Recommended

Titik Nol 47: Pernikahan Seorang Kawan

Gorkha, alamnya seperti Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO)

Gorkha, alamnya seperti Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kami sampai di kota Gorkha, asal muasal nama tentara Gurkha yang termasyhur di seluruh dunia itu. Bukan untuk mencari pasukan, tetapi untuk menonton acara pernikahan.

Namanya Deepak. Umurnya seumuran dengan saya. Ia bicara bahasa Melayu patah-patah, tetapi lagak bicaranya seperti bos besar saja, mungkin belajar dari majikannya di Johor Bahru.

“Nanti di Gorkha boleh tengok orang kawin, you know! Gorkha jauh sangat, you know! Nak ambil bus, sampai sana boleh tengok-tengok, you know!”

Lam Li kenal Deepak di Freak Streeet. Mereka langsung akrab, karena pengalaman Deepak bekerja di Malaysia. Seperti halnya tenaga kerja asal Indonesia, pekerja asal Nepal, India, Pakistan, dan Bangladesh pun banyak di Malaysia. Deepak cuma pekerja kasar saja di sana, jadi pelayan di toko onderdil.

Pria kerempeng berkulit gelap ini berkata bahwa ada kawannya yang menikah di dusun Gorkha. Ia mengajak Lam Li, yang mengajak Qingqing si gadis Beijing, yang kemudian mengajak saya. Jadilah rombongan kami berangkat pukul enam pagi dari Kathmandu yang masih dingin.

Gorkha terletak sekitar 150 kilometer dari ibu kota, melintasi jalan raya utama Kathmandu – Pokhara, berbelok ke utara di pertigaan Abu Karim. Walaupun dulunya pekerja kasar di Malaysia, Deepak lebih bergaya. Ia tak mau naik bus murah, takut muntah katanya. Kami terpaksa menuruti keinginannya, naik angkutan kota yang lebih mahal.

Sebenarnya bus lebih nyaman daripada naik angkutan seperti ini, di mana belasan penumpang dijejalkan dalam mobil kecil, melintasi jalan raya sempit yang berbelok-belok. Perut saya mual, sejak pagi belum makan. Sebenarnya sebelum berangkat, kami sudah menawari Deepak untuk makan terlebih dahulu di warung sebelah terminal. Tetapi pria desa ini tak mau. Airnya kotor, alasannya.

Deepak sangat pemilih dalam hal makanan karena ia berasal dari kasta Brahmana. Untuk membuktikan ke-Brahmana-annya, ia menunjukkan tali putih suci yang menyilang dari pundak kanan ke pinggang kiri, melekat terus di tubuhnya sepanjang tahun. Ke-Brahmana-annya itu pula yang membuatnya rewel, tak mau makan masakan orang dari kasta yang lebih rendah.

Seorang perempuan Gorkha dan bayinya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang perempuan Gorkha dan bayinya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Berjam-jam perjalanan, akhirnya kami sampai di kampung halamannya Deepak. Wajahnya riang. Ia melompat turun mobil penuh semangat. Kami harus membayar ongkosnya karena ia beralasan tak bawa uang. Tak ada raut bersalah di wajahnya.

“Hmm… orang ini benar-benar memanfaatkan kita,” Lam Li yang selalu penuh perhitungan berkomentar, “Dia yang mau lihat orang kawin, dia pikir dengan bawa kita bisa menumpang gratis.”

Kecurigaan Lam Li mungkin ada benarnya. Sesampainya di Gorkha, kami dititipkan di rumah kakak perempuannya yang buka toko. Deepak tampak sibuk menelepon kawannya, tetapi tak ada jawaban. Kami berangkat dari Kathmandu pagi-pagi, sampai di sini hanya disuruh menunggu, karena Deepak tak tahu di mana acara pernikahan akan berlangsung. Mengapa tidak langsung saja ke rumah temannya itu? Deepak tak menjawab, santai saja ia melenggang meninggalkan kami yang cuma menunggu dipenuhi keheranan.

Beginikah caranya membawa tamu ke kampung halaman? Baru saja dua jam kami di Gorkha, Deepak yang datang dengan tangan kosong menanyakan kapan kami kembali lagi ke Kathmandu.

“Macam ia sudah bosan di sini, nak cari tumpangan percuma kembali ke ibu kota. Jangan harap!” Lam Li yang menjadi pemimpin rombongan kami sudah habis kesabarannya.

