Recommended

Titik Nol 58: Manang

Barisan bendera doa dan gunung salju. (AGUSTINUS WIBOWO)

Barisan bendera doa dan gunung salju. (AGUSTINUS WIBOWO)

Manang adalah kejutan di tengah pendakian Sirkuit Annapurna. Sebuah perkampungan umat Budha Tibet yang religius, campur aduk dengan rombongan trekker, porter, pemandu wisata, barisan keledai, ladang jewawut, hotel, restoran, toko perlengkapan pendakian, warung internet, rumah sakit, dan seterusnya.

Tak perlu heran, Manang adalah dusun terbesar sepanjang sisi timur lintasan Sirkuit Annapurna. Pada ketinggian 3540 meter ini, Manang adalah tempat yang paling dianjurkan bagi para pendaki untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian. Beristirahat dua malam di sini sangat dianjurkan sebelum melangkahkan kaki menuju Puncak Thorung La.

Nefransjah adalah salah satu trekker Indonesia yang sedang mengadaptasikan dirinya dengan tempat tinggi. Tak pernah ia berada di tempat setinggi ini. Keluhannya, kepala pusing dan cepat lelah. Tak salah pula kalau ia mengikuti kelas pelatihan gratis khusus para pendaki yang diselenggarakan setiap sore di klinik Manang.

Acute Mountain Sickness (AMS) umumnya terjadi pada orang yang berpindah ketinggian terlalu cepat. Jadi bukan ketinggiannya yang bermasalah, tetapi kedrastisannya. Biasanya akan mulai terasa kalau kita sudah berada di atas ketinggian 2500 meter. Tanda-tandanya adalah sakit kepala, pusing, mual, batuk, hilang nafsu makan, muntah, atau halusinasi. Tanda-tanda ini tidak perlu harus muncul semuanya. Salah satu saja cukup sebagai gejala AMS. Kalau tidak diredam, AMS bisa menyebabkan pembuluh darah pecah bahkan kematian fatal.

Kunci utama menghindari AMS adalah minum banyak air dan naik pelan-pelan. Tubuh memerlukan waktu beradaptasi dengan ketinggian. Waktu adaptasi ini berbeda tiap orang. Ada yang perlu cuma semalam, ada yang berhari-hari. Begitu gejala penyakit ketinggian muncul, penderita harus beristirahat. Kalau dua hari gejala belum juga hilang, penderita harus turun alias ‘mundur’, beristirahat di tempat yang lebih rendah, sebelum mencoba mendaki lagi.

Para petani Manang di musim panen. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para petani Manang di musim panen. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mungkin karena terlalu memandang remeh AMS, atau terlalu membanggakan pengalaman di Tibet, setiap hari minum air mentah dan makan yang paling murah, saya mengabaikan gejala batuk dan pilek. Di Manang, batuk saya semakin hebat dan hidung pun mampet. Kepala pusing-pusing. Moga-moga bukan AMS, saya tak mau mundur lagi sampai Besisahar. Saya juga kena diare, mungkin kebanyakan minum air mentah seperti penduduk lokal. Trekker asing biasanya membeli air mineral, yang harganya semakin mahal mengikuti ketinggian tempat dari permukaan laut.

Karena banyak turis yang ‘patuh’ terhadap buku panduan dan setumpuk nasihat menghindari AMS, Manang mendapat berkah rejeki nomplok. Hanya di desa ini kebanyakan pendaki menghabiskan waktu lebih dari satu malam, menjadikan Manang sebagai surga para trekker yang beristirahat, mempersiapkan diri pada ekspedisi yang lebih menantang di atas sana.

