Recommended

Titik Nol 61: Api yang Tak Pernah Padam

Mendaki dalam kabut dan salju. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mendaki dalam kabut dan salju. (AGUSTINUS WIBOWO)

Terbungkus kabut kami mendaki. Yang ada hanya kelabu, dingin. Angin menampar wajah, membekukan semangat. Tetapi, ada api yang tak pernah padam yang membuat kaki terus melangkah, menapak di atas tumpukan salju tebal.

Kami berangkat dari High Camp pukul lima subuh. Matahari masih belum bersinar. Jalanan gelap. Hanya bulatan pancaran lampu senter yang menjadi penunjuk jalan, ditambah denting lonceng leher keledai yang mengangkut bawaan rombongan trekker. Dalam kegelapan ini, saya meraba jalan. Hanya tahu naik, naik, dan terus naik…

Pada ketinggian 5000 meter, jangankan mendaki, untuk bernafas pun susah. Langkah menjadi pendek. Beban tas ransel kosong di punggung rasanya seberat karung beras. Naik, naik, dan terus naik….

Thorung La masih 600 meter lebih tinggi dari High Camp. Pukul enam, bias-bias mentari masih tak sanggup menembus mendung. Dunia di sekeliling terbungkus putih yang merata. Semalam hujan salju deras. Dulu waktu kecil, saya pernah membayangkan, bagaimana rasanya kehidupan di balik awan sana. Hari ini, pada ketinggian 5100 meter, dua per tiga perjalanan menuju puncak, saya sudah berada di tengah awan dan kabut.

Dingin. Wajah terus ditampar terpaan angin, disiram bulir salju. Semangat dipadamkan oleh dingin dan kemuraman. Gunung-gunung di sekeliling pucat, namun perkasa. Saya tahu, di balik puncak gunung sana, ada sebuah dunia lain, yang jauh lebih ramah daripada kumpulan awan dan terjangan badai salju di sini. Otak saya sudah kosong. Yang saya tahu hanya naik, naik, dan terus naik….

Rombongan turis dengan armada lengkap: barisan keledai, porter, pemandu merangkap penterjemah, mulai beriringan melintasi kami. Mereka umumnya trekker yang sudah siap sedia, komplit dengan tongkat trekking, jaket tebal, topi bulu, sepatu bot. Sedangkan saya, backpacker kesasar yang hanya berbekal jaket almamater dan sepatu butut menggigil kedinginan di tepi jalan.

Bendera doa yang sudah beku. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bendera doa yang sudah beku. (AGUSTINUS WIBOWO)

Yang lebih tangguh daripada keledai adalah para porter. Tubuh mereka nyaris tertimbun oleh tumpukan ransel para turis yang entah mengapa ke tempat seperti ini pun harus bawa barang banyak sekali. Shri Gurung misalnya, membopong beban seberat 45 kilogram, walaupun diterpa badai salju tetap naik ke puncak dengan bersiul, melantunkan lagu rakyat Resham Phiri-ri.

Naik, naik, dan terus naik….

Saya hampir roboh ketika melihat bendera doa Tibet yang berwarna-warni berkibar di puncak sana. Oi Lye sudah pucat pasi, tak mampu bicara lagi. Setiap tiga langkah, ia harus beristirahat, menyanggakan tas punggungnya yang berat di atas batu. Jörg jadi pemarah, dingin dan tipisnya udara membuatnya sangat emosional. Saya melangkah setapak demi setapak, setiap langkah diiringi tarikan dan hembusan nafas panjang.

“Kita sudah sampai! We made it!!!” seru Jörg dengan gembira, tepat ketika kami di hadapan papan bertuliskan “Thorong La Pass – 5416 mtr – Congratulation for the Success!!! See You Again!!!”.

Merah, putih, biru, kuning, hijau, barisan mantra bendera doa Tibet dengan gambar Dewa Sakyamuni, membeku dibungkus selapis es. Tempat yang paling tinggi, paling dekat dengan langit, adalah tempat terbaik untuk melantunkan doa. Tangan dan kaki saya sudah kaku, tetapi kegembiraan merasuki hati saya.

Jalan turum yang curam menuju Muktinath. (AGUSTINUS WIBOWO)

Jalan turum yang curam menuju Muktinath. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ini pertama kalinya saya merasakan keberhasilan pendaki gunung menaklukan puncak. Inilah tujuan yang dinantikan. Begitu lega rasanya. Dalam sekejap, perjuangan panjang sebelas hari terkilas kembali dalam kenangan. Dari tanah rendah yang panas, air terjun deras, ladang ganja, hutan pinus, padang lumut, gunung gersang, kabut awan, dan kini – puncak salju. Perjalanan, perjuangan, mimpi dan harapan itu kini tergapai.

