Recommended

Pikiran Rakyat (2015): Tiket Murah Dihapus, Pelesir Jalan Terus

Pikiran Rakyat 18 Januari 2015

Tiket Murah Dihapus, Pelesir Jalan Terus

150118-pikiran-rakyat-backpacking

Endah Asih

SAATNYA berlibur. Setelah berselancar di dunia maya, sebuah destinasi baru yang eksotis di belahan lain nusantara berseliweran di kepala. Tinggal mencari tiket pesawat dengan harga miring lalu akomodasi nyaman dengan harga terendah di berbagai situs pembanding. Jadwal cuti tak lupa segera disusun. Oh iya, ucapan selamat tinggal harus dilayangkan pada promo tiket pesawat murah meriah. Ah, jadi berlibur atau tidak, ya?

 

JADI, dong! Aturan baru Kementerian Perhubungan yang menetapkan tarif batas bawah sebesar 40% dari tarif batas atas untuk penerbangan domestik boleh saja masih menuai banyak protes. Pro dan kontranya masih nyaring terdengar hingga kini. Apalagi, tiket pesawat adalah hal terpenting, selain akomodasi dan konsumsi saat melakukan perjalanan.

Buat banyak pejalan mandiri dengan dana minim atau akrab di telinga dengan sebutan backpacker, aturan itu cukup mencekik. Namun, mengapa animo backpacking juga harus ikut tercekik?

Mari sejenak tengok backpacking dari sudut pandang sejarah. Perjalanan backpacker yang terlacak dimulai dengan era hippie pada 1970-an. Lewat dana yang sangat terbatas, kaum hippie melakukan perjalanan darat dari Eropa sampai India.

Foto: AGUSTINUS Wibowo bersama penduduk Papua Nugini. Saat memulai "backpacking" 14 tahun lalu, Agustinus belum mengenal tiket penerbangan murah. Hal itu sama sekali tak menyurutkan niatnya mulai berkeliling dunia.*

Foto: AGUSTINUS Wibowo bersama penduduk Papua Nugini. Saat memulai “backpacking” 14 tahun lalu, Agustinus belum mengenal tiket penerbangan murah. Hal itu sama sekali tak menyurutkan niatnya mulai berkeliling dunia.*

Dalam perjalanan itu, mereka menggunakan hippie trail dan tinggal bertahun-tahun di suatu tempat. Dari sanalah kultur backpacking bermula. Ada kebebasan, kemandirian, biaya murah, waktu yang tidak terbatas, tidak terlalu peduli dengan destinasi, intuisi, dan ketanpaperencanaan.

“Saya rasa, kalau kembali pada filosofi kesederhanaan backpacking itu, harga tiket pesawat yang mahal seharusnya tak menyurutkan orang melakukan perjalanan secara backpacking,” kata salah se- orang backpacker kenamaan Indonesia, Agustinus Wibowo (34). Meskipun demikian, penulis buku perjalanan Titik Nol, Garis Batas, dan Selimut Debu ini tak menampik, akan ada pengaruhnya kepada jumlah orang yang melakukan perjalanan.

Saat memulai backpacking 14 tahun lalu, Agustinus belum mengenal tiket penerbangan murah. Hal itu sama sekali tak menyurutkan niatnya mulai berkeliling dunia. Bagi pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur ini, perjalanan toh tidak harus dilakukan ke tempat-tempat yang bisa dijangkau menggunakan pesawat. Variasi metode perjalanan menggunakan transportasi darat dan laut pun menarik dilakukan.

Menurut Agustinus, harga tiket pesawat domestik yang tak lagi murah, mungkin akan mengubah tren perjalanan.

Pejalan jadi lebih akan tertarik mengeksplorasi destinasi yang ada di sekitarnya, yang terjangkau menggunakan moda transportasi darat atau terkadang laut. Namun, hal itu hanya akan berdampak pada perjalanan yang sifatnya rekreasional.

“Bergantung tujuannya, hanya mau senang-senang atau masuk ke dalam masyarakat,” ujarnya. Untuk tujuan kedua yang disebutkan tentu membutuhkan waktu yang sangat panjang. Untuk itu, ketiadaan tiket murah seharusnya tak menjadi masalah. Bukan, bukan lantaran berkaitan dengan kemampuan finansial, melainkan daya juang.

Inti dari melakukan perjalanan, di mata Agustinus, pada akhirnya bukan mengenai seberapa banyak yang didapatkan, tetapi seberapa banyak yang dilepaskan.

Melakukan sebuah perjalanan adalah kisah mengenai bagaimana kita melepaskan diri sendiri dari zona nyaman dan ambisi. “Banyak terjadi, ambisi mendapatkan terlalu tinggi sehingga tertekan untuk memenuhi ambisi daripada menikmati perjalanan,” kata Agustinus yang baru saja kembali dari perjalanan menembus garis batas di timur Indonesia.

