Recommended

Daru 8 September 2014: Petualangan Menyusuri Sungai Liar

140908-daru-1Setelah menyusuri pesisir pantai selatan Papua Nugini di Western Province yang paling terisolasi, saya masih menginginkan sebuah petualangan yang lebih gila. Sebuah petualangan yang bahkan para penduduk pun mengatakan mustahil: Menyusuri Sungai Fly.

Sekadar menyusuri Sungai Fly saja sebenarnya tidak mustahil. Dari Daru menuju kota Kiunga (pusat pemerintahan Western Province) di hulu sana, yang sejauh 400an kilometer, sebenarnya ada kapal penumpang yang dioperasikan perusahaan pertambangan Ok Tedi setidaknya sebulan sekali, yang harga karcisnya sekitar 2 juta rupiah. Bagi saya, itu tidak menarik, karena saya tidak akan bisa melihat apa-apa selain Kiunga, dan hanya menyaksikan sungai ini seperti pengunjung museum tanpa bisa melebur ke dalam kehidupannya. Lagi pula, saya tidak tahu pasti kapan perahu itu akan datang.

Sedangkan untuk menuju Kiunga, alternatif lainnya adalah terbang, dengan frekuensi penerbangan hanya sekali seminggu yang harganya 1500 kina. Tujuh ratus dolar! Hanya untuk perjalanan di dalam satu provinsi yang tidak sampai satu jam penerbangan. Biaya transportasi memang sangat gila di Papua Nugini.

Sungai Fly menarik bagi saya, karena sungai sepanjang seribu kilometer ini adalah sungai terpanjang kedua di Papua Nugini setelah Sungai Sepik, namun jauh lebih sulit dijangkau. Sungai ini pertama kali ditemukan tahun 1842 oleh Francis Blackwood yang mengemudikan kapal korvet HMS Fly untuk melakukan survei geografi di Teluk Papua, sehingga nama kapal itu kemudian diabadikan sebagai nama sungai ini.

Western Province adalah salah satu daerah yang paling tidak terjamah di negeri tidak terjamah Papua Nugini, dan misteri tentang tanah-tanah yang tidak terjamah selalu mengusik keingintahuan saya. Apa lagi, sebagai orang Indonesia, saya juga tertarik karena Sungai Fly menjadi perbatasan penting antara Indonesia dan Papua Nugini. Garis batas antara kedua negara berupa garis lurus yang membentang pada 141 derajat Bujur Timur, kecuali ada sedikit “benjolan” di tengah yang menjorok ke Indonesia. Benjolan itu adalah lekukan Sungai Fly.

Rencana saya adalah menumpang perahu nelayan. Misalnya dari Daru saya bisa menumpang perahu nelayan ke desa yang ada di mulut Sungai Fly, lalu dari desa itu saya menunggu perahu nelayan yang menyusuri Sungai Fly ke desa berikut ke arah hulu, demikian seterusnya dari desa ke desa, maka lambat laun saya akan bisa mencapai Kiunga. Semua penduduk Daru yang saya tanyai mengatakan tidak pernah mendengar orang melakukan perjalanan ini. Tetapi berbekal peta ala kadarnya (yang sama sekali jauh dari lengkap), saya yakin perjalanan ini memungkinkan.

Ada beberapa hal yang harus saya waspadai di sini. Pertama, tentu saja adalah aktivitas Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang cukup aktif di sepanjang aliran Sungai Fly bagian tengah sampai ke hulu yang berdekatan dengan daerah perbatasan. Sebagai orang Indonesia, tentu ini membahayakan bagi saya. Bahaya kedua adalah buaya. Orang-orang bahkan memperingatkan saya jangan pernah menjulurkan kaki ke sungai apabila menumpang kano, karena bisa disambar buaya Sungai Fly yang terkenal ganas dan melimpah.