Konon suhu di sini sudah minus 20, tak heran ujung kaki saya sudah beku gara-gara sepatu sudah bolong. Kami merayakan dengan secangkir teh lemon panas, di sebuah kemah di tepi tumpukan bendera doa. Tak ada orang yang tinggal di sini. Penjual teh pun harus melintas perjalanan yang berat, tinggal di alam yang ganas, hanya untuk berjual teh. Harganya jadi tak murah, secangkir teh celup dengan sedikit lemon 70 Rupee.

Di sini pun, jejak Nef masih membekas. Memang tak banyak orang Indonesia yang sampai ke sini, dan begitu ada satu saja semua orang langsung ingat.

“Kamu dari Indonesia juga? Kemarin ada orang Indonesia yang sampai sini, naik kuda. Kamu kenal?” tanya pedagang teh di kemahnya.

Bahkan pin Indonesia ikut berkibar bersama bendera doa yang sudah beku, mungkin ditinggalkan Nef yang nasionalis, menunjukkan bahwa Indonesia sudah pernah sampai ke sini.

Seperti pepatah China yang sudah saya modifikasi sedikit – Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi, mencapai Thorung La bukan berarti perjuangan berakhir. Dusun terdekat yang dihuni manusia adalah Muktinath. Letaknya 1600 meter di bawah. Kami menempuh perjalanan naik perlahan-lahan, selama berhari-hari. Sekarang dari ketinggian 5416 meter kami langsung terjun ke 3700 meter dalam sekejap. Dan kami harus ke sana cepat-cepat, karena setelah tengah hari Thorung La akan dilanda badai angin dingin.

Sekarang turun, turun, dan terus turun….

“Jangan khawatir, sehabis Thorung La lintasannya datar dan mudah,” kata Shri Gurung.

Lembah hijau Muktinath. (AGUSTINUS WIBOWO)

Lembah hijau Muktinath. (AGUSTINUS WIBOWO)

Jangan percaya ‘datar’ dan ‘mudah’ nya orang gunung. Perjalanan menuju Muktinath melintasi lereng curam diselimuti pasir licin, adalah lintasan yang paling susah yang pernah saya jalani. Memandang Muktinath yang begitu rendah seperti memandang bumi dari langit. Nafsu menggebu ingin segera mencapai tempat itu, tetapi semakin terbawa nafsu, semakin sering saya terpeleset, jatuh terduduk.

Turun, turun, dan terus turun…. Dari kegersangan puncak gunung, lembah hijau Muktinath bersinar dibilas mentari. Kaki saya sudah tak kuat lagi. Tungkai sakit, mengerem beban tubuh yang tergeret gravitasi. Perbedaan ketinggian seribu enam ratus meter dalam sehari memang bukan angka main-main. Masih mending, ini perjalanan turun. Kalau orang mengelilingi Annapurna menurut arah sebaliknya, di tempat ini mereka harus mendaki 1600 meter sampai Thorung La. Hanya yang tahan banting yang sanggup melakukannya. Selain orang gunung, ternyata ada pula turis asing yang menjajal kegilaan ini.

Muktinath, kota suci di bawah kaki Thorung La, adalah tempat ziarah umat Hindu dan Budha. Para peziarah datang jauh-jauh dari India, bersembahyang di hadapan api yang tak pernah padam, menari-nari di atas genangan air.

Bagi para turis, Muktinath adalah tempat perayaan kemenangan. Mencapai Muktinath, setelah melintasi Thorung La, adalah kemenangan penjelajahan Annapurna. Tak peduli naik kuda atau jalan kaki, tak peduli menggendong barang sendiri atau membebani porter dan keledai, masing-masing punya kenangan perjuangan panjang itu, gejolak hati melihat puncak Thorung La, dan sakitnya terjun bebas sampai Muktinath.

Bob Marley Guest House di Muktinath, mencampurkan nuansa Jamaika dengan arsitektur Tibet, adalah salah satu tempat favorit di kota suci ini. Biasanya pemondokan sepanjang lintasan Annapurna adalah rumah keluarga, kecil dan hangat, tetapi Bob Marley Guest House adalah losmen terbesar yang pernah saya lihat di sini. Berlantai tiga, menyediakan kemewahan air panas 24 jam non-stop, diserbu oleh rombongan turis maupun backpacker independen. Kami menginap gratis, dengan syarat harus makan malam di hotel ini. Menunya luar biasa, mewah dan mahal. Tetapi tak apa, semua ingin sedikit bergembira setelah perjuangan panjang ini.

Seorang turis Jerman menatap makanan eksotis yang terhidang di hadapannya – steak daging yak.

“Baru kemarin aku berkenalan dengan yak, baru tadi pagi aku melihat yak, dan malam ini aku sudah menyantapnya di atas piring…”

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 27 Oktober 2008

1 Comment on Titik Nol 61: Api yang Tak Pernah Padam

  1. mas aku tertarik melintasi sirkuit anapurna tp buat muslim apakah mudah nyari menu makanan halal?

Leave a Reply to rara Cancel reply

Your email address will not be published.


*