Recommended

Titik Nol 53: Dusun Tal

Bermain, bermain, bermain... (AGUSTINUS WIBOWO)

Bermain, bermain, bermain… (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya tertunduk di hadapan gerilyawan Maois. Semua kisah sedih sudah saya ceritakan. Moga-moga ia tergerak hatinya.

Kya karen, bhai? Apa lagi yang bisa saya lakukan, Saudara?”

Saya menunjukkan dompet saya yang kosong melompong. Hanya ada uang sepuluh Rupee di dalamnya. Sisanya sudah saya sembunyikan di dalam kaus kaki. Gerilyawan Maois itu hanya garuk-garuk kepala, mungkin pertama kali melihat turis yang begitu miskin.

Saya menunjukkan betapa dekatnya saya dengan perjuangan Maois, mencoba menarik simpatinya. Dimulai dari bualan tentang kehidupan komunis di Beijing dan betapa saya memuja Mao, sampai menunjukkan saya memakai baju warna merah dengan bintang emas – bendera Vietnam – yang saya beli dari Hanoi. Dia tak terlalu tertarik.

Tiba-tiba datang serombongan pendaki bule. Masing-masing membopong ransel mahal, membawa sepasang tongkat khusus trekking, yang pasti juga mahal, dan menggunakan jasa dua orang porter Nepal malang yang terbungkuk-bungkuk harus menggendong tumpukan ransel besar. Ditambah lagi seorang pemandu lokal.

“Pajak Maois ya?” tanya si pendaki dengan ramah, senyum lebar menghias wajahnya.

Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar ribuan Rupee, menyerahkan kepada sang gerilyawan. Sekarang giliran pengumpul pajak Maois itu yang sibuk menandatangani kuitansi. Semua orang harus membayar pajak 100 Rupee per hari. Untuk porter dan pemandu lokal gratis.

Hari ini ia panen besar. Kalau dengan turis bule yang kaya tak perlu ia berpusing-pusing menghadapi backpacker miskin yang kerjanya cuma menawar dan minta belas kasihan saja.

Penggembala (AGUSTINUS WIBOWO)

Penggembala (AGUSTINUS WIBOWO)

Setelah rombongan turis itu pergi, pejuang Maois itu kembali ke samping saya. Duduk. Ia bicara dengan nada seperti seorang kawan, dalam bahasa Nepali yang cepat yang saya tak mengerti. Saya hanya bisa menangkap kata rakyat, perjuangan, negara, dan keadilan. Ia bersimpati dengan saya, karena saya bisa berbicara bahasa Hindi, menganggap saya seperti saudara sendiri.

“Kami ini pejuang Maois,” pungkasnya dalam bahasa Inggris, “kami berjuang demi keadilan di negeri Nepal. Sekarang, saudaraku, lewatlah. Tak perlu membayar. Tetapi dukunglah selalu perjuangan kami. Dan, please don’t tell anybody about this.”

Saya merangkulnya dalam-dalam, menepuk pundaknya, seperti layaknya saudara seperjuangan.

Jörg tertawa terpingkal-pingkal,

“Kamu gila! Hebat sekali! Bahkan bisa berkawan dengan Maois!”

Setelah kami melintas jalan datar seratus meter di tepi sungai yang mengalir deras, gerbang dusun Manang menyambut, “My Manang – My Shangrila”. Jantung saya masih berdegup kencang dengan pengalaman yang baru saja saya alami.

“Jangan khawatir,” kata gadis penjaga pemondokan, “Di sini aman. Maois tidak berani ke sini. Tal sudah masuk wilayah distrik Manang, tentara pemerintah berkuasa di sini.”

Coca Cola pun sudah masuk sini. (AGUSTINUS WIBOWO)

Coca Cola pun sudah masuk sini. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di Annapurna, Maois hanya mengincar turis asing. Mereka menyatroni pemondokan di dusun-dusun bawah, mengunjungi setiap kamar, bahkan turis tidur pun dibangunkan untuk dimintai pajak. Saya sungguh beruntung menjumpai gerilyawan Maois yang murah hati. Ada cerita turis yang sampai dibentak, dibanting barangnya, dipaksa untuk membayar sumbangan.

Dusun Tal hanyalah sekumpulan beberapa rumah batu di pinggir jalan. Bocah-bocah bermain sepak bola dengan usus kerbau yang baru disembelih. Di India, sapi adalah hewan suci dan tak boleh dibunuh. Di Nepal, sapi juga suci tetapi kerbau boleh dimakan. Jörg bercerita tentang bencana kelaparan yang melanda Nepal suatu ketika, sehingga akhirnya raja menetapkan sebuah dekrit – sapi masih hewan suci, tetapi kerbau dikeluarkan dari kelompok hewan suci, sehingga boleh dimakan penduduk.

Kalau sudah bosan sepak bola, bocah-bocah lima tahunan ini main pukul-pukulan dengan usus mengembung yang sudah berwarna hitam itu. Sungguh bahagia mereka melewatkan hari di desa terpencil di lekukan gunung ini. Berbahagia memang tak susah. Hanya kita saja yang didera berbagai ambisi dan cita-cita, terlalu penat oleh beban berat kehidupan, jadi lupa betapa kebahagiaan itu bisa diraih kapan saja di mana saja.

Sudah beberapa hari ini di dusun Tal tak ada listrik sama sekali. Gadis cantik penjaga pemondokan bercerita bahwa sejak dua hari kemarin, generator pembangkit listrik di dusun atas rusak. Kabarnya baru dua minggu lagi listrik akan menyala kembali di dusun Tal. Tetapi mereka sudah biasa hidup dalam kegelapan tanpa cahaya. Sebenarnya desa-desa di sekeliling Annapurna hanya baru-baru ini saja disentuh oleh penerangan listrik, terlebih lagi setelah turis mancanegara mulai melirik pegunungan yang ‘tak terjamah’ ini.

Perempuan Tal mendengarkan musik bersama-sama. (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan Tal mendengarkan musik bersama-sama. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ketinggian Dusun Tal menyebabkan malam hari di sini sangat dingin. Gadis penjaga pemondokan menyiapkan makan malam yang lezat sekali. Sederhana, kentang rebus. Tetapi karena perut sudah keroncongan sejak pagi, makanan ini pun terasa begitu nikmat.

Setelah kami makan, gadis itu mengumpulkan bocah-bocah tetangga.

“Belum pernah kami menerima tamu seramah kalian,” kata gadis itu, “karena itu, malam ini kami punya hadiah istimewa. Kita menyanyi bersama. Kami menyanyi lagu Nepal, lalu giliran kalian menyanyi lagu negara kalian masing-masing.”

Di bawah kelap-kelip lampu minyak, bocah-bocah itu menyanyikan lagu rakyat Nepal yang sangat terkenal, Resham Phiri-ri. Lembut, mengalun perlahan.

Resham phiri-ri, Resham phiri-ri, Udeyra jaunki, dandaa ma bhanjyang, Resham phiri ri.. Kain sutra berkibar-kibar, haruskah aku pergi mencapai puncak dan punggung bukit?

Betapa saya ingin terbang, segera mencapai puncak salju Thorung La, titik tertinggi perjalanan berat ini. Terbang, mencapai kain sutra yang berkibar di sana. Jalan masih jauh. Perjuangan masih panjang.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 4 Oktober 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*