Apa pun yang dikhawatirkan turis, Manang menjawabnya. Ingin berhalo-halo dengan keluarga yang jauh di ‘bawah’ sana? Ada warung telepon. Ingin membaca berita terkini? Ada internet, yang harganya mahal sekali. Ingin mencicip eksotisme Tibet? Restoran menjual menu daging yak. Nef sudah mencicip sepotong steak yak di atas piring besar, walaupun ia masih belum pernah melihat binatang berbulu itu. Ingin belanja baju hangat dan perlengkapan trekking? Semua tersedia di dusun ini, cukup murah dan praktis. Untung bagi saya, yang cuma membawa tas berisi baju dan satu jaket saja, topi dan sarung tangan bisa didapat untuk perjalanan ke puncak yang semakin dingin.

Gunsang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Gunsang. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Saksikanlah! Seven Years in Tibet, Hari ini jam 6 sore…” demikian papan tulis di depan sebuah pemondokan. Di sini tak ada bioskop. Turis bisa nonton film rame-rame, cukup dengan televisi layar lebar dan DVD. Pemondokan pun mendapat keuntungan dengan menarik karcis. Apalagi yang lebih asyik selain menonton film tentang petualangan di misteri atap dunia yang tersembunyi? Cocok sekali dengan nuansa Tibet yang melingkupi barisan rumah batu di Manang. Mantra mengalir tanpa henti, gang sempit berkelak-kelok, dan perempuan memanggul panen puluhan kilogram jewawut bertumpu pada kepala mereka. Bagi yang belum pernah ke Tibet, Manang bisa menjadi penawar hati yang hendak mengembara ke ‘Shangrila tersembunyi’.

Di pagi hari, masih di bawah bayang-bayang puncak salju Annapurna III, umat Budha mulai bersembahyang. Kakek tua berjalan mengelilingi barisan silinder doa, memutar tiap kaleng bertulis Om Mani Padme Hom, sambil terus membaca mantra. Menurut kepercayaan Budhisme Tibet, setiap putaran silinder ada pahalanya. Karena terlalu sering diputar, beberapa silinder rusak, diganti dengan kaleng bekas susu atau kopi yang sudah berkarat.

Nef sudah berangkat melaksanakan ekspedisinya. Dengan susah payah, ia akhirnya menemukan porter yang cocok harganya. Jörg, Oi Lye, dan saya memutuskan untuk berangkat agak sore. Hari ini kami ingin bersantai tetapi tak ingin tinggal lebih lama lagi di Manang yang penuh turis. Kami hanya mendaki 300 meter, menuju dusun Gunsang yang sunyi, dua jam perjalanan dari Manang.

Hanya ada beberapa rumah batu di sini, sepi sekali. Memang semakin tinggi tempatnya, semakin jarang desanya, dan semakin sedikit penduduknya.  Ditambah lagi, Gunsang sudah tertelan oleh bayang-bayang kenyamanan Manang. Hampir semua turis memenuhi petuah buku panduan, semua menginap di Manang, dan Gunsang sama sekali tak kebagian tamu.

Perempuan Gurung dengan galon air. (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan Gurung dengan galon air. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kami menginap di pemondokan kecil di hadapan gunung Annapurna III dan Gangapurna. Pemiliknya adalah seorang wanita cantik etnis Gurung yang setiap sore harus mengambil air dari sumber sekitar dua kilometer jauhnya, memanggul galon air seberat 25 kilogram, melenggang santai naik turun bukit. Tak salah memang kalau orang dari pegunungan ini layak menjadi anggota pasukan elit Gurkha.

Dari selimut awan, tiba-tiba Puncak Gangapurna menyembulkan wajahnya. Begitu agung dan perkasa. Angin dingin menderu-deru menyapu wajah. Bendera doa warna-warni bergambar Sakyamuni berkibar-kibar. Sungguh manusia tak ada artinya di hadapan keperkasaan alam ini.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 22 Oktober 2008

1 Comment on Titik Nol 58: Manang

  1. Jaket TC!!!!! Seneng bgt liat fotomu pake jaket itu nus. Bon voyage yaaa

Leave a comment

Your email address will not be published.


*