Recommended

Dari Titik Nol Menuju Frankfurt

151104-fbf-ground-zero-3Kisah ini dimulai dari seorang ibu yang terbaring di ranjang rumah sakit menanti ajal. Anaknya yang bertahun-tahun tinggal di perantauan akhirnya pulang. Menyadari tidak banyak waktu tersisa, anak itu duduk di samping ibunya, membacakan buku hariannya tentang negeri-negeri jauh yang pernah dialaminya. Bersama cerita-cerita itu, sang ibu yang tidak pernah ke mana-mana itu akhirnya membuka sebuah cerita yang selama ini dipendamnya. Tentang masa kecilnya, cintanya, penantiannya, perjuangannya, Tuhannya, hidup dan matinya. Dua perjalanan dalam dua dimensi waktu dan tempat itu berkelindan, akhirnya menyatu.

Itulah kisah yang tertuang dalam memoar-cum-catatan-perjalanan saya, Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2013. Buku itu mendapat sambutan cukup hangat dari pembaca Indonesia. Beberapa bulan setelah buku itu terbit, penerbit menanyakan apakah saya tertarik menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.

Pada saat itu, Indonesia telah dipastikan akan menjadi Tamu Kehormatan dalam ajang pameran buku terbesar di dunia—Frankfurt Book Fair 2015. Itu artinya, fokus dunia perbukuan akan tertuju pada Indonesia. Namun terlepas Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat dunia dan industri buku yang sangat aktif dengan penerbitan 30.000 judul buku per tahun (faktor penting terpilihnya Indonesia sebagai Tamu Kehormatan), Indonesia masihlah sebuah negara “tembus pandang” di kancah perbukuan dunia. Buku Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing masih minim, sangat tidak sebanding dengan jumlah buku luar yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Karena itu, dalam Frankfurt Book Fair 2015 nanti, Indonesia menargetkan membawa setidaknya 300 buku yang sudah diterjemahkan.

151104-fbf-ground-zero-5

Penerjemahan buku ke bahasa Inggris membutuhkan komitmen waktu, energi, dan biaya yang sangat besar; kalau tidak dimulai dari jauh-jauh hari, target itu tidak akan tercapai. Penerbit Indonesia umumnya sangat hati-hati dalam menerjemahkan buku ke bahasa asing, karena investasinya sangat besar sedangkan pasarnya di dalam negeri sangat kecil. Tanpa menanti kepastian akan turunnya subsidi dari pemerintah, penerbit tetap memutuskan jalan terus dengan proyek penerjemahan buku-buku saya, yang bagi saya sudah merupakan sebuah penghargaan yang tak ternilai.

Saya juga beruntung mendapat bantuan seorang kawan baik, MT, yang sejak pengerjaan buku pertama saya selalu menyemangati saya untuk terus menulis. MT adalah seorang jurnalis, penulis hebat yang bukunya dalam bahasa Inggris akan segera diterbitkan penerbit ternama Amerika, masih rela meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk menerjemahkan Titik Nol yang 500an halaman itu.

Dalam empat bulan pertama proses penerjemahan ini, pada Desember 2013, MT akhirnya selesai menerjemahkan satu bab Titik Nol. Tapi, ada yang salah. Tulisan ini tidak enak dibaca. Padahal terjemahan MT sangat akurat dengan isi buku. Kami tidak pernah tahu di mana sebenarnya masalah dengan Titik Nol. Hingga pada Januari 2014, MT pergi ke Singapura untuk menemui kawannya yang editor dari Amerika Serikat. Hanya melihat sekilas, kawan MT itu langsung menunjukkan apa-apa saja yang salah dengan naskah ini. Begitu pulang dari Singapura, MT mengajak saya bertemu dan menawarkan dua pilihan: terus menerjemahkan buku ini agar bisa segera terbit dengan segala kekurangannya, atau merombak ulang isi buku dan menerjemahkan ulang. Itu sebenarnya bukan pilihan. Saat itu MT sudah menerjemahkan lebih dari 200 halaman isi buku, tapi dia berkata, “Tidak masalah buatku kalau harus memulai lagi semua dari awal, aku hanya ingin Titik Nol menjadi karya yang baik dan bisa dibaca lebih banyak orang.”

Demikianlah “kencan” reguler kami bermula. Kami bertemu setiap minggu, duduk di kafe berbagai mal di Jakarta dari pagi sampai petang, membahas kalimat demi kalimat, kata demi kata dalam buku Titik Nol. Dari MT saya belajar banyak tentang teori penulisan sastra yang dipelajarinya dari Amerika: teknik deskripsi, konteks, penyusunan alur, plot dan klimaks, dan, yang terpenting, logika.

Penerjemahan bukan hanya mengalihbahasakan tulisan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Penerjemahan juga menerjemahkan budaya dan menghadirkannya secara hidup ke hadapan pembaca. Dan itulah kesulitan besar karya-karya Asia Timur untuk menembus audiens di Barat. Meminjam istilah MT, ada “citarasa” Indonesia yang terlalu kuat dalam Titik Nol yang sulit untuk diterjemahkan ke dalam perspektif Barat.

