Recommended

Tais 30 Agustus 2014: Antara Sihir, Tradisi, dan Gereja (2)

Minggu pagi adalah momen paling meriah di desa (AGUSTINUS WIBOWO)

Minggu pagi adalah momen paling meriah di desa (AGUSTINUS WIBOWO)

Minggu pagi diawali dengan bunyi panggilan dari bekas tabung gas berkarat yang dipentung di depan bangunan gereja. Tiga kali. Memanggil semua warga desa untuk memuja Tuhan. Para umat datang satu per satu, bertelanjang kaki, bersila di atas tanah berpasir lantai gereja yang dilapisi daun kelapa kering. Laki-laki di sebelah kanan, perempuan di sebelah kiri bersama bayi-bayi mereka yang terkadang menangis, terkadang berlarian, terkadang mengompol, terkadang menyusu. Walaupun lusuh dan kumal, yakinlah itu adalah pakaian terbaik yang mereka kenakan untuk menghadap Tuhan. Pendeta, satu-satunya yang bersandal jepit di ruangan ini, memetik gitar, berdendang dalam bahasa Inggris Rusak. “Jesus em i nambawan ting!Jesus him number one thing.

Gereja dari denominasi Evangelical Church of Papua New Guinea (ECPNG) di desa Tais, di pesisir selatan Western Province, Papua Nugini ini, dibangun berkat adanya empat tangki penadah air hujan sumbangan Australia yang lengkap dengan atap dari logam. Penduduk melengkapi atap itu dengan membangun empat dinding kayu dan kulit kayu, sehingga gereja ini menjadi satu-satunya bangunan dengan sedikit sentuhan era modern di desa ini.

Dalam kesederhanaan ini mereka memuja. Mereka berdoa bersamaan mengucap perkataan masing-masing, menghasilkan keriuhan yang kacau namun menggelora. Dalam doa beberapa perempuan yang berdiri di depan meratap dan menangis, lalu dalam lagu diiringi petikan gitar sang pendeta mereka menari seperti kehilangan sadar.

“Kita datang untuk memuja seseorang yang tidak kita lihat. Tapi Dia berkuasa atas kita,” kata pendeta dalam khotbahnya, yang merupakan campuran bahasa Inggris, Inggris Rusak (Tok Pisin alias Pidgin), dan bahasa lokal Na. “Saat Dia datang nanti, Dia hanya akan membawa orang-orang yang percaya kepada-Nya. Kau dan aku takkan tahu kapan Kristus akan kembali ke bumi. Kau akan terkejut, karena itu adalah suatu waktu yang tidak terduga oleh siapa pun.”

Mereka mengenakan pakaian terbaik untuk memuja Tuhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka mengenakan pakaian terbaik untuk memuja Tuhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Semua makhluk mengagungkan nama-Nya (AGUSTINUS WIBOWO)

Semua makhluk mengagungkan nama-Nya (AGUSTINUS WIBOWO)

Papua Nugini adalah salah satu negara yang paling Kristen di dunia. Lebih dari 96 persen penduduknya mengaku sebagai umat Nasrani, 27 persen di antaranya adalah Katolik. Namun mereka menjadi Kristen dalam waktu yang belum terlalu lama. Hanya tujuh dekade lalu, hampir seluruh negeri ini masih hidup dalam kepercayaan memuja roh dan alam, dengan perburuan dan kanibalisme menjadi gaya hidup sejumlah besar suku asli. Bahkan di tahun 1970an, cargo cult masih marak di negeri ini.

Cargo cult, pemujaan kargo, adalah kepercayaan yang khas negeri-negeri Melanesia di Pasifik Selatan. Awalnya adalah ketika orang-orang suku asli Melanesia ini terpukau oleh pesawat-pesawat milik orang kulit putih yang beterbangan di angkasa mereka pada saat Perang Dunia II untuk membangun basis pertahanan di pulau-pulau Pasifik. Benda apa itu?, pikir mereka. Benda itu begitu ajaib, burung raksasa yang bisa terbang di angkasa, dan membawa barang-barang, atau “kargo”, dari langit turun ke bumi. Mereka juga ingin “burung besi” terus terbang dan membawa barang-barang itu pada mereka, membuat tiruan pesawat terbang dari bambu dan kayu, lalu bersembahyang, menari-nari dan membaca mantra di hadapan pesawat bambu dan bandara rumput, berteriak-teriak menggelar ritual spiritual memuja leluhur, dengan harapan kesungguhan iman mereka itu bisa membuat pesawat sungguhan turun dari angkasa sana dan membawa kargo bagi mereka. Mereka menunggu dan terus menunggu.

