Recommended

Doumori 10 September 2014: Surga Berlumpur (1)

140909-doumori-1-1Kano kayu menuju Sungai Fly terayun-ayun di atas laut yang tenang. Sesekali angin semilir berhembus, membuat kami para penumpang tertidur di papan datar di atas kano. Berbeda dengan speedboat yang membuat posisi duduk para penumpang berada di bawah permukaan air laut, kano pesisir Papua selatan ini tinggi dan besar, dan papan tempat kami duduk sekitar dua meter tingginya dari permukaan air, sehingga kami tidak perlu terlalu khawatir basah oleh gelombang.

Penumpang kano ini terdiri dari dua belas orang, merupakan keluarga besar dari Mama Ruth yang datang dari desa Doumori di mulut Sungai Fly ke Daru untuk menjual sagu dan ikan. Mayoritas penumpang adalah anak-anak dan bayi. Para bayi itu tidak pernah melihat orang berkulit putih dalam hidup mereka, sehingga selalu menangis keras-keras ketika berada di dekat saya. Panjang papan kayu di atas perahu ini mencapai 8 meter, dan lebarnya 2 meter ditambah bilah-bilah penyeimbang di sisi kanan perahu yang lebarnya mencapai 5 meter. Saking besarnya para ibu bisa memasak di atas perahu selama berlayar.

Perjalanan ini jauh lebih menyenangkan daripada perjalanan sebelumnya menyusuri pesisir selatan Papua. Walaupun ini masih laut yang sama, tetapi karena muara Sungai Fly yang begitu besar menyebabkan gelombang laut di timur Daru tidak sedahsyat di bagian baratnya. Apalagi setelah kita melewati Pulau Parama dan berbelok ke utara, perjalanan seperti sudah berada di dalam sungai, tanpa gelombang sama sekali. Itu sebabnya, perjalanan ini memungkinkan untuk ditempuh dengan kano kayu seperti ini. Doumori berjarak hanya 130 kilometer dari Daru, tetapi perjalanan kami memakan waktu sampai 12 jam. Ini karena perahu besar kami menggunakan mesin hanya 15 tenaga kuda.

Senja merekah saat kami melintasi Pulau Parama, dan langit menggelap saat kami berhenti di satu desa pesisir untuk meminta ikan segar (yang kami tukar dengan beras) sebagai lauk makan malam kami. Setelah itu, dalam gelap pekat, perahu kami melanjutkan perjalanan.

“Tidakkah sebaiknya kita berhenti untuk bermalam?” tanya saya kepada Mama Ruth, perempuan 30 tahunan bergigi putih karena tidak pernah mengunyah sirih itu.

“Tidak bisa,” katanya, “Kalau kita berhenti maka kita tidak akan pernah sampai ke Doumori. Sungai akan surut dan besok kita bisa kena terjang gelombang. Sekarang ada pasang, kita bisa langsung sampai ke Doumori.”140909-doumori-1-3 140909-doumori-1-4 140909-doumori-1-6

Perjalanan di gelap malam selalu mencekam bagi saya, karena ada kemungkinan perahu menabrak karang. Tapi saya hanya bisa mempercayakan nasib pada penduduk, merekalah yang paling tahu. Kami semua para penumpang akhirnya senyap, berbaring berhimpit-himpitan dan berangkulan saling menghangatkan. Sementara para lelaki muda terus mengendalikan mesin dan arah kano kami.

“Sekarang kita menyeberangi Sungai Fly,” Mama Ruth yang tidur berpelukan dengan saya berbisik. Doumori terletak di sisi utara sungai.

“Berarti sebentar lagi kita sampai,” kata saya.

“Belum. Menyeberangi sungai perlu dua jam,” katanya, “Sungai Fly sangat besar.”

140909-doumori-1-7

140909-doumori-1-8Saya tertidur lelap ketika kano berhenti total. Tangan Mama Ruth mengguncang-guncang tubuh saya. Yang saya ingat adalah giginya yang putih bersih di tengah kegelapan. “Welcome to paradise!” katanya sambil tersenyum. Selamat datang di surga.

Saya mengucek mata. Surga? Di sekeliling saya hanya tampak air, memantulkan sinar rembulan yang berkilauan di permukaan air. Tetapi terlihat pula rumah-rumah panggung dan pohon-pohon di sekeliling.

“Pasang besar,” kata Mama Ruth, “seluruh desa terendam air.”

Untuk mencapai rumahnya, tempat saya menginap malam ini, saya dibantu mereka menuruni kano untuk pindah ke kano lain yang berukuran lebih kecil, hanya selebar pinggang dan rongganya sedalam lutut, hanya cukup untuk dua orang. Begitu saya menginjakkan kaki di kano kecil itu, perahu ini nyaris terguling. Seorang bocah mengayuh dayung sampai kami tiba di sebuah rumah panggung dari gubuk.