Bahaya lain adalah keamanan. Kota dan desa Papua Nugini yang saya kunjungi selama ini masing-masing memiliki bahaya keamanan yang tidak bisa diprediksi, apalagi di Sungai Fly—yang bahkan saya tidak tahu ke mana saja saya nanti akan berhenti dan orang-orang seperti apa yang akan saya temui. Apalagi, karena ini daerah terpencil, komunikasi akan terputus total sama sekali dari dunia luar, dan saya tidak akan bisa meminta bantuan siapa-siapa selain kemurahan hati penduduk setempat.

Selama beberapa hari ini saya setiap hari mengunjungi dermaga di pulau Daru. Sementara para pedagang China berdagang di supermarket dan bangunan toko, orang-orang Papua Nugini berdagang di bawah terik matahari di dermaga. Mereka adalah orang-orang dari pesisir pantai atau dari kawasan muara Sungai Fly yang menjual hasil bumi, mulai dari ikan, udang, sampai sagu dan tas anyaman. Para pedagang ini mengelompok berdasar bahasa dan kampung asal masing-masing. Para pedagang berbahasa Kiwai yang berasal dari muara Sungai Fly umumnya berkumpul di belakang supermarket New Century.

Cara berdagang penduduk lokal yang tidak berubah selama ratusan tahun, sementara pendatang China sudah membangun supermarket besar (AGUSTINUS WIBOWO)

Cara berdagang penduduk lokal yang tidak berubah selama ratusan tahun, sementara pendatang China sudah membangun supermarket besar (AGUSTINUS WIBOWO)

Di pelabuhan Daru, para nelayan pun mengelompok sesuai daerah asal dan bahasa masing-masing (AGUSTINUS WIBOWO)

Di pelabuhan Daru, para nelayan pun mengelompok sesuai daerah asal dan bahasa masing-masing (AGUSTINUS WIBOWO)

Penduduk lokal berdagang di pinggir jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Penduduk dari desa-desa pesisir dan daeah muara Sungai Fly berdagang di pinggir jalan Daru (AGUSTINUS WIBOWO)

Orang Papua Nugini, terutama yang dari kampung dan desa kecil, terkenal untuk keramahan mereka melayani tamu. Sebenarnya tidak susah bagi saya untuk menemukan orang-orang yang mau mengangkut saya dengan kano mereka. Ada yang akan berangkat besok, ada pula yang berangkat tiga hari lagi. Tetapi, perasaan saya tidak mantap. Untuk perjalanan pertama, ada baiknya saya berangkat dengan orang yang benar-benar saya percaya. Untunglah, kenalan saya ada kenalan di NGO World Vision di Daru yang berasal dari desa Doumori di mulut Sungai Fly. Dan kebetulan sekali, satu kano dari keluarganya datang dari desa dan akan bertolak balik esok hari. Mereka menyanggupi untuk mengangkut saya ke kampung mereka.

Sebelum berangkat, saya menemui Pastor Steven Bagari, seorang yang cukup dihormati di Daru dan banyak melakukan penelitian di Sungai Fly. Mendengar saya akan mengunjungi, Pastor Steven menyambut saya di rumahnya di kawasan perkampungan di utara pulau dengan memakai pakaian terbaik miliknya—baju batik.

“Baju yang cantik,” kata saya.

“Ini dari negaramu,” katanya. “Anak saya dulu adalah konsul Papua Nugini di Jayapura, dan dia membelikan saya baju ini. Dia bilang, baju ini harus dipakai pada kesempatan istimewa. Jadi saya memakainya untuk memimpin kebaktian, dan hari ini, untuk menemuimu.”

Rumah Pastor berupa gubuk yang terletak di sebuah corner (permukiman kumuh) di Daru, yang semakin kumuh karena jalanannya bersimbah lumpur. “Semalam terjadi pasang besar,” kata Pastor, “air sampai setinggi satu meter di sini. Dulu jarang ada kejadian seperti ini. Sekarang setiap bulan.”

“Kenapa bisa begitu? Perubahan iklim?” tanya saya.

“Bukan. Ini air dari Sungai Fly. Ini gara-gara perusahaan pertambangan Ok Tedi yang ada di hulu sungai Fly, yang membuang semua limbah mereka ke sungai. Akibatnya, sungai menjadi tercemar dan airnya membanjiri kampung-kampung di sepanjang sungai. Sekarang, dampak kerusakan alam itu bahkan sudah sampai ke Daru!”