Kontak dengan bangsa penjajah kulit putih membawa perubahan luar biasa pada cara suku-suku asli Melanesia dalam memandang dunia luar, juga dalam memandang diri mereka sendiri. Sehabis kebaktian, saya berbincang dengan pendeta Kaiko Menggo yang berasal dari Bimadabn dusun pedalaman di utara dan sudah bertugas empat tahun di desa ini. Bersila di rumah panggungnya yang suram dan dibangun oleh penduduk desa, saya bertanya padanya bagaimana orang Papua Nugini begitu cepat menerima ajaran Kristen yang dibawa oleh pendatang kulit putih.

“Kami dulu tidak pakai baju, mereka menunjukkan kami apa itu baju,” katanya, “Mereka memberi tahu kami, ini yang namanya pisau, ini yang namanya mesin. Mereka mengajarkan segalanya pada kami, bagaimana mungkin kami tidak mendengarkan apa kata mereka?”

“Jadi orang kulit putih hanya membawa kebaikan pada kalian?”

“Sebelum orang sini mengenal Tuhan, orang berburu satu sama lain, membuat pesta untuk memuja orang mati, minum, menari, menyanyi. Sekarang semua sudah berubah. Semua itu tidak dibolehkan dalam gereja. Ketika Yesus datang ke dunia, semua harus berubah karena Yesus membawa hidup yang terbaik.”

Dengan datangnya Kabar Baik, hidup telah berubah (AGUSTINUS WIBOWO)

Dengan datangnya Kabar Baik, hidup telah berubah (AGUSTINUS WIBOWO)

Semua lagu di sini adalah untuk Tuhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Semua lagu di sini adalah untuk Tuhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Gereja di daerah ini dimulai tahun 1950an, dibawa oleh Grahame Martin, seorang misionaris dari Australia bekas tentara Perang Dunia II. Grahame menghentikan tradisi perburuan kepala yang marak di Tais dan daerah Morehead di pesisir selatan Papua Nugini hingga sepanjang aliran selatan Sungai Fly. Di saat bersamaan, gereja juga menghentikan semua tradisi leluhur di daerah ini, termasuk: pakaian adat, lagu, tarian.

“Bagaimana perbedaan hidup sebelum dan sesudah masuknya Kristen?” saya bertanya.

“Dulu orang hidup dalam bahaya, penuh ketakutan, karena tumbuna (nenek moyang) kami punya tradisi berburu kepala. Sekarang kami tidak ada ketakutan lagi karena kami hidup dalam Kabar Baik, yang berbeda dengan kebudayaan kami. Kami hanya menyembah Tuhan, tidak ada lagi pemujaan kuburan, tidak ada tarian, tidak ada lagi lagu selain lagu gereja.”

Dia lalu berdiri, menunjukkan sebuah poster yang tertempel di dinding rumah dari kulit kayu. Dalam poster itu tergambar seorang lelaki yang terbaring sakit di lantai, seorang anak yang menangis di sampingnya, dan seorang malaikat. Pendeta menjelaskan padaku, orang yang terbaring itu meninggal. “Apakah orang ini akan ke surga atau ke neraka? Kalau dia banyak minum dan mengunyah pinang, dia akan ke neraka. Tetapi kalau dia membaca Kitab Suci dan mengimani Kabar Baik, rohnya akan terbang ke Kerajaan Surga, itu di gambar di atas awan.”

Sejumlah denominasi gereja di Papua Nugini melarang umatnya mengunyah pinang. Misi pendeta Kaiko di sini bukan hanya berkhotbah, tetapi juga menghentikan kegiatan “tidak patut” di kampung. “Alkitab berkata, Tuhan adalah satu-satunya jalan kebenaran dan hidup. Jadi saya pikir, tidak penting untuk mencintai tumbuna. Banyak orang datang pada saya bicara soal tradisi, tapi saya menggunakan Kabar Baik dan kata-kata Tuhan, mengingatkan mereka telah memberontak terhadap Tuhan dan dosa mereka akan lebih besar.”

Sejak datangnya para pendeta gereja ECPNG, tidak ada lagi perayaan apa pun dengan tarian tradisional di Tais. Tetapi, saya dengar, pemberontakan itu ada—setiap kali pendeta pergi keluar daerah, para pemuda Tais akan berpesta dan menari di lapangan. “Tetapi tidak semua tarian itu adalah untuk memuja roh. Kenapa gereja melarang orang menari di zaman sekarang?” saya bertanya.

“Ketika mereka menari, mereka juga minum alkohol, lalu berkelahi. Saat menari orang-orang menghias diri atau telanjang dan menabuh-nabuh kendang kundu seperti tumbuna, lalu laki-laki tertarik pada perempuan dan perempuan tertarik pada laki-laki, itu tidak baik. Mereka anak muda hanya bikin kacau di sini, bercinta tidak karuan. Lalu kalau cinta ditolak, mereka akan menggunakan sihir hitam untuk membunuh satu sama lain. Karena itu, gereja melarang semua itu.”

