Recommended

Titik Nol (81): Pasar Unta

Pasar unta di Pushkar. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pasar unta di Pushkar. (AGUSTINUS WIBOWO)

Purnama berpancar penuh di Bulan Kartika. Kartik Purnima, purnama yang membawa keberuntungan, bersinar di antara atap mandir yang menjulang. Asap dupa bertebar, kolam suci memancarkan sinar. Dan kota Pushkar dipenuhi segala jenis hewan ternak

Kartik Purnima diagungkan oleh umat Hindu, Sikh, dan Muslim India. Jatuhnya di sekitar bulan November. Ketika bulan bersinar sepenuh-penuhnya, kolam suci menjanjikan penyucian diri yang paling sempurna. Umat Hindu dari seluruh penjuru negeri berdatangan ke kolam Pushkar. Mulai dari sadhu yang berbungkus kain kumal, berselimut aroma dupa dan wangi bunga, hingga ke peziarah jelata yang datang berombongan dalam bus pariwisata.

Pada saat yang bersamaan, padang pasir Pushkar menjadi arena pasar unta terbesar di dunia. Suku-suku pengembara padang gurun mengadu nasib di sini, mentransformasi kekayaan potensial mereka menjadi gepokan uang. Seekor unta mencapai 20 ribu Rupee, harta karun paling utama bangsa pengembara. Bukan hanya unta, ada pula kambing, domba, kuda, dan segala macam ternak lainnya.

“Saya datang dari Nagaur,” kata pria bersurban berkumis tebal dan bermata garang, “Empat hari jauhnya jalan kaki dari sini.

Sang pedagang unta membawa tiga ekor unta besar dan dua kuda gagah, mendirikan kemah kecil di tengah padang untuk tinggalnya dan bocahnya. Mereka sekeluarga sudah datang di sini sejak seminggu lalu, dan masih akan tinggal seminggu lagi. Ia mengharapkan bisa mendapatkan ratusan ribu Rupee dari festival pasar unta ini.

Tetapi tak mudah. Di sini ada puluhan ribu ekor unta dari ribuan pedagang seluruh penjuru padang pasir Rajasthan. Hingga seminggu ini, sang pedagang belum mendapat uang sepeser pun, malah harus tekor banyak untuk sewa tempat dan uang makan.

Pedagang unta dari Nagaur. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pedagang unta dari Nagaur. (AGUSTINUS WIBOWO)

Yang paling penting adalah sebisa mungkin menarik perhatian pembeli, yang jumlahnya sangat terbatas. Unta dihias semenarik mungkin, seperti gadis ayu yang ikut kontes kecantikan. Celak hitam dilukis dengan kuas di sekeliling matanya, wajahnya, sekujur tubuhnya, membuat binatang ini lebih mirip badut lucu. Rambut-rambut halus di sekitar telinga dan lehernya dipangkas oleh pemiliknya, yang kini merangkap sebagai tukang cukur bergunting panjang. Bulu di punggungnya yang besar dipangkas dengan guntingan rumput, dengan menyisakan sedikit rambut di bagian punggung atas supaya lebih modis dan trendi. Unta pun boleh bergaya, bukan?

Bunga-bungaan dan mahkota dipasangkan di atas kepala, membuat wajah lugu unta menjadi semakin lugu dan bodoh. Lehernya dipasangi untaian kalung warna-warni, kakinya dipasangi gelang, punuknya berbaju merah menyala. Amboi, siapa yang tertarik membeli unta cantik ini?

Seperti halnya mencari gadis tak boleh hanya melihat wajah dan perhiasannya, membeli unta tentunya tidak boleh hanya dengan melihat warna-warni aksesorisnya. Kualitas unta yang baik dan sehat dilihat dari barisan gigi-geliginya, kelengkapan dan kekuatan kuku kakinya.

Saya melihat lebih banyak pedagang hewan daripada pembeli. Bahkan lebih banyak turis daripada pembeli unta, yang tersedot magnet promosi gencar Rajasthan Tourism Board yang menggambarkan festival unta Pushkar Mela sebagai perayaan unik tiada dua. Bagaimana para pedagang ini boleh meraih keuntungan kalau ada ribuan penjual dan hanya ratusan pembeli saja?

Unta pun harus berdandan.(AGUSTINUS WIBOWO)

Unta pun harus berdandan.(AGUSTINUS WIBOWO)

Belum lagi harga sewa yang mahal. Jangan pikir ini padang pasir gersang yang luas dan hanya kepulan debu. Seperti halnya ketamakan yang menyelimuti seluruh Pushkar di hari-hari festival, sepetak tempat untuk para pedagang mendirikan kemah di tengah gurun pun tidaklah gratis. Ribuan Rupee juga bayarnya.

Pagi hari, ketika matahari masih kemerahan, padang pasir Pushkar sudah hiruk pikuk oleh jeritan unta, ringkik kuda, lenguh sapi, dan embik kambing. Asap mengepul dari perapian yang dibikin para pengembara gurun. Yang perempuan membikin chapati – roti tipis – di atas wajan datar. Yang laki-laki, duduk dengan santai di sekeliling api, menyeruput dhupati – teh susu manis – yang hangat. Tubuh mereka dibalut selimut tebal. Surbannya melilit gagah, dan kumis hitam tebal melinting garang.

Sejauh mata memandang, hanya hamparan unta, kemah, pria bersurban, dan perempuan berbaju dengan warna mencolok mata yang hilir mudik. Kalau dilihat dari tempat yang sedikit tinggi, pemandangan ini full frame, tak ada satu ruang pun yang tersisa.

Selain pedagang dan pembeli hewan, kelompok lain yang datang ke sini adalah perempuan dan gadis gurun Rajasthan. Berkulit hitam, kulit dekil penuh debu, rambut sedikit pirang atau kemerahan. Bajunya cantik menyala, wajahnya dipenuhi hiasan yang berlebihan besar dan banyaknya, seperti pemberontakan bangsa gurun terhadap kemonotonan padang pasir gersang. Mereka mengusung kendi atau bak besar di atas kepala, berkeliling padang di sela-sela unta dan kuda.

Memungut kotoran unta untuk dijual. (AGUSTINUS WIBOWO)

Memungut kotoran unta untuk dijual. (AGUSTINUS WIBOWO)

Apa yang dicari? Tak lain dan tak bukan, kotoran unta kering yang bentuknya bundar-bundar seperti kelereng hitam. Seorang perempuan pengumpul kotoran, sekali keliling bisa memperoleh ratusan butir. Kemudian bulatan-bulatan hitam ini dijemur di tanah lapang, dijual lagi sebagai bahan bakar. Unta-unta ini, bahkan dengan hasil ekskresinya, masih menghidupi ratusan mulut manusia lainnya.

Debu halus membiaskan sinar matahari yang semakin terik. Manusia padang gurun tenggelam dalam histeria jeritan unta dan lenguhan sapi. Gurun kering ini menaburkan mimpi keberuntungan dan rejeki melimpah di hari festival Kartik Purnima.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 24 November 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*