Padahal Daru juga cukup jauh dari Sungai Fly, 50 kilometer dari delta sungai. Limbah dari perusahaan pertambangan emas dan tembaga itu mengandung zat-zat berbahaya yang meracuni air sungai. Sekarang air Sungai Fly sudah tidak bisa diminum, dan bisa merusak kulit. Pastor mencurigai paparan racun di Sungai Fly bisa menyebabkan kanker. Dia juga menunjukkan foto bayi-bayi yang dilahirkan tanpa kulit perut, dari sebuah desa di Kepulauan Kiwai, di delta sungai Fly. Juga ada bayi yang lahir dengan sayap (yang langsung meninggal begitu dilahirkan), atau bayi yang lahir tanpa wajah.

Pastor Steven Bagari

Pastor Steven Bagari

Pelabuhan Daru selalu ramai oleh perahu-perahu dari daerah pesisir dan Sungai Fly.

Pelabuhan Daru selalu ramai oleh perahu-perahu dari daerah pesisir dan Sungai Fly.

“Dulu, Daru adalah ibukotanya ikan kakap barramundi,” lanjut Pastor, “barramundi sangat melimpah di Daru, bisa berukuran dua meter, seorang lelaki tidak cukup kuat untuk mengangkut seekor ikan. Sekarang ikan barramundi sangat sedikit, paling panjang pun cuma 60 sentimeter. Ikan barramundi yang liar sudah sulit ditemukan, kami terpaksa membudidayakannya di teluk dekat bandara. Ini semua gara-gara [perusahaan tambang] Ok Tedi. Mereka harusnya mendukung penduduk di sini, membangun pabrik pengolahan ikan, dan membangun jalan sehingga kita bisa punya pasar.”

Pastor Steven rupanya juga adalah seorang politikus. Sekarang dia menggunakan isu perusakan sungai Fly untuk memperoleh dukungan. Wacana yang digalakkannya adalah bagaimana supaya uang ganti rugi dari perusahaan pertambangan itu sampai kepada penduduk yang dirugikan oleh aktivitas pertambangan di hulu sana. Selama ini, daerah hulu Sungai Fly yang begitu jauh dari pusat aktivitas pertambangan namun justru yang paling terdampak, hampir selalu diabaikan dalam hal kompensasi.

Perusahaan pertambangan Ok Tedi semula dikelola oleh perusahaan BHP dari Australia. Kasus perusakan alam dengan jutaan ton zat beracun ke dasar Sungai Fly menyebabkan perusahaan itu menghadapi tuntutan pengadilan dan dialihkan kepemilikannya sepenuhnya kepada perusahaan pemerintah Papua Nugini. Tetapi di mata Pastor Steven, tetap Australia yang mengendalikan perusahaan itu, hanya berganti nama. Sekarang, penduduk mendapat kompensasi dari perusahaan sebesar 150 kina (sekitar A$ 75) per orang per tahun. Karena hitungannya per orang, sejumlah penduduk desa justru berusaha menambah anak sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan lebih banyak uang kompensasi (yang tidak seberapa itu).

“Umur pertambangan Ok Tedi sudah tidak lama lagi,” kata Pastor, “Hanya sepuluh tahun lagi. Gunung yang mereka gali sudah habis dan menjadi endapan di dasar sungai. Tapi, sekarang ada pertambangan lain, yaitu Pogera di provinsi Enga, yang limbahnya dibuang diam-diam ke Sungai Fly tanpa ada orang yang memprotes.”

Dengan advokasinya di bidang lingkungan ini, Pastor Steven berencana untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Apa programnya jika terpilih nanti, saya bertanya.

“Program saya adalah untuk meminta Indonesia membangun jalan ke sini dan mengajari kami menanam padi,” katanya, “Dan kalau saya gagal, saya ingin menjadi warga negara Indonesia, karena di sini hukum sangat lemah sedangkan di sana hukum ditegakkan dengan keras.”