Semua tarian adalah untuk memuliakan Tuhan, diiringi hanya lagu gereja (AGUSTINUS WIBOWO)

Semua tarian adalah untuk memuliakan Tuhan, diiringi hanya lagu gereja (AGUSTINUS WIBOWO)

Hidup di atas jalan yang baru (AGUSTINUS WIBOWO)

Hidup di atas jalan yang baru (AGUSTINUS WIBOWO)

“Jadi semua tradisi leluhur itu tidak baik?”

“Tidak baik. Dulu kami tidak pakai baju, hanya laplap (rumbai-rumbai daun). Misionaris kulit putih dari Australia dan Inggrislah yang memperkenalkan pakaian kepada kami. Mereka bilang: “Badan ini adalah badan yang diciptakan Tuhan, jadi kalian tidak boleh mengumbar seperti itu.’”

“Apa salahnya dengan telanjang? Yang membuat dosa itu bukan telanjangnya, tapi pikirannya. Saya percaya, organ tubuh paling erotis manusia bukan di mana-mana selain di dalam otak,” kata saya.

“Tetapi Alkitab memerintahkan kita untuk tidak menyembah dua tuan yang berbeda. Jadi kalau kau melayani Tuhan, kau tidak bisa melayani tumbuna, tidak boleh mengikuti tradisi tumbuna. Memalukan jika kita harus memamerkan tubuh kita di depan orang lain.”

Dalam benak kita orang luar, kultur Melanesia ini identik dengan ketelanjangan, keaslian kehidupan zaman batu yang tidak boleh berubah—serupa imajinasi eksotisme orang Indonesia terhadap warga asli Papua yang mereka pandang hanya hidup dengan koteka dan rumbai-rumbai daun. Kita memandang itu aneh, eksotik, primitif atau mungkin terbelakang, sebenarnya adalah karena itu bukan tradisi kita. Tetapi saya justru melihat ketelanjangan dalam keaslian tradisi mereka itu bagaikan Adam dan Hawa yang hidup telanjang dalam surga Firdaus mereka, dalam kebahagiaan sempurna tanpa pikiran kotor. Itu kehidupan yang paling menyatu dengan alam yang menghidupi mereka selama beribu tahun. Kebahagiaan polos itu berakhir ketika mereka memakan buah larangan—buah pengetahuan yang baik dan yang jahat. Buah pengetahuan itu membuat mereka seketika menyadari ketelanjangan mereka, malu, berlari menyembunyikan diri.

Para misionaris, membawa pengetahuan dari luar, memberi tahu mereka apa yang baik dan apa yang buruk, membuat mereka malu akan ketelanjangan mereka dan leluhur mereka sendiri—yang selalu digambarkan oleh orang luar sebagai: barbar, terbelakang, primitif, biadab, kanibal. Untuk menjadi Kristen, orang pertama-tama harus percaya bahwa dirinya berdosa, kedua percaya bahwa orang berdosa akan dihukum dalam neraka, dan ketiga percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat satu-satunya untuk membawa mereka ke surga. Saya selalu penasaran bagaimana para misionaris di zaman itu bisa membuat orang-orang dari suku-suku pedalaman yang tidak mengenal konsep dosa, surga dan neraka, bisa dalam waktu relatif singkat mengimani itu semua, juga memercayai bahwa seorang kulit putih bernama Yesus akan menjadi penyelamat mereka. Bahkan dengan senang hati pula, mereka memberangus tradisi yang diwariskan para leluhur demi iman baru mereka itu. Apakah ini sebuah iman yang utuh, ataukah wujud ketidakpercayaan diri terhadap apa yang sudah mereka miliki?

“Orang kulit putih dulu memang menakutkan, leluhur kami mengira mereka adalah roh halus,” kata Pendeta Kaiko, “Tetapi kata-kata Tuhan itu bersama orang-orang putih. Jadi, memang sudah diatur demikian oleh Tuhan, bahwa kami orang hitam akan percaya Tuhan, yang telah memilih orang putih.”

Saat ini di mana-mana di Papua Nugini menguat gerakan orang mempelajari ayat-ayat dalam Alkitab hanya untuk membuktikan apa yang mereka percaya atau apa yang mereka ingin percaya. Kristen mempercayai setan, iblis, dan kekuatan roh jahat, sebagaimana kepercayaan leluhur Melanesia mereka. Unsur gaib yang ditawarkan dalam Kristen mungkin adalah benang merah utama yang menghubungkan dengan akar tradisi mereka, sehingga Kristen cukup mudah diterima di sini sejak mulanya. Cargo cult di era milenium adalah menguatnya iman Kristen yang justru membuat mereka semakin meyakini kepercayaan leluhur. Pada spektrum yang berlawanan dengan Pendeta Kaiko, saya pernah berjumpa seorang guru di Daru yang sangat mematuhi penghormatan hari Sabat demi Tuhan bahkan sampai tidak memasak dan tidak bepergian, tetapi sedang menantikan bantuan dana bagi penelitian pribadinya selama bertahun-tahun ini mengenai hubungan cerita leluhur dan Alkitab. Dia ingin membuktikan bahwa Yesus adalah orang kulit hitam dari Papua dan bahwa Alkitab adalah tipu-tipu orang putih untuk membodohi orang kulit hitam.

