Recommended

Titik Nol 50: Naik Bukit

Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ada pepatah Jerman mengatakan, orang tidak seharusnya memuji hari kalau belum sampai malam. Orang tidak seharusnya senang di tengah jalan kalau belum melihat hasilnya. Hari pertama trekking Annapurna tak semudah yang saya bayangkan.

Jalan-jalan keliling desa ini sebenarnya boleh juga. Sawah hijau menghampar di kanan kiri, mengingatkan saya pada hijaunya kampung halaman. Orang-orang Newari yang tinggal di sini pun mirip orang Jawa kulit dan perawakannya, walaupun sedikit lebih mancung. Bahkan kaum perempuannya pun memakai sarung batik sepanjang mata kaki. Motifnya pun mirip dengan yang dipakai perempuan desa di Jawa. Tak salah memang, sarung batik Indonesia banyak diekspor ke sini.

Kalau dilihat secara detail, ada pula bedanya. Perempuan Hindu Nepal umumnya menindik hidung sebelah kiri, lalu dipasangi cincin kecil. Cara mereka bekerja mengangkut barang pun berbeda. Orang Jawa biasa mengusung benda berat di atas kepala, kalau orang Nepal digantungkan di kepala. Saya jadi teringat cara orang pedalaman Papua membawa tas yang talinya panjang, juga digantungkan di kepala.

Segala jenis barang bisa digantungkan di kepala, mulai dari karung beras, keranjang rotan, sampai lemari baju, dari rumput, kayu bakar, sampai televisi. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua punya kepala sekeras baja.

Jalanan datar, tak ada tantangan. Jujur saja, agak membosankan.

“Moga-moga Sirkuit Annapurna tidak segampang ini,” kata saya yang masih sombong.

“Tentu saja tidak,” balas Keith, “Ini belum apa-apa. Nanti di puncak sana kita akan melewati tempat setinggi lima ribu meter lebih.”

Pemandangan yang sama sekali tak asing. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemandangan yang sama sekali tak asing. (AGUSTINUS WIBOWO)

Jembatan gantung sempit tak sampai satu meter membentang menyeberangi aliran Sungai Marsyangdi yang deras. Jembatan ini nampak rapuh, berayun-ayun hebat waktu diseberangi. Cuma pejalan kaki dan sepeda yang bisa lewat sini. Sejak meninggalkan Dusun Bhulbule, mobil tak nampak sama sekali.

Dari pemandangan Desa Jawa, sekarang persawahan di kanan kiri mengingatkan saya akan terasering Pulau Bali. Bukit-bukit dibalut sawah hijau dari puncak hingga kakinya, berundak-undak laksana tangga dewa. Warnanya hijau menyejukkan, diselingi sebaran rumah kecil para petani.

Bocah-bocah berlari gembira. Tak ada beban hidup dalam kesederhanaan ini. Walaupun demikian, ada yang sudah berbakat pengemis, “One pen…one pen…” Ada yang nakal, nekad merogohkan tangan mungilnya langsung ke saku celana Keith.

Saya mulai menikmati perjalanan yang santai ini. Hanya sinar matahari yang garang membuat keringat bercucuran, rasa haus tak tertahankan.

Keith selalu sedia air mineral, tak berani minum air mentah. Untuk para trekker,  ACAP (Annapurna Conservation Area Project), organisasi yang bertanggung jawab menjaga kelestarian taman nasional ini, sudah menyediakan air sehat layak minum di setiap desa. Harganya ditentukan oleh organisasi ini, standarnya mengikuti formula yang berbanding lurus dengan ketinggian.

Di pegunungan, minuman botol memang dikontrol karena botol plastik yang ditinggalkan para pendaki mencemari lingkungan gunung tinggi. Kalau minuman botol boleh dibawa ke atas oleh para porter yang mendapat imbalan, lalu siapa yang akan membawa turun kembali sampah botol kosong? Akhirnya, botol minuman menumpuk di lekuk pegunungan, teronggok selama bertahun-tahun tanpa tersentuh siapa pun. Semakin banyak turis yang berkunjung ke sini, semakin besar resiko yang harus ditanggung alam pegunungan yang terlihat gagah namun sebenarnya rapuh.

