada “negara ketiga” yang tidak suka pada hubungan kedua negara ini.

Perbatasan tak pernah berhenti memikat saya. Sebuah coretan garis di atas peta, di dunia nyata adalah sebuah realita yang menentukan nasib manusia yang hidup di kedua sisinya. Kenyataannya, kita rakyat jelata juga tak punya kuasa apa-apa terhadap garis batas yang juga menjadi batas nasib kita.

Keluar dari ruangan kelas ini setelah dua jam berbicara, kepala saya teramat berat. Saya menuju kantin sekolah, mencari minuman. Begitu senang saya menemukan di ruang sempit itu berjajar sederet susu kotak bermerek Indomilk ukuran yang paling kecil.

“Indomilk? Indomilk dari Indonesia?” saya antusias bertanya.

Pemuda yang menjaga kantin itu menggeleng. “Sorry. No Indonesia Indomilk. We just have chocolate Indomilk.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

29 Comments on Daru 22 Agustus 2014: Mengapa Harus Ada Batas di Antara Kita?

  1. kasian ya PNG, mau aja diboongin Australi kalo mereka gabisa nanem padi…

  2. iya ini beneran terjadi. di wilayah kami Maluku utara pun setahun yg lalu pd saat pembuatan jembatan. byk anak kecil yg hilang pas di temukan hny bdn nya sj. kepala mereka hilang. . rumor yg beredar kepala anak2 tsb dipake untk pembuatan jembatan :'(

    • Baru tau saya ada hal begituan mba, ngeri juga

    • Anda lihat sendiri atau hanya katanya mbak….

    • Kalau memang iya kenapa tidak heboh di media..???apalagi media online kan biasa nya hal2 seperti itu akan cepat sekali tersebar apalagi di media online…???saya ragu tentang ini.

    • Dika Purnasucita // November 23, 2018 at 9:41 am // Reply

      Cerita tumbal seperti ini juga sering saya dengar ketika masih kecil dulu. Saya tinggal di Jawa Barat.
      Dan pernah juga ada cerita bahwa di setiap pengeboran minyak (Pertamina atau apapun) harus memberikan tumbal anak kecil. Bahkan anak petinggi di proyek tersebut. Saya tidak melihat atau mendengar langsung, mungkin hanya hoax belaka. Tapi cukup mengerikan juga jika memang masih terjadi hal seperti itu di zaman modern ini

  3. Astaghfirrllah haladziim…..laaaah kok keserakahan segelintir orang2 Indonesia diberitaken sangat biadab di sana mase? meskipun bisa diartikan bhwa segelintir orang kita yg tega bunuh sodara demi uang…tapi ngeri jug n miris kalau berita ne sesadis itu

  4. Jadi teringat lagu Anthem of chess

  5. sll saja ada prasangka buruk pd hal-hal yg kita tak ketahui.

  6. indomilk indomie indocoffee indofood

  7. Membaca ini, serasa Indonesia keren sekaliiii…

  8. Norwegia dan Polandia, dua-duanya negara anggota Schengen yang berarti memiliki sistem imigrasi dan visa rumit, mengizinkan penduduk negara tetangganya, masing-maisng Rusia dan Ukraina, yang tinggal di daerah perbatasan untuk melakukan kunjungan terbatas (hanya beberapa kilometer dari perbatasan negara). Tujuannya? Untuk memudahkan perdagangan (Polandia-Ukraina) dan melanjutkan hubungan kebudayaan (Norwegia-Rusia – kebudayaan Sami). Mungkinkah pengecualian terbatas seperti itu diterapkan di perbatasan Indonesia-PNG?

    Kalau hanya mengapa kita perlu dokumen seabrek untuk menyeberangi batas dua negara, salahkan Gavrilo Princip. Cita-citanya tercapai tapi menyengsarakan manusia-manusia lain.

    • Di antara Indonesia dan PNG sudah diterapkan “border pass” untuk kunjungan tradisional, dan memang hanya warga asli yang tinggal beberapa kilometer dari perbatasan yang diizinkan melintas. Untuk aktivitas selain kunjungan keluarga dan membeli kebutuhan sehari-hari (termasuk sekolah dll), dilarang menggunakan border pass, harus menggunakan visa dan itu sulit sekali karena harus menempuh perjalanan jauh ke ibukota, dan tidak bisa menyeberang melalui perbatasan tradisional. Nanti pelan-pelan akan saya ceritakan lebih lanjut tentang permasalahan perbatasan RI-PNG dalam catatan blog berikutnya. Terima kasih 🙂

    • Ya kalau melihat itu kan harus menguntungkan kedua belah pihak kalau hanya menguntungkan satu pihak apa mau yang satu pihak tidak mendapat kan untung..???di tulisan di atas kan sudah ada bahwa Papua Nugini cuma lihat rawa doang..!!

  9. Tak hanya di Daru, di Bali Utara pun saya pernah dengar rumor yang sama di lokasi pembangunan bendungan. Katanya biar pengerjaannya lancar dan kontruksinya kuat
    Benar tidaknya, entahlah.

  10. ternyata papua nugini masih “dijajah” aus, sampai urusan menanam padi pun diatur mereka…

  11. Masyaallah….terima kasih Agus untuk tulisan2nya. Membuat saya makin bersyukur jadi orang Indonesia.

  12. Keterlaluan, serendah itukah pandangan mereka terhadap Indonesia?

  13. Kutipan ini :
    “Orang-orang putih” (maksudnya orang Asia termasuk Jawa) di Indonesia membutuhkan tengkorak manusia untuk membangun gedung tinggi dan jembatan; tumbal itu bikin mereka “orang putih” semakin kaya dan semakin sukses dibanding orang hitam. Di Daru, dia bilang, tahun kemarin beredar kabar bahwa orang Indonesia banyak menyelinap ke Papua Nugini untuk membunuhi orang sini, lalu diambil kepalanya buat membangun rumah dan jembatan di Merauke sana, dan membuang begitu saja mayat tanpa kepala itu ke hutan atau pulau”.
    Adalah cerita miring yg sdh sgt lama berhembus di Papua. Masa kecil sy sebagian dihabiskan di Kota Merauke tepatnya dr thn 1983-1989 wkt sy msh SD. Dan isu tsb sdh sy dengar bahkan ketika sy blm tau apa2 mengenai politik. Sungguh miris, bertahun2 ternyata iau ini bertahan.

  14. Can you please translate all of these kinds of articles into English? Because I really want them to be shared to foreigners.
    Thanks

  15. Tulisannya menarik sekali, melihat tidak yang kita lihat. merasakan yang tidak kita rasakan. Saya pikir kehidupan disitu hanya terletak pada film, tetapi disana juga ada. isu kemanusian, isu kemakmuran. Nice post mas.

    salam kenal

  16. Tulisan yang mencerahkan Mas.
    Saya suka ini

  17. Fadil Caniago // January 17, 2022 at 5:00 pm // Reply

    Tulisan yang menarik

  18. Tulisan yang mencerahkan. Betapa garis imajiner bisa berdampak besar ke alam materi.
    Terima kasih.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*