“Sudah, lupakan saja acara pernikahan itu. Saya yakin bahkan acara pernikahan itu pun cuma sekadar bualannya saja.”

Bahkan sarungnya pun dari Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bahkan sarungnya pun dari Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tanpa berpamitan dengan Deepak yang sudah menghilang lagi di kampungnya, kami memutuskan meninggalkan rumah ini, mencari penginapan murah di bukit.

Hotel Gorkha Bisauni menjulang mewah, seperti vila nyaman di pegunungan yang sejuk. Tetapi tak ada turis sama sekali, sepi tak terkira. Harga kamar yang semula ratusan Rupee, akhirnya berhasil ditawar jadi 50 Rupee saja per ranjang.

Deepak dan seorang kawannya, yang juga Brahmana, sama-sama kerempeng, dan sama-sama punya hobi memamerkan tali suci di bawah baju, akhirnya menemukan jejak kami menginap di hotel ini. Ketika Lam Li dan Qingqing pergi mandi, Deepak mendekati saya.

“Gadis cantik berambut panjang itu, siapa? Orang Cina kah? You know, saya tengok dia, suka betul. Apa nama dia?”

Dengan gaya bicaranya yang seperti majikan, ditambah wajah polos dan seringai yang aneh, Deepak berkata, “You know, kami berdua juga nak tinggal di kamar ini. Boleh tak?” Lam Li menjawab tegas, “NO!”

Kami berpura-pura hendak beristirahat, akhirnya berhasil juga membujuk Deepak dan kawannya itu pulang. Lepas juga dari incaran mereka. Setelah yakin kedua orang itu sudah tak ada di sekitar hotel, kami mengendap-endap ke arah bukit di utara.

Pedesaan Gorkha seperti Indonesia. Bentuk bukit-bukit hijau diselimuti awan mengingatkan saya pada lanskap Sumatra. Kaum perempuan di desa ini suka memakai sarung, yang motifnya persis sama dengan di Indonesia.

Perempuan Gorkha dengan beban berat di kepala (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan Gorkha dengan beban berat di kepala (AGUSTINUS WIBOWO)

Di pasar desa, barisan sarung batik dijajar. Labelnya masih belum dilepas, tertulis besar-besar dalam bahasa Indonesia: “Terima kasih atas kepercayaan Bapak/Ibu/Saudara yang telah memilih hasil produksi kami.” Sembilan puluh persen buatan Yogyakarta. Sisanya produk Singapura dan Malaysia.

Nuansa Asia Tenggara lebih kental lagi. Anak-anak sekolah dasar Nepal seragamnya persis sama dengan seragam SD Indonesia – baju putih, bawahan merah, bahkan dasinya pun merah. Dua jam jalan santai di perkampungan, kami sudah berjumpa enam lelaki yang fasih berbahasa Melayu.

“Macam bukan ada di Nepal saja, macam lagi di Malaysia. Seram betul,” komentar Lam Li.

Mengenai fenomena banyaknya pekerja Nepal di Malaysia, saya teringat waktu di Bhaktapur seorang pemuda menyatakan impiannya untuk bekerja ke Malaysia memperbaiki nasib. Tetapi visa Malaysia mahal sekali. Untuk visa kerja, dia harus merogoh 2.000 dolar, sedangkan visa turis pun 500 dolar.

“Mungkin ini memang karma untuk dilahirkan jadi orang miskin di Nepal,” keluhnya.

Setidaknya, kami menemukan petunjuk yang menguatkan kecurigaan Lam Li terhadap taktik Deepak.

“Tak mungkin ada pernikahan di sini sekarang,” kata seorang penduduk desa, “karena sebentar lagi adalah festival Dasain, pemujaan Durga. Orang Nepal tak menyelenggarakan pernikahan dua bulan ini, sampai perayaan Dasain usai.”

Pernikahan di Gorkha mungkin memang akal-akalan si Deepak. Tetapi kami sudah tak peduli lagi. Bisa berada di sini pun, menemukan ‘Indonesia’ dan ‘Malaysia’ tersembunyi di perbukitan Nepal, kami sudah teramat girang.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 Oktober 2008

1 Comment on Titik Nol 47: Pernikahan Seorang Kawan

  1. Muhammad Regy Septian :”)

Leave a comment

Your email address will not be published.


*