Recommended

Titik Nol 76: Buka Pintu

Pintu yang terkunci. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pintu yang terkunci. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Haruskah aku membuka pintu hatiku?” tanya Lam Li.

Si gadis Malaysia baru datang ke Jaipur sore ini. Ia sangat senang akhirnya sampai juga di Rajasthan. Apalagi sekarang kami tinggal di losmen yang sama, dan pemilik losmen memberi kamar yang nyaman untuk Lam Li dengan harga 100 Rupee saja. Saya yang masih tersiksa dengan guncangan gempa sepanjang malam gara-gara truk yang lewat, akhirnya minta pindah kamar juga.

“Tahu tidak, tadi aku diundang tukang rickshaw,” ceritanya.

Waktu datang mencari losmen ini, ia menumpang rickshaw – kendaraan bajaj yang menjadi angkutan umum di negara ini. Tukang rickshaw mengundangnya untuk ikut acara puja menyambut Diwali di rumahnya.

Tetapi raut wajah Lam Li tidak seratus persen senang. Sambil mengunyah jajanan gorengan murah meriah – puri, ia mengisahkan bagaimana susahnya ia mempercayai orang India. Mungkin karena sudah terlalu banyak mendengar kisah buruk tentang kelakuan orang India yang suka tipu-tipu, Lam Li memasang tingkat kewaspadaan penuh menghadapi segala macam undangan. Ia tak pernah mempercayai orang sepenuhnya. Dinding curiga selalu menjadi batas pemisah antara dirinya dengan orang setempat.

“Aku selalu menutup pintuku,” katanya, “aku selalu menghindari interaksi dengannya. Atau mungkin sekarang waktunya aku memberi kesempatan, membuka sedikit celah pintu hatiku untuk orang India?”

Lam Li memuji saya yang selalu mudah percaya dengan kebaikan orang. Walaupun tidak selamanya baik, tetapi mempercayai orang adalah sebuah jalan menuju beragam pengalaman dan petualangan.

Saya mendengar curahan Lam Li tentang keraguan hatinya sambil mengiris lembaran kulit roti dosa, makanan India selatan, yang dicampur dengan bumbu chatni.. Di mata saya yang polos, tidak ada salahnya untuk percaya ajakan tukang rickshaw. Siapa tahu penarik bajaj ini adalah orang yang miskin harta tetapi tak miskin jiwa, orang yang tak segan menghabiskan waktu dan biaya untuk menghormati tamu asing yang datang ke negerinya.

Tetapi, walaupun kami berusah menalar, hal ini memang tak mudah masuk di akal kalau setting tempatnya India. Ada berapa juta turis asing yang berkeliaran di negara ini? Belum lagi kami selalu merasa diperlakukan seperti dompet berjalan. Tak hentinya penjaga toko, tukang rickshaw, pengemis, gelandangan, bocah penyemir, pedagang asongan, pemilik hotel, semua meneriakkan kata-kata yang sama, berulang-ulang, sampai beribu kali, “Hello! Hello!”, “Which country?”, “Japani! Japani!”

Lam Li sudah bertekad bulat.

“Biarlah aku memberi kesempatan sekali ini untuk membuka pintuku. Siapa tahu memang ada niat baik di baliknya. Tetapi kalau tidak, akan kututup lagi pintu hatiku terhadap segala macam undangan seperti ini.”

Sopir bajaj itu berjanji akan menjemput Lam Li pukul 4:30 sore.

“Boleh aku ikut?”

“Mungkin boleh ya,” kata Lam Li, “sekalian kalau misalnya ada apa-apa, setidaknya kita bisa saling membantu. Tetapi aku mesti tanya dulu ke tuan rumah.”

Pukul 4:30 tepat, tanpa terlambat sedikit pun – yang sebenarnya cukup ajaib di India, sopir rickshaw itu datang. Lam Li menyampaikan permintaanku, tetapi si sopir keberatan.

“Dia bilang hanya khusus untuk perempuan, karena di rumahnya ada istri dan anaknya. Tapi jangan khawatir, dia berjanji dua jam lagi akan mengantarku pulang. Aku bisa jaga diri.”

Kepergian Lam Li membuat saya gundah. Entah apa yang akan terjadi padanya, dibawa oleh orang yang sama sekali tak jelas asal usulnya. Apalagi ini hari pertama kedatangan Lam Li di kota ini.

Sedangkan saya, orang yang diharapkan Lam Li untuk menjadi penyelamatnya, malah tampil mengecewakan. Sebelum Lam Li berangkat, Aman si pemilik losmen mengingatkan saya untuk mengingat-ingat rickshaw yang membawa Lam Li. Bukannya mengingat nomornya, saya malah mengingat bentuk dan warnanya. Ada berapa puluh ribu rickshaw berwarna hijau kuning yang beredar di seluruh Jaipur?

Dua jam berlalu, Lam Li tak kunjung datang.

“Jangan khawatir,” kata Aman, “dia pasti pulang.”

Saya dirundung setumpuk perasaan berdosa tak mencatat nomor kendaraan bajaj itu. Apa yang bisa kami lakukan seandainya terjadi apa-apa.

Tiga jam, si gadis Malaysia belum pulang juga. Langit sudah mulai gelap.

Baru pukul sembilan malam saya berjumpa dengan Lam Li. Si gadis masih tertawa terpingkal-pingkal setelah diberi tahu Aman kalau saya cuma ingat bentuk dan warna rickshaw.

“Aiyo… benar-benar tak boleh rely on you lah,” katanya dalam bahasa Melayu bercampur Inggris.

Tak ada kejadian apa-apa. Tetapi juga tak bisa dibilang menyenangkan. Lam Li dibawa ke rumah sopir itu. Rumahnya cukup bagus, tak besar, tak kecil. Nampaknya si sopir ini punya penghasilan yang lumayan. Yang tinggal di rumah ini cuma tiga orang, sopir bersama istri dan anak gadisnya. Hanya si sopir yang bisa bahasa Inggris.

Keluarga itu melaksanakan sembahyang puja. Di hadapan istri dan anak perempuannya yang tak mengerti bahasa Inggris, si sopir tanpa sungkan malah bercerita tentang banyaknya pacar cewek asing yang pernah ia ‘cicipi’, tentang istri gelapnya yang cewek Perancis, tentang hubungan gelap mereka yang sama sekali tak terendus istri dan anaknya. Si sopir juga meyakinkan bahwa Lam Li bisa juga merasakan kenikmatan lelaki India.

Di saat pertama Lam Li membuka pintu hatinya, ia malah disodori pengalaman menjijikkan seorang lelaki rendah yang berusaha merayu wanita asing di hadapan istri dan anaknya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 November 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*