Pernyataannya itu sampai membuat saya mengernyitkan kening. Mengingat sebentar lagi adalah peringatan hari kemerdekaan Papua Nugini, saya bertanya, “Lalu apa makna kemerdekaan bagi Pastor?”

“Kemerdekaan berarti pada akhirnya kita bebas dari penjajah kita, tetapi kenyataannya sekarang kita bukannya merdeka tetapi malah lagi-lagi diperbudak. Kita telah kehilangan hak atas tanah kita sendiri. Sekarang anak muda bilang, lebih enak kalau dijajah, setidaknya ada patroli pemerintah dan kunjungan dokter dari desa ke desa. Saya pun 110 persen yakin, hari-hari penjajahan dulu itu lebih baik dan kita sekarang belum merdeka.”

“Setidaknya sekarang kalian punya akses untuk kekayaan alam yang melimpah,” kata saya.

“Sesudah merdeka, kami memang tiba-tiba menemukan emas, tembaga, minyak. Tapi kami tidak punya sumber daya manusia, dan orang-orang tetap tidak punya pekerjaan. Kemerdekaan datang terlalu awal pada kami. Mungkin kami tidak seharusnya merdeka tahun 1975. Lebih baik 1985 atau bahkan tahun 2000, ketika Australia sudah benar-benar mempersiapkan kemerdekaan kami.”

Papua Nugini sebenarnya terdiri dari dua bagian: Papua di selatan dan Nugini di utara. Menurut Pastor Steven, kemerdekaan Papua Nugini tahun 1975 sebenarnya adalah kemerdekaan Nugini, dan Papua diseret untuk ikut. Papua semula adalah negara bagian ketujuh Australia, tetapi tidak pernah ada referendum yang menanyakan apakah warga Papua setuju merdeka bersama Nugini di tahun 1975 itu. “Menurut hukum Australia, seharusnya kami tetap adalah negara bagian mereka,” kata Pastor Steven, “Australia memberi kami kemerdekaan politik tetapi tidak ada kemerdekaan ekonomi.”

Saya semakin tidak sabar untuk mengalami sendiri Sungai Fly esok hari. Mungkin sungai ini adalah saksi dari perjuangan kemerdekaan sebuah negeri yang belum pernah benar-benar merdeka.

Para penduduk Sungai Fly yang berlabuh di Daru

Para penduduk Sungai Fly yang berlabuh di Daru

Mereka adalah orang-orang perahu

Mereka adalah orang-orang perahu

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

7 Comments on Daru 8 September 2014: Petualangan Menyusuri Sungai Liar

  1. Program saya adalah untuk meminta Indonesia membangun jalan ke sini dan mengajari kami menanam padi,” katanya, “Dan kalau saya gagal, saya ingin menjadi warga negara Indonesia, karena di sini hukum sangat lemah sedangkan di sana hukum ditegakkan dengan keras.”
    Setidaknya sy jd lebih bersyukur jd orang indonesia ya mas, sll suka tulisanny God bless u

  2. Program saya adalah untuk meminta Indonesia membangun jalan ke sini dan mengajari kami menanam padi,” katanya, “Dan kalau saya gagal, saya ingin menjadi warga negara Indonesia, karena di sini hukum sangat lemah sedangkan di sana hukum ditegakkan dengan keras.”
    Setidaknya sy jd lebih bersyukur jd orang indonesia ya mas, sll suka tulisanny God bless u

  3. His story teachs us to be thankful about living in Indonesia.. nice.

  4. Hebat. Senang membacanya.

  5. Padahal jaman sudah modern, saya kira sudah tidak ada lagi hal seperti ini, terimakasih telah berbagi pengalamannya, sukses selalu buat semua.

  6. “Menurut Pastor Steven, kemerdekaan Papua Nugini tahun 1975 sebenarnya adalah kemerdekaan Nugini, dan Papua diseret untuk ikut.”

    Sepertinya lebih menguntungkan bagi Australia untuk melepas Papua secara teritori tapi tetap mengeksploitasi secara ekonomi.

Leave a Reply to Nina Aja Cancel reply

Your email address will not be published.


*