Selain harga minuman, harga makanan untuk orang asing pun diatur oleh ACAP. Jadinya tentu mahal, karena juga disesuaikan dengan ukuran kantong turis. Pilihan saya untuk menekan biaya adalah dengan makan di warung kecil, tempat di mana penduduk lokal biasa makan. Makanannya memang cuma masakan lokal, tidak fancy seperti pizza atau spagheti yang digemari turis. Chowchow, mie goreng instan, adalah makanan kegemaran saya yang bisa dibeli di warung mana pun. Keith nampaknya tidak tertarik dengan kebiasaan makan saya yang sama sekali tak hati-hati.

Jembatan gantung. (AGUSTINUS WIBOWO)

Jembatan gantung. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kesombongan saya langsung runtuh ketika kami meninggalkan Desa Ngadi. Desa berikutnya adalah Bahundanda, tempat kami akan melewatkan malam. Di atas peta, Bahundanda cuma seujung kuku jauhnya, saya tak menyangka kalau lelahnya bisa menjalar dari punggung sampai pinggang, dari malam hingga pagi.

Di daerah pegunungan, jarak horizontal di atas peta sama sekali tidak ada artinya. Yang lebih masuk akal di sini adalah perbedaan ketinggian. Apalah artinya jarak horizontal satu meter tetapi harus mendaki tebing terjal tegak lurus setinggi seratus meter? Sekarang itulah yang saya alami, Bahundanda terletak di atas bukit curam setinggi ratusan meter, harus didaki melalui jalan setapak berkelok-kelok dan tanpa akhir.

Di bawah terjangan sinar matahari yang menyengat, tubuh saya dibanjiri keringat. Saya butuh waktu tiga jam untuk mendaki bukit ini, dengan kecepatan merayap dengan setiap langkah diiringi keluhan. Mungkin karena sudah lama tidak olah raga, sampai di Bahundanda, lutut saya lemas dan punggung rasanya remuk. Padahal tas yang saya cangklong tak sampai tiga kilogram beratnya. Tak perlu dibandingkan dengan penduduk desa yang memanggul lemari baju naik turun bukit.

Bahundanda adalah sebuah desa kecil di atas bukit. Di tengah desa ada pohon besar, ada pompa umum tempat penduduk memperoleh air segar. Ada barisan losmen. Saya yang dapat tugas menawar.

Keith sangat pemilih. Kalau melihat kamar, yang ditilik adalah kualitas bantalnya. Kami sudah memelihat beberapa losmen untuk mencari kamar yang bantalnya cocok buat kepalanya.

Kakek dan cucunya di Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kakek dan cucunya di Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mencari teman trekking memang susah. Terkadang kita harus menyesuaikan diri dengan kebiasan kawan seperjalanan yang macam-macam. Kalau tidak cocok ujung-ujungnya bertengkar. Saya pernah diceritai Lam Li yang trekking bersama pemuda Eropa. Mereka juga menilik kamar pemondokan di pegunungan Nepal. Tentu saja semuanya sederhana. Tetapi si bule kawan Lam Li ini punya standar yang terlalu tinggi.

Dengan nada arogan, pemuda ini berseru, “We are trekkers! We are not animals!

Penduduk desa Nepal memang miskin, tetapi bukan berarti mereka adalah hewan yang tinggal di rumah kumuh. Apa istimewanya trekker dibanding penduduk setempat? You are trekker, so what? Apakah dengan punya uang lebih, mengelilingi gunung dengan bawa porter dan keledai, sudah lebih naik derajadnya?

Untunglah, walaupun pemilih, Keith bukan tipe orang seperti kawan Lam Li itu. Bahkan ketika listrik mati total, ia pun tak mengomel. Pemilik pemondokan pun ramah, memberi saya sekantung garam untuk jaga-jaga bila digigit lintah.

Dalam kepekatan total, saya langsung terlelap di atas kasur keras di lantai bawah tanah. Remuk sekujur tubuh ini rasanya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 Oktober 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*