Recommended

Titik Nol 68: Akhir Kisah Kamera yang Rusak

Masjid Juma New Delhi - senangnya bisa memotret dengan leluasa lagi. (AGUSTINUS WIBOWO)

Masjid Juma New Delhi – senangnya bisa memotret dengan leluasa lagi. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sudah lebih dari dua bulan yang lalu kamera digital saya tiba-tiba rusak, persis ketika saya menyeberang perbatasan dari Tibet menuju Nepal. Kamera ini masih bisa dipakai sebenarnya, tetapi setiap kali memotret satu gambar harus dimatikan dulu, dinyalakan lagi, baru bisa dipakai untuk memotret gambar berikutnya.

Saya harus bertahan sekian lama dengan kerusakan kamera ini karena di Nepal tidak ada tempat reparasi khusus. India, sebuah negara besar dan modern, adalah satu-satunya tempat terdekat di mana saya bisa memperbaiki kamera. Saya menaruh harapan yang begitu besar ketika tiba di negara ini. Tetapi ternyata perjuangan saya masih terlalu panjang. Tidak ada hal yang mudah di sini.

“Kami harus mengganti motherboard kamera. Biayanya 14.000 Rupee, 450 dollar,” kata teknisi di pusat reparasi ini.

Ia bahkan tidak melirik kamera saya sama sekali. Mungkin teknisi gemuk ini termasuk level teknisi dewa yang langsung tahu semuanya tanpa perlu diagnosa.

“Tidak mungkin,” bantah saya, “tidak mungkin separah itu. Kamera saya masih bisa memotret. Cuma tidak praktis saja.”

“Kalau begitu, kameranya saya periksa dulu.”

Teknisi itu membawa pergi kamera saya ke sebuah kamar rahasia di belakang. Saya sama sekali tidak tahu apa yang ia kerjakan di sana.

Sepuluh menit kemudian ia kembali bersama kamera saya.

“Kamera kamu sudah mati!” teknisi itu memproklamasikan.

Emosi saya langsung naik ke ubun-ubun. Kamera saya nyata-nyata tadi masih bekerja, saya sempat mendemonstrasikan di mana rusaknya, sekarang mengapa setelah dibawa ke ruang rahasia itu jadi sama sekali tidak bekerja. Cuma gelap di layar.

“Pokoknya saya tidak mau tahu, kamu harus mengembalikan kamera ini seperti keadaan sedia kala!” Saya tak pernah semarah ini sampai membentak orang.

“Datang lagi besok, jam tiga sore,” teknisi itu tenang-tenang saja, tanpa mengucap sedikit pun kata maaf.

Benteng Merah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Benteng Merah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Keesokan harinya, pukul 15.30 saya kembali lagi ke kantor reparasi di bangunan megah di pusat kota New Delhi ini. Masih teknisi yang sama dengan kemarin.

“Kamera kamu susah sekali diperbaiki. Kamu datang lagi jam 5 ya. Saya lagi memperbaiki.”

Tak ada maaf, basa-basi, atau rangkaian kata-kata lain yang melegakan. Teknisi ini kasar sekali dalam bertutur kata.

Pukul 17 tepat saya datang lagi ke tempat ini. Kali ini rasa marah, jengkel, cemas, semua campur aduk. Teknisi yang kasar itu tidak ada di tempat. Manajer kantor yang menggantikannya.

Gentleman, saya benar-benar tidak tahu ada masalah apa antara kamu dengan teknisi. Ia sedang keluar, sepuluh menit lagi kembali. Kamu tunggu sebentar ya.”

Sepuluh menitnya orang India ternyata lebih dari 100 menitnya orang normal. Langit sudah hampir gelap ketika teknisi gemuk dan kasar itu datang sembari membawa kabar tak sedap: kamera tak mungkin diperbaiki, harus ganti motherboard, harganya 450 dolar, habis perkara.

Sumpah serapah langsung mengalir dari mulut saya. Kami beradu mulut sampai saling bentak dan maki. Manajer kantor yang terkejut mendengar keributan kami langsung melerai, menggiring si teknisi masuk, dan memarahinya dengan keras.

Seorang pengemis cacat jasmani di masjid. (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang pengemis cacat jasmani di masjid. (AGUSTINUS WIBOWO)

Si manajer keluar lagi. Orangnya jauh lebih sopan dan terpelajar dari teknisi.

Gentleman, kami menyadari bahwa semua kesalahan ada di pihak kami. Kamu membawa kamera ke sini, yang semula bekerja, setelah berada di sini malah rusak. Karena itu kami meminta maaf sebesar-besarnya. Sekarang, berapa uang yang sanggup kamu bayar? Kami akan memperbaiki kameramu dengan jumlah berapa pun yang sanggup kamu bayar.”

Apa lagi ini? Bukankah ini kantor reparasi resmi? Apakah ada prosedur seperti ini, meminta konsumen menentukan harganya sendiri? Saya menawarkan 80 dolar.

Gentleman, kami ini sudah rugi. Kami meminta maaf, tetapi setidaknya kamu juga bantu menutup kerugian kami.”

Setelah tawar-menawar yang alot, akhirnya saya setuju membayar 115 dolar. Tetapi mereka meminta saya datang 15 hari lagi untuk mengambil kamera. Saya langsung emosi lagi. Teknisi itu juga emosi. Manajer menenangkan.

“Begini, solusinya, kita pindahkan motherboard dari kamera kami yang ada ke kamera kamu. Bagaimana? Cuma butuh waktu 10 menit saja.”

Ratusan pengemis menanti belas kasihan di sekitar Masjid Juma.(AGUSTINUS WIBOWO)

Ratusan pengemis menanti belas kasihan di sekitar Masjid Juma.(AGUSTINUS WIBOWO)

Saya tak punya pilihan lain. Entah saya terjebak dalam permainan apa lagi.

Sepuluh menit kemudian, teknisi menyodorkan sebuah kamera. Bekerja sempurna, seratus persen. Tetapi ini bukan kamera saya. Ini kamera lain.

Kamera saya ditukar, tanpa garansi, tanpa tanda terima. Entah saya rugi atau buntung, mendapat kamera baru dengan harga 115 dolar. “Kami jamin ini kamera bagus, bukan barang defek,” kata manajer meyakinkan.

Sungguh lemas rasanya setelah menghabiskan seharian beradu mulut di kantor ini. Saya tak menyangka, hal-hal sepele seperti reparasi kamera pun penuh lika-liku, tragedi, dan intrik, bisa menjadi bahan film tiga jam penuh histeria ala Bollywood.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 5 November 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*