Recommended

Titik Nol 60: High Camp

Menuju puncak. (AGUSTINUS WIBOWO)

Menuju puncak. (AGUSTINUS WIBOWO)

Perjuangan kami hampir mencapai titik kulminasi. Di ketinggian ini, langit sudah begitu dekat. Kami sudah nyaris sejajar dengan puncak-puncak salju di seberang sana. Tetapi justru di tempat ini, kaki semakin berat dan semangat menggebu-gebu tertekan oleh udara berat.

Thorung Pedi adalah desa tertinggi di Sirkuit Annapurna. Ketinggiannya 4450 meter, hanya dua jam perjalanan dari Letdar melalui jalan batu yang berlekuk-lekuk. Tanaman tak nampak sama sekali. Gunung batu yang kami lewati hanya satu warna – muram kelabu.

Senada dengan warna batu yang kelabu itu adalah rumah-rumah di Thorung Pedi. Rumah batu ala Tibet. Sunyi. Ada satu penginapan di sini, cukup terkenal karena merupakan tempat menginap rombongan turis. Karena tak banyak saingannya, ditambah lagi posisinya yang susah, harga menginap, makanan, dan air bersih di sini sangat mahal. Sebiji apel harganya 15 Rupee, sedangkan di bawah sana nyaris gratis.

“Dari Indonesia?” tanya pemilik penginapan, orang Tibet yang pandai cakap Melayu, “Kemarin juga ada orang Indonesia menginap di sini. Hari ini sudah berangkat ke atas dia, naik kuda.”

Hah? Pasti si Nef. Terkenal sekali kawan kita yang satu ini, di mana-mana meninggalkan jejak. Tetapi setahu saya ia hanya berangkat berjalan kaki dari Manang.

“Kasihan sekali dia,” kata pria Tibet bertubuh kekar itu, “Sakit berat. Jalannya sudah sempoyongan. Tetapi semangatnya untuk terus maju itu luar biasa. Memang kalau sudah sampai sini tak ada pilihan, kurang sedikit lagi sudah melewati Thorung La.”

Thorung La, titik tertinggi itu, adalah titik kulminasi perjalanan panjang sepuluh hari ini. Puncak itu, yang namanya selalu menemani mimpi di tiap malam, kini sudah begitu dekat. Dinginnya terasa, anginnya menderu menerpa wajah.

Masih seribu meter lagi ketinggian Thorung La dari Thorung Pedi. Biasanya turis dan pendaki menginap di Thorung Pedi, lalu berangkat subuh-subuh esok hari ke puncak gunung, dan langsung turun ke Muktinath di balik gunung itu. Perjalanan berat melintasi puncak itu konon akan membutuhkan waktu sekitar sepuluh jam.

Tetapi baru-baru ini, seiring dengan semakin banyaknya turis yang melintas Sirkuit Annapurna, semakin banyak fasilitas untuk memudahkan para pendaki. Salah satunya adalah perkemahan High Camp, 300 meter di atas Thorung Pedi, mendekatkan jarak ke Puncak Thorung La keesokan harinya.

Mendaki, dan terus mendaki. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mendaki, dan terus mendaki. (AGUSTINUS WIBOWO)

Setelah sepuluh hari berjalan, tiga ratus meter tidak berarti banyak buat kami. Tetapi, naik tiga ratus meter dari ketinggian hampir 4500 meter lain lagi ceritanya. Jalan batu berzig-zag, mengingatkan saya pada perjuangan hidup mati di Kailash di Tibet, ketika saya yang kehabisan oksigen sudah tak mampu lagi mengontrol otak saya. Penderitaan itu terulang kembali.

Perjalanan Annapurna adalah penjabaran dari setiap langkah ziarah suci di Kailash – pemandangan lapang yang indah, perjalanan santai dengan menikmati alam sekitar, alam tiba-tiba berubah menjadi ganas, perjalanan menjadi berat, tujuan akhir semakin jauh, langkah kaki semakin tak terkendali, secercah kegembiraan, hingga tepat mendekati titik akhir langkah menjadi berat kembali oleh beban masa lalu, harapan, dan pencapaian. Semua hakikat perjalanan hidup tertuang dalam satu kali ziarah mengelilingi gunung suci.

Teh lemon panas mengalir di tenggorokan, menghangatkan tubuh kami yang sudah menggigil. Di High Camp pemilik pemondokan trekker yang juga lancar berbahasa Melayu sedang gembira mengisi pundi-pundi uangnya. Hanya ada satu pemondokan lain di sini, persaingan tak banyak. Sepetak kamar dengan satu kasur dan dua lapis selimut tebal dan bau harganya 100 Rupee. Belum seberapa dibandingkan menu makanan yang harganya 200 Rupee ke atas. Tempat ini begitu terpencil. Barang makanan didatangkan dari dusun-dusun di bawah sana, seminggu perjalanan, dengan menggunakan jasa porter yang terbungkuk-bungkuk naik turun bukit.

“Tak apa,” kata Jörg, “Kita sudah sampai di titik ini. Sudah sepatutnya kita merayakan kemenangan kita, walaupun perjuangan yang lebih berat lagi menanti esok hari.”

Rombongan turis satu per satu berdatangan. Pemondokan sunyi di gunung tinggi ini tiba-tiba menjadi ramai oleh lusinan orang bule, dua orang Asia, dan sepuluhan orang Nepal.

Yang turis, dengan membawa ransel berpuluh-puluh kilogram berisi segala macam perlengkapan untuk hidup nyaman di tempat tak nyaman, sudah tak sabar lagi menantikan petualangan besar yang menantang esok hari. Semua pakaian tebal sudah mereka kenakan – baju tiga lapis, sweater dua lapis, jaket, mantel, topi, sarung tangan, syal. Ransel mereka jadi jauh lebih ringan, tetapi tubuh semakin berat oleh baju hangat.

High Camp (AGUSTINUS WIBOWO)

High Camp (AGUSTINUS WIBOWO)

Yang orang Nepal, porter dan pemandu, sudah melewati rute ini puluhan kali, tentu tak merasakan keingintahuan yang sama dengan para turis itu. Bagi mereka, membawa beban ransel turis itu berarti sesuap nasi bagi sanak saudara di rumah. Punggung mereka bertambah lagi selapis tebalnya. Kepala mereka bertambah kuat lagi seperti baja. Thorung La sama sekali bukan tantangan lagi bagi mereka. Bola biliar tersentak, tawa lepas membahana, para porter dan pemandu berbahagia karena hari gajian sudah semakin dekat.

“Jangan khawatir,” kata Shri Gurung, saudara Gurung saya, “Kamu pasti bisa. Thorung La buat kamu pasti no problem….”

Sama sekali tidak. Malam itu saya tak bisa tidur. Sudah banyak trekker di High Camp ini yang menunjukkan gejala sakit parah, termasuk salah seorang turis Shri Gurung. Saya meringkuk, menggigil kedinginan di bawah bungkusan empat lapis baju hangat dan tumpukan selimut bau, dalam malam yang gelap gulita. Gemuruh geledek, hujan, dan salju membasahi bumi. Esok subuh pukul 5, sebuah perjuangan berat akan dimulai.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 24 Oktober 2008

1 Comment on Titik Nol 60: High Camp

  1. salam kenal untuk admin website ini,
    saya sangat tertarik dengan tulisan mengenai Kailash
    sayang tulisannya (Bersambung)

    mudah-mudahan saya bisa sampai ke kaki gunung Kailash suatu saat nanti
    semoga saja

Leave a comment

Your email address will not be published.


*