Recommended

Titik Nol 74: Istirahat

Jaipur, kota merah jambu. (AGUSTINUS WIBOWO)

Jaipur, kota merah jambu. (AGUSTINUS WIBOWO)

Setumpuk masalah visa dan bencana bom di New Delhi membuat saya lelah. Saya ingin istirahat, menenangkan pikiran. Rajasthan adalah pilihannya.

“Kamu yakin mau ke Rajasthan untuk menenangkan diri?” tanya Lam Li “kamu mesti ingat, India sama sekali bukan tempat untuk bersantai. Nanti jadinya malah kamu yang stress.” Lam Li, si petualang cewek dari Malaysia, baru saja datang kemarin dari Varanasi dan tak sengaja menginap di losmen yang sama dengan saya.

Sejak hari pertama datang ia muntah-muntah hebat. Obatnya cuma Coca Cola campur garam dan sebatang rokok. Hari ini wajahnya masih pucat.

Keputusan saya sudah bulat. Saya berangkat ke Jaipur di Rajasthan juga untuk mengejar perayaan hari raya Diwali – festival cahaya, perayaan terbesar bagi umat Hindu di India. Diwali adalah perayaan kemenangan terang melawan kegelapan, pencerahan mengatasi kebodohan, dan kebaikan mengalahkan kejahatan. Apalagi Diwali tahun ini hampir berbarengan dengan Idul Fitri, pasti sangat meriah.

“Ya sudah, berangkatlah dulu,” kata Lam Li, “besok aku menyusul. Hari ini aku masih sakit. Kalau sudah dapat penginapan murah di sana, bagi tahu ya.”

Saya dan Lam Li rasanya sudah menjadi teman perjalanan yang cocok. Kami tak selalu harus bersama ke mana-mana. Tetapi kami saling bantu dalam memberi informasi. Mencari penginapan murah, yang walaupun adalah pekerjaan rutin ketika menjalani petualangan sebagai backpacker, tidak selalu gampang. Rekomendasi orang tentu sangat membantu.

Lam Li kembali beristirahat di kamarnya ketika saya berangkat menuju terminal bus antar negara bagian (ISBT – Interstate Bus Terminus). Di terminal atau stasiun kereta api di India, kesabaran seorang backpacker benar-benar diuji.

Fenomena paling mencolok di India adalah ratusan calo yang berkeliaran di berbagai sudut kota. Ada calo tempat wisata, yang berpura-pura menjadi guide ramah lalu mengeruk duit turis. Ada sopir rickshaw yang merangkap menjadi calo hotel, berkisah berbagai cerita bohong tentang losmen murah yang kebakaran atau daerah Paharganj yang terjebak kerusuhan, lalu membawa turis ke hotel mahal punya temannya. Ada calo toko permata, yang membujuk rayu turis dengan segala daya untuk membeli berlian ‘murah’, tetapi palsu semua.

Sekarang di terminal saya menghadapi puluhan calo bus yang kegigihannya dalam mencari penumpang boleh jadi lebih dahsyat daripada pejuang perang. Ada yang mendorong, ada yang langsung membantu saya membawa ransel. Saya yang masih newbie di India tentu memilih mengikuti orang yang menawarkan harga paling murah.

Toilet pinggir jalan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Toilet pinggir jalan. (AGUSTINUS WIBOWO

Saya duduk dalam sebuah bus ber-AC. Harga karcis ke Jaipur 260 Rupee. Tetapi belakangan saya tahu, tiap penumpang membayar harga berbeda, tergantung spektrum kepandaiannya. Saya termasuk penumpang bodoh. Bukan saja membayar mahal, tetapi malah termakan janji gombal sopir dan kernet bahwa bus akan segera berangkat dalam hitungan menit. ‘Menit’ dalam skala India bisa berarti skala tiga jam.

Pelajaran pertama yang saya dapatkan – jangan sekali-sekali membayar karcis angkutan sebelum yakin bus berangkat. Saya menyesal tidak bisa pindah bus karena sudah terlanjur bayar karcis. Perut keroncongan dan hati diliputi kejengkelan ketika matahari sudah sangat tinggi pukul 12 siang. Padahal saya berangkat dari losmen jam 8 pagi, sampai sekarang masih bergeming di terminal bus New Delhi. Bukannya langsung berangkat, sopir malah melempar saya ke bus lain.

Perjalanan ke Jaipur sangat lambat, padahal melintasi Delhi-Jaipur Expressway yang beraspal mulus. Katanya ini bus langsung eksekutif, tetapi nyatanya berhenti di mana-mana untuk memungut penumpang. Semakin lama, bus ini semakin penuh, dengan puluhan penumpang yang tak dapat tempat duduk terpaksa bersila di lantai kendaraan. Mereka mengomel pun tidak, mungkin sudah terbiasa dengan perlakuan sopir yang semena-mena seperti ini.

Memasuki Jaipur, pemandangan langsung berubah menjadi padang pasir. Barisan unta menggeret kereta, mengangkut balok kayu, menyusuri jalan beraspal. Matahari terbenam menebarkan warna merah keemasan di seluruh penjuru padang yang datar.

Jaipur, dijuluki sebagai Kota Merah Jambu, adalah ibu kota negara bagian Rajasthan. Kota ini didirikan oleh Maharaja Jai Singh II, yang menjadi asal usul namanya. Dijuluki Pink City karena banyak bangunan bersejarah berwarna merah muda di kota ini. Sekilas dari balik jendela bus saya sama sekali tak melihat warna pink. Yang ada malah sebuah kota modern yang tertata rapi, jauh dari kesan kumuh Paharganj di New Delhi yang ibu kota negara.

Warna-warni Rajasthan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Warna-warni Rajasthan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya sampai di Jaipur ketika langit sudah gelap. Mencari penginapan dalam kegelapan malam bukanlah pekerjaan mudah, apalagi di kota yang sama sekali asing ini. Tukang auto rickshaw mengantar saya ke losmen yang katanya murah, tetapi harganya masih mahal buat kantong saya – 200 Rupee. Semua losmen di sekitarnya harganya juga di atas itu. Penginapan yang murah tak berani menerima orang asing.

Sampai pada akhirnya saya menemukan ‘hotel’ ini. Letaknya di Banasthali Marg, tak jauh dari gerbang kota Jaipur. Harganya cuma 100 Rupee per malam. Sebenarnya saya sudah cukup senang dengan menemukan kamar murah ini. Tetapi kemudian, sesuai dengan harga yang dibayar, yang saya dapatkan adalah kamar gelap dan bau, toilet yang pipanya sudah berkarat semua, dan air yang tak mengalir sama sekali. Ranjangnya tipis. Waktu tidur saya merasa seperti seorang pertapa yang bermeditasi menyiksa diri di atas kasur jarum.

Kamar ini letaknya di pinggir jalan. Jalan ini letaknya dekat terminal. Sepanjang malam, setiap lewat lima menit, ada bus atau truk yang melintas. Getaran kendaraan berat yang menggoncang jalan kuat sekali. Di atas kasur keras saya sepert digoyang gempa.

Mungkin benar kata Lam Li, India bukan tempat untuk ber-‘istirahat’.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 13 November 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*