Recommended

Titik Nol 65: Visa India yang Gagal

Mimpi buruk di Muktinath jadi kenyataan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mimpi buruk di Muktinath jadi kenyataan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kedutaan India di Kathmandu selalu ramai oleh antrian panjang para pelamar visa. Nepal mungkin tempat paling mudah untuk mengambil visa India. Tetapi tak semua orang membawa pulang kisah keberhasilan dari sini.

Saya terjebak lagi dalam antrean panjang pagi hari di depan kedutaan India yang tersembunyi di sebuah gang kecil tak jauh dari Thamel di Kathmandu. Ini adalah kali ketiga saya datang.

Tiga minggu yang lalu, saya sudah mengisi formulir visa dan menyerahkan ke loket. “Datang seminggu lagi!” kata petugas visa. Prosedurnya, formulir saya konon akan dikirim ke kedutaan India di Jakarta untuk klarifikasi. Kalau kedutaan di Jakarta menyetujui dan mengirimkan fksimil ke Kathmandu, maka visa akan diterbitkan. Untuk harga formulir dan kontak lewat kawat ini, pelamar visa masih harus merogoh kocek 1.000 Rupee. Apakah formulir ini benar-benar akan difaks ke Jakarta dengan uang yang sudah kita bayar, hanya Tuhan yang tahu.

Keesokan harinya, tiba-tiba saya memutuskan berangkat trekking ke Annapurna. Perjalanan mengelilingi barisan gunung bersalju ini membutuhkan waktu setidaknya dua minggu. Lalu bagaimana dengan formulir visa India saya?

Kembali lagi saya ke Kedutaan India, terjebak dalam antrean panjang turis mancanegara yang mengular sampai 30 meter.. Orang Nepal tidak mengantre visa sama sekali, karena mereka bebas keluar masuk India kapan pun dan selama apa pun mereka mau.

Sepuluh demi sepuluh pelamar visa diizinkan masuk ke gedung Kedutaan. Masing-masing harus menulis nama, nomer paspor, dan kebangsaan di buku tamu, lalu melewati gerbang pendeteksi logam, kemudian diraba-raba petugas pemeriksa, baru diizinkan ke balairung konsular. Kedutaan India luas sekali, seperti sebuah kota kecil di dalamnya. Tetapi sama sekali tidak tampak indah dengan rumput liar yang tumbuh di mana-mana.

Di balairung visa ada tiga buah loket, seperti loket karcis bioskop. Ada meja tinggi untuk mengisi formulir. Tiang yang menyangga sudah berkarat. Di sini puluhan turis bule nampak cemas dan marah karena antrean yang teramat panjang dan semrawut di depan loket.

Saya ke sini sebenarnya hanya ingin bertanya kepada petugas konsular tentang rencana saya untuk pergi trekking dan akan terlambat mengambil visa.

“Oh, tidak apa-apa,” kata petugas yang kemarin, bapak tua yang botak dan pendek, “kamu pergi saja trekking, datang saja kapan pun kamu mau. Tidak masalah sama sekali.”

Tiga minggu setelah itu, setelah datang dari Annapurna dan mengikuti perayaan Dasain di Kathmandu, saya  kembali lagi ke Kedutaan India. Antrean panjang yang sama, formulir yang sama, gerbang pemindai besi yang sama, dan barisan loket kotor yang masih tak berubah.

“Manusia sudah gila,” kata seorang wanita tua dari Eropa, “bumi ini ciptaan Tuhan. Seenaknya saja mereka membuat garis-garis di atas bumi, lalu bilang ‘ini wilayahku, ini wilayahmu’.. Mereka menentukan semau mereka, siapa yang boleh masuk ke sini siapa yang tidak. Bumi ini ciptaan Tuhan. Semua manusia sudah gila. Crazy. Stupid.”

Si nenek sejak tadi bicaranya ngelantur ke mana-mana. Dia sudah tinggal di India berbulan-bulan, mengikuti acara kebatinan, dan bicara dengan kata-kata yang hanya dimengerti dewa. Dia adalah tipe turis Eropa yang menemukan ‘pencerahan’ dan sekarang sudah di awang-awang seperti para pertapa bule yang tinggal di Freak Street itu. Sambil menyebut kata crazy, telunjuknya di putar-putar di pelipis kanan.

Saya menyesal menanggapi si nenek dengan menyebut contoh kasus India dan Pakistan. Omongan si nenek semakin melantur ke mana-mana tentang kegilaan dan kebodohan umat manusia. Walaupun sebenarnya ocehannya ada benarnya, tetapi lelah juga mendengarkan kata-kata yang sama terus beratus-ratus kali.

Akhirnya saya sampai di depan loket visa. Saya menyodorkan secarik tanda terima yang saya terima tiga minggu lalu.

Petugas visa bukan bapak tua yang botak dan pendek itu. Sekarang adalah seorang pria ceking berkumis tebal. Raut mukanya yang tadi ramah, tersenyum sambil menunduk-nunduk ke arah turis bule, begitu melihat paspor Indonesia dan tanda terima saya langsung berubah drastis.

Namaste, Sir,” saya mengucap salam.

Tidak dijawab. Ia masih mengamati secarik tanda terima yang sudah lusuh.

“Mengapa kamu baru datang sekarang? Kamu terlambat lama sekali!” bentaknya kemudian.

Saya kaget. Saya menjelaskan bahwa saya baru datang dari trekking. Belum selesai saya bicara, langsung dipotong.

“Tidak ada alasan! Itu artinya kamu tidak perhatian sama sekali sama visamu!” dia mendengus kesal.

Kemudian dia mengorek-ngorek tumpukan lembaran kertas print. Mungkin karena saya datang terlambat, berkas saya sudah tenggelam oleh ribuan berkas pelamar visa lainnya.

“Tidak ketemu. Sama sekali tidak ada balasan dari Jakarta! Sudah, buat kamu dua bulan saja!” dengan kasar orang itu berteriak. Formulir visa dilempar kembali ke arah saya, dibubuhi tulisan dua bulan.

Dengan berat hati saya membayar 3.350 Rupee untuk biaya visa. Hati saya masih berdebar karena dongkol setelah dibentak-bentak di depan orang banyak.

“Sudah untung kamu dapat visa dua bulan,” kata Nef si backpacker Indonesia, “kalau di Jakarta, kedutaan India lebih sok lagi. Visa India susah sekali. Minta bukti rekening, pakai acara wawancara segala. Ditanya macam-macam. Itu pun cuma dikasih visa tiga bulan. Padahal cuma India gitu lho.”

Visa India dengan tulisan tangan yang jelek dan dicoret-coret sudah tertempel di paspor saya. Dua bulan saja. Mungkin juga rencana Tuhan supaya saya lekas ke Pakistan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 31 Oktober 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*