Mereka sudah bisa menghitung ini semua. Mama Ruth mengatakan, apabila bulan terlihat di langit di waktu pagi, itu berarti hari terakhir pasang besar, yang artinya Sungai Fly bisa diseberangi dengan mulus. Ini karena aktivitas pertambangan Ok Tedi yang membuang sedimen ke sungai sehingga sungai menjadi dangkal dan berbahaya kalau sedang surut. Tetapi akibat dari pasang ini adalah banjir menggenangi seluruh desa selama tujuh hari dalam sebulan.

Ketika saya bangun keesokan harinya, betapa terkejutnya saya menyaksikan bahwa seluruh desa ini terendam lumpur. Mama Ruth bahkan melarang saya untuk turun dari rumah, karena terlalu berbahaya.

Saya ingin ke toilet. Ayah Mama Ruth langsung meminjamkan sepatu bot karetnya pada saya. Tetapi bot itu terlalu berat bagi saya. Saya nyaris tergelincir ketika menuruni tangga kayu rumah panggung ini, dan nyaris tergelincir ketika menapak langkah di tanah yang lumpurnya sedalam mata kaki, dan nyaris tergelincir ketika harus menyeberangi parit yang lumpurnya sedalam lutut. Hanya untuk membuang hajat saya harus berjalan 200 meter, dan itu sudah menghabiskan hampir semua energi saya hari ini. Sedangkan para penduduk sudah sangat terlatih, berjalan di atas lumpur selincah atlet ski kawakan meluncur di atas es.

“Inilah kehidupan di Doumori,” kata Mama Ruth sambil tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya itu. “Inilah Doumori yang paling kucinta. Surga kami. Rumah kami.”

Dulu sebelum aktivitas pertambangan, mereka mengalami pasang besar hanya tiga kali dalam setahun, sekarang setiap bulan yang mengakibatkan banjir enam hari. Selama itu, mereka tidak keluar rumah sama sekali, tidak mengolah sagu, tidak berladang, hanya bertahan hidup dengan apa yang tersedia di rumah. Setelah banjir, seluruh desa terendam lumpur yang baru seminggu lagi akan mengering.

140909-doumori-1-9“Kenapa kalian tidak pindah saja dari desa ini?” tanya saya.

“Nenek moyang kami sudah memilih tempat yang paling bagus buat kami, paling subur dan paling indah,” katanya.

“Doumori sudah pindah empat kali,” kata ayah Mama Ruth, lelaki tua yang giginya merah darah dan rusak total itu. “Pertama kali pindah tahun 1933, kedua kali tahun 1939 waktu misionaris pertama kali datang ke sini. Pindah ketiga kali tahun 1980.”

Kepindahan pertama dan kedua di tahun 1930an itu tidak ada hubungannya dengan pertambangan (waktu itu masih belum ada), melainkan karena perang suku. Kepindahan ketiga karena erosi. Aktivitas pertambangan telah mengubah air Sungai Fly. Ikan gastor sekarang jadi kecil ekornya dan besar kepalanya. Kaki mereka jadi penuh luka kalau berjalan di air banjir. Musim panen buah-buahan juga berubah, dan belakangan ini ada beberapa bayi yang lahir tanpa lengan atau lumpuh. Selain itu, yang paling kasatmata, terbentuk pantai pasir di tepi sungai yang menyebabkan sungai semakin dangkal, Doumori semakin jauh dari tepi sungai, dan terbentuk pulau baru yang cukup besar di antara Doumori dan Sungai Fly.

“Dulu,” kenang ayah Mama Ruth, “Kalau ada banjir biasanya hanya pasir, dan air langsung surut. Sekarang jadi lumpur. Ini mulai tahun 1984.”

Dan lumpur ini bukan satu-satunya kerusakan alam yang mencekam Doumori. Desa yang disebut surga oleh Mama Ruth ini kini dihantui masalah lain yang lebih mematikan: tsunami.

140909-doumori-1-5

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Doumori 10 September 2014: Surga Berlumpur (1)

  1. mas, saya mampir ke blog mas dan baca2 ttg PNG, apakah masih disana? Saya sedang research untuk menulis fiksi ttg negara tsb

  2. btw, terima kasih tulisannya sangat membantu. Saya penggemar buku2 mas agus, semoga segera bs ada karya baru lagi.

  3. Agus M. Djajakusumah // March 1, 2016 at 8:09 am // Reply

    Gaya menulis mas Agus selalu ‘menyeret’ perasaan saya untuk ikut terlibat di dalamnya…..

  4. Pentingnya regulasi, tanpa peraturan yang ketat dan ditegakkan perusahaan-perusahaan akan berbuat seenaknya. Sayangnya yang seperti ini juga masih banyak di Indonesia.

Leave a Reply to Emeldah Cancel reply

Your email address will not be published.


*