151104-fbf-ground-zero-2

Ada perbedaan mendasar dalam budaya Timur dan Barat, yang memengaruhi cara berpikir dan cara membaca orang-orangnya. Budaya Timur, yang dipengaruhi falsafah dan spiritualitasnya, adalah budaya yang menekankan pada rasa. Tulisan dari negeri-negeri Timur banyak menekankan pada rasa dan nuansa, penuh romantika dan ekspresi yang sering kabur dan abstrak. Dari pengalaman saya membaca dan menerjemahkan buku-buku sastra China, saya pun menemukan sensasi itu. Peribahasa, diksi indah, huruf-huruf sulit, plot yang meloncat-loncat liar sampai kita tidak tahu kapan dan di mana, rangkaian perenungan dan bahasa hati dan pencerahan, metafora yang tidak masuk akal, justru membawa kenikmatan tertentu bagi pembaca. Mengutip seorang kawan saya pembaca serius dari China, “Justru kalau semakin membuat kita bingung dan tersesat, kita akan semakin puas dan merasa itu buku yang bagus.” Tidak ada formula pasti bagaimana menghasilkan rasa. Selama ribuan tahun mereka menulis, sastra berkembang secara organik, menghasilkan citarasa yang “khas”. Begitu China. Begitu Asia. Begitu Timur. Namun sulit untuk mencapai pembaca di Barat.

Semula tugas saya dan MT adalah mengidentifikasi bagian-bagian “rasa” dalam Titik Nol dan menggantinya dengan detail dan konteks. Tetapi kemudian, saya menemukan, ketika saya sudah merombak satu bab, maka seluruh buku harus dirombak total. Ini bukan lagi revisi, melainkan tulis ulang, dari halaman pertama hingga terakhir. Saya menggunakan kesempatan ini bukan sekadar untuk mengadaptasikan isi supaya bisa dibaca pembaca luar, tetapi juga menambah kandungan informasi dan mempertajam pemikirannya.

Titik Nol bicara tentang penemuan makna perjalanan, sedangkan versi bahasa Inggrisnya—yang saya beri nama Ground Zero: When the Journey Takes You Home—bicara tentang hal yang sama, hanya lebih konkret: bahwa perjalanan adalah pulang. Ketika mengangkat isu tentang pulang, maka saya harus berhadapan dengan sebuah luka batin yang membuat saya melakukan semua perjalanan ini: identitas. Keluarga kami adalah minoritas Tionghoa di Indonesia, dan pernah mengalami masa-masa diskriminasi rasial. Kebingungan identitas selalu menumbuhkan pertanyaan dalam diri saya: Siapa saya? Pertanyaan itu adalah awal dari pencarian saya, menjelajah dunia untuk menemukan di mana rumah dan apa itu rumah. Dan ini berarti, saya harus menggali lebih dalam perjalanan hidup ibu saya yang terkait dengan babak-babak penting dalam sejarah negeri ini: 1965 dan 1998.

Penulisan Ground Zero justru menjadi perjalanan baru bagi saya. Saya beberapa kali pulang ke kampung halaman untuk mewawancara kembali orang-orang yang berhubungan dengan peristiwa yang dialami ibu saya, untuk menghadirkan gambaran yang lebih konkret dan kredibel. Saya kembali menyusuri ruang-ruang memori, yang selama ini tersembunyi di sudut gelap dan sengaja untuk dilupakan. Selain itu, saya juga mesti berhadapan dengan isu-isu sensitif, yang butuh cukup keberanian untuk mengevaluasinya dan menuliskannya—komunisme, nasionalisme, garis batas, ras, agama.

cover-titiknol-700

151104-fbf-ground-zero-1

Sebagaimana Titik Nol telah mengubah hidup saya dan pandangan saya tentang dunia, Ground Zero pun demikian, memberi saya banyak penemuan baru tentang makna pergi, pulang, dan rumah. Ground Zero memang berangkat dari Titik Nol, dengan adegan dari perjalanan fisik yang sama. Tetapi dengan perspektif dan benang merah baru, versi bahasa Inggris ini mengisahkan perjalanan batin yang berbeda. Menjadi sebuah kitab berbeda.

Saya sangat berterima kasih kepada MT dan para editor lainnya, yang mau terlibat dalam proyek mustahil ini—yang oleh MT dijuluki sebagai “terbang bersama Air Impossible”. Bersama kami telah melewati sebuah perjalanan bergerunjal. Selama dua tahun ini, Ground Zero telah melalui proses revisi lebih dari delapan putaran (saya sebenarnya sudah hilang hitungan), dengan interaksi bolak-balik antara penulis, penerjemah, editor bahasa Indonesia Hetih Rusli dan editor bahasa Inggris John Michaelson. Mungkin memang hanya orang-orang gila yang mau dan bisa terlibat dalam proyek ini. Terima kasih untuk kegilaan kalian semua. 🙂

Dan akhirnya, selesai pada saat-saat terakhir, Ground Zero siap untuk dibawa ke Frankfurt Book Fair minggu ini. Saya tidak berharap terlalu muluk, selain agar Ground Zero menjadi satu noktah yang memperkaya ribuan warna yang akan dihadirkan negeri pulau imaji di Frankfurt nanti.

151104-fbf-ground-zero-4

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Dari Titik Nol Menuju Frankfurt

  1. Selamat ya mas atas launching buku barunya

1 2

Leave a Reply to Billy Andik Susanto Cancel reply

Your email address will not be published.


*