Cargo cult ala Melanesia (sumber: youtube.com)

Cargo cult ala Melanesia (sumber: youtube.com)

“Tetapi, Yesus juga bukan orang putih. Dia dari Timur Tengah, bukan Eropa,” kata saya, “Yesus terlihat seperti orang Eropa, karena lukisan wajahnya digambar oleh orang Eropa.”

Pendeta tersenyum. “Ya, kamu benar. Tapi Timur Tengah itu juga orang putih.”

Benar ataukah salah, maju ataukah terbelakang; saya baru menyadari bahwa masalah agama dan budaya di negeri ini ternyata dipandang begitu lekat dengan warna kulit, apakah hitam atau putih. Pendeta gereja menuding kebudayaan leluhur kulit hitam sebagai biang keladi semua dosa dan masalah moral. Beberapa hari yang lalu, saya berbincang dengan kepala desa Tais (baca: Antara Sihir, Tradisi, dan Gereja [1]) yang menuding gereja—dianggap sebagai budaya orang putih—justru sebagai biang keladi masalah moral. Dulu orang putih datang membawa Kabar Baik sekaligus menyuruh mereka memakai baju, sekarang orang putih justru membawa pornografi dan lebih sering tidak pakai baju (sebagaimana mereka saksikan dalam video di telepon genggam para pemuda desa yang berfungsi apa pun selain untuk menelepon karena di sini tidak ada sinyal). Kepada saya, kepala desa mengeluh, “Apakah kami akan terus hidup dalam budaya kulit putih tanpa pernah kulit kami menjadi putih?”

“Orang putih telanjang, ini berarti tanda hari kiamat sudah dekat,” kata pendeta. “Di zaman Nabi Nuh, Tuhan menghukum orang-orang berperilaku menyimpang dari Kabar Baik. Sekarang anak muda sudah rusak moralnya, jadi itu penting untuk mengikuti gereja lebih ketat lagi.”

Apakah itu kaum religius, ataukah kaum tradisionalis, semuanya meyakini bahwa hanya cara merekalah obat paling mujarab untuk semua masalah di muka bumi. Iman buta membuat orang tak mempertanyakan lagi logika hubungan sebab akibat ketika menantikan sesuatu mukjizat akan turun tiba-tiba dari angkasa yang akan mengubah hidup secara total. Kita pun, mungkin, sedang hidup dalam cargo cult versi kita masing-masing.

Datang bergabung bersama kami adalah istri pendeta. Perempuan itu lesu, bermata sayu. Dia menderita sakit organ dalam yang parah, kini hanya berbaring di rumah karena sudah tidak bisa pergi berobat ke mana-mana. Minggu lalu dia baru ditolak berobat oleh para dokter kulit putih di Pulau Boigu, wilayah Australia yang hanya belasan kilometer dari sini, hanya karena alasan administrasi. Kami bertiga bersama melipat tangan, memejamkan mata. Pendeta memimpin doa. “Yesus, dengan kekuatan-Mu sembuhkanlah istriku, seperti mukjizat yang Kau perbuat dua ribu tahun yang lalu.”

Amin.

Kami menantikan mukjizat. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kami menantikan mukjizat. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

7 Comments on Tais 30 Agustus 2014: Antara Sihir, Tradisi, dan Gereja (2)

  1. Ditunggu buku selanjutnya mas

  2. foto2 nya “berbicara”, tulisan yang “Dalam” dan bermakna.. Seperti buku “titik nol”. Salut !!

  3. agak nyengir baca soal “pemujaan kargo”nya,Ditunggu buku selanjutnya…good luck

  4. foto1: lha kaos PKS bisa2nya nyungsep k PNG? numpang nampang pulak

  5. Keren., sedikit bnyk mengerti tentang iman kristen di PNG.,

  6. mau otaknya ngeres atau tidak pakai baju adl kebaikan. Ayam aj gk ad bulunya gk enak dipandang..

  7. Tulisan yg bagus dan menginspirasi. Tapi masih mikir keras kenapa kaos PKS bisa sampai papua nugini….

Leave a Reply to Absan Albar Cancel reply

Your email address will not be published.


*