 

Suara penolakan

Bisnis jasa penerbangan memang istimewa. Jika pelaku bisnis lain menuntut izin kenaikan harga, banyak pengusaha jasa penerbangan justru enggan melakukan hal yang sama. Beralasan memang. Sebagian besar pembeli tiket bukanlah kaum kaya, melainkan kelas menengah ke bawah yang ingin keliling Indonesia atau bahkan dunia dengan biaya semurah-murahnya.

Sejak tarif penerbangan murah hadir di tanah air beberapa tahun belakangan, muncul trik-trik khusus agar bisa bepergian menggunakan pesawat. Misalnya, “bertarung” dengan calon pejalan lain memanfaatkan waktu promo. Padahal, jaraknya jauh dari waktu keberangkatan. Mulai dari enam bulan, hingga lebih dari satu tahun. Tapi hasilnya cukup sepadan. Tiket harga Rp 0 atau nominal sama yang dikeluarkan saat membayar ojek langganan bisa didapatkan. Siapa yang tidak tergiur?

Backpacker asal Jawa Barat, Jimmy Bachdim (23), mengaku kecewa dengan aturan baru Kementerian Perhubungan soal penghabusan tiket murah. Pria yang juga menulis buku 20 Hari Keliling Indochina Kurang Dari Rp 4 Juta ini bahkan beranggapan, aturan itu ngaco karena tidak ada korelasi antara tiket murah dengan keselamatan penumpang.

“Maskapai full service aja pernah jatuh kok, kenapa ngotot menerapkan aturan ini? Yang terbebani kan masyarakat juga, apalagi saya,” katanya.

Jimmy memulai backpacking pada 2011. Bermodalkan uang Rp 500.000, ia pergi ke Bali selama satu minggu. Dari sana, ia ketagihan. Kini, Jimmy telah menjelajahi seluruh Pulau Jawa, Madura, Bali, Kalimantan Tengah, Medan, Pulau Samosir, Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Tak ada alasan khusus memilih tempat itu. “Asal ada waktu, kesempatan, dan tiket promo saja langsung jalan! Kapan lagi momen seperti itu bisa datang bersamaan?” katanya.

Baginya, bujet adalah isu utama saat melakukan perjalanan. Meskipun demikian, ia tak ingin animo backpacking luluh lantak akibat kebijakan itu. Dua sektor lain, akomodasi dan konsumsi, masih bisa ditekan, saat tiket pesawat sudah tidak memungkinkan.

Salah seorang pengusaha tur dan travel di Jawa Barat Alina Saidja Putri menilai, kebijakan itu akan berimbas kepada dunia backpacking, selain pada harga paket tur. Minimal, pada bujet yang harus dikeluarkan seorang backpacker.

Singkatnya, jika harga tiket naik, biaya juga naik.

Kebijakan menaikkan batas bawah harga tiket itu dinilai Alina sebagai sesuatu yang paradoks. Di saat negara lain berlomba-lomba menyediakan harga tiket murah, Indonesia justru sebaliknya. Di Filipina, ada Air Philippines dan Cebu Pasific Air. Di Singapura, ada Jetstar, Tiger Airways, dan Va- luari. Di Thailand, ada Bangkok Air, kok Air, Nok Air, One-Two-Go, Thai AirAsia, Thai Lion Air. Itu baru di Asia Tenggara. Belum lagi di negara lain di dunia.

“Kalangan yang ingin back- packer-an biasanya bukan dari menengah ke atas, jadi penerbangan murah sangat memenuhi kepentingan itu. Kalau sekarang dihapuskan, siapa yang diuntungkan? Masyarakat? Kan masyarakat malah dapat tiket yang mahal,” ucapnya.

Alina mencontohkan, di Jepang ada LCC penerbangan domestik bernama Peach Airline yang sangat murah. Hal itu efektif untuk meningkatkan angka kunjungan turis dalam berkeliling Jepang. Begitu pun dengan Korea.

“Ya paling menyiasatinya dengan perencanaan dan informasi yang lebih matang sehingga biaya yang lain bisa ditekan,” ujarnya. (Endah Asih/”PR”)***

Pelancong Harus Lebih Kreatif

JANGAN pernah patah arang dalam perjalanan.

Jika tak punya uang banyak untuk memulainya, jadilah pejalan pintar yang mandiri. Jika harga tiket pesawat mahal, cari metode transportasi yang lain. Jika terpaksa harus “menebus” tiket pesawat yang mahal, masih banyak juga cara lain menikmati perjalanan berbujet minim.

Dalam sebuah perjalanan, bukan tak mungkin Anda bisa menihilkan biaya akomodasi dan konsumsi. Salah seorang backpacker dari Bandung, Amar Chaniago (21) pernah membuktikannya.

Status Amar sebagai mahasiswa membuat kantongnya tak begitu fleksibel saat melakukan perjalanan. Cara yang selalu dibidiknya adalah mengakses laman couchsurfing.com.

“Sekarang mah banyak cara, enggak usah banyak menggerutu,” kata pria yang memulai backpacking sejak dua tahun lalu ini. Ia telah menyambangi Malaysia, Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Thailand. Seluruhnya dilakoni dengan bujet minim.

Couchsurfing sebenarnya berasal dari kata couch dan surfing. Kata couch di sini berarti penginapan, dan surfing diartikan sebagai traveler. Couchsurfing adalah sebuah situs web sebagai tempat berkumpulnya komunitas pencinta jalan-jalan dari seluruh dunia. Bagian terserunya adalah, selain komunitas ini saling berbagi rencana atau pengalaman perjalanan, juga ada penginapan gratis yang diberikan oleh sesama anggota jika berkunjung ke kotanya.

Tujuan penginapan gratis itu semata-mata bukan demi penghematan anggaran, tetapi sebagai ajang pertukaran budaya. Anggota yang menyediakan tempat menginap (disebut host) juga bisa mempro- mosikan wisata daerahnya kepada para surfer, sebutan bagi tamu yang menginap di rumahnya. Karena itu, couchsurfing banyak digandrungi oleh traveler dunia. Di berbagai catatan perjalanan, laman, dan komunitas ini bahkan disebut surganya para traveler.

“Seru banget, selain meniadakan anggaran penginapan, jadi bisa belajar soal budaya negara lain langsung dari penduduk setempat,” ujar mahasiswa Universitas Widyatama Bandung ini.

Selain couchsurfing, juga ada hospitality club yang konsepnya tak jauh berbeda. Hospitality club adalah organisasi jaringan silaturahmi global berbasis web yang berpusat di Jerman. Dibentuk sejak 2000, saat ini hospitality club telah memiliki 553.000 anggota di 226 negara.

Ada satu lagi laman lagi yang sangat populer di kalangan backpacker. Namanya Airbnb. Namun, Airbnb menerapkan sistem bayaran meski tarifnya tak semahal di hotel. Kata itu adalah singkatan dari air, bed, and breakfast.

Tempat yang disewakan bisa berbagai macam bentuk, mulai dari rumah biasa hingga kastil, mulai dari rumah pohon hingga sebuah tenda di pekarangan rumah. Pada laman Airbnb, sudah ada lebih dari 550.000 tempat menginap yang tersebar di 34.000 kota di dunia.

Kreatif

Backpacker Didit Heryadi (40) mencari sensasi perjalanan yang berbeda. Daripada sekadar duduk manis di dalam pesawat, ia memilih menyetir mobil sekitar 3.000 kilometer mengelilingi beberapa negara di Eropa. Ia melakukan family backpacking bersama istri dan dua orang anaknya.

Backpacking yang seru kan tak harus naik pesawat. Justru lewat jalur darat lebih berkesan dan lebih menikmati perjalanan,” kata ayah tiga anak ini. Selama sebelas hari di bulan Agustus 2014, Didit dan keluarga menyusuri Jerman, Belanda, Belgia, Prancis, dan Swiss.

Aneka cara untuk kreatif menekan biaya selama backpacking juga menjadi pilihan Agustinus Wibowo. Ia hampir selalu tinggal bersama penduduk lokal. Apalagi, ia biasanya bepergian dalam waktu lama. Jaringan internet adalah barang yang belum tentu bisa diandalkan saat memasuki distrik baru di pedalaman.

Belum lama ini, ia pergi ke Papua Nugini. Tarif hotel termurah per malam sebesar 100 dolar AS, tak mungkin bisa dipenuhinya. Selama tiga bulan, ia menumpang di rumah penduduk lokal. Apalagi, tujuannya melakukan backpacking adalah menyelami kultur budaya lokal setempat.

“Kuncinya adalah komunikasi yang baik. Selama kita membuka diri, cara itu selalu tidak pernah gagal ketika saya masuk ke distrik baru,” kata Agustinus. Meskipun begitu, ada kalanya Agustinus tak beruntung. Ia pernah menginap dua malam di bangku salah satu stasiun di Kazakhstan.

Padahal, suhu udara mencapai minus 40 derajat.

“Untuk Indonesia masih gampanglah cari tempat menginap, minimal ada tempat ibadah,” ujarnya sambil tertawa. Biaya konsumsi juga bisa ditekan, dengan cara makan makanan yang sama dengan penduduk lokal.

Untuk transportasi, metode hitchhiking atau menumpang kendaraan paling banyak dilakoni Agustinus. Hal itu dilakukan terutama di negara yang biaya transportasinya terlalu mahal. Ia pernah menumpang kendaraan seperti truk, mobil, perahu, sampan, pesawat (saat tsunami Aceh), hingga kuda dan keledai. Dengan hitchhiking, ia sering berhenti di tempat yang tak direncanakan, berjumpa dengan orang yang tak direncanakan, dan mendapat pengalaman perjalanan yang jauh lebih berharga.

“Di situlah keindahan perjalanan backpacking, yaitu ketidakterdugaan,” kata Agustinus. Tertarik mencoba? (Endah Asih/”PR”)***

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Pikiran Rakyat (2015): Tiket Murah Dihapus, Pelesir Jalan Terus

  1. wah, keren euy sdh nerbitin buku, mas gust!

  2. Hi Agustinus! I am back in Afghanistan. Congratulations for all your publications!!

  3. Luar Biasa Kang Agus…hehehe

Leave a comment

Your email address will not be published.


*