Recommended

Titik Nol 87: Hidup Menurut Buku Panduan

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mengapa hidup kita harus selalu dituntun oleh buku panduan? Tidakkah kita memiliki hasrat lebih besar untuk melakukan pengembaraan, menemukan rahasia alam yang tak terduga?

Terilhami dari perang omelet di Jodhpur, saya jadi berpikir sejauh mana buku panduan macam Lonely Planet sudah memengaruhi cara orang menjelajah dunia. Coba perhatikan, berapa banyak turis yang berkeliaran di India yang yang tidak membawa-bawa buku suci tebal berjudul Lonely Planet, atau buku panduan wisata lainnya? Semua orang membawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama seperti yang ditulis dalam buku, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet pun di tempat yang sama. Turis-turis ini hanya melakukan perjalanan napak tilas seperti yang dituntunkan oleh buku. Bahkan beberapa edisi terbaru Lonely Planet sudah mencantumkan rute pilihan penulis.

Apa jadinya? ‘Petualang’ atau bahasa kerennya traveler zaman sekarang, sudah jauh berbeda dengan para pengelana dunia pada zaman dahulu, bahkan tak bisa dibandingkan dengan para hippie yang menapaki hippie trail dari Istanbul sampai Kathmandu pada era 70-an. Perjalanan backpacker zaman sekarang terlalu terikat dengan petuah dan petunjuk Lonely Planet. Semua pergi ke tempat yang sama, semua mencicip makanan di restoran yang sama, dan menyelami pengalaman perjalanan yang sama.

Apa jadinya? Hotel-hotel berlomba untuk ‘terdaftar’ dalam buku panduan wisata. Ketika seorang penulis buku panduan diketahui sedang berada di kota, semua penginapan sibuk memoles dirinya, menunjukkan kamar yang terbaik, menunjukkan harga yang paling murah, dengan harapan untuk mendapat tempat terpuji di buku panduan wisata. Warung-warung, seperti kios omelet di pinggir jalan, berlomba-lomba mengumpulkan buku testimoni, berkelahi berebut pelanggan, memasang plakat besar-besar memproklamirkan keberhasilannya terdaftar dalam buku suci itu.

Apa jadinya? Penginapan dan restoran yang masuk buku semakin laris, sedangkan yang tidak semakin tersingkir. Persaingan tidak sehat juga terjadi. Di Vietnam, banyak penginapan bernama mirip-mirip di kompleks yang sama. Penginapan yang sejatinya masuk di buku tak kekurangan akal, sampai memasang plakat besar “We are the original Hotel X”.. Langkah ini diikuti losmen-losmen lain di sekitarnya, menjadikan kompleks itu penuh dengan hotel dengan nama yang mirip semua, dan masing-masing mengaku sebagai yang paling asli.

Saya teringat kisah Lam Yuet, kakak Lam Li, yang pernah menjelajah Pakistan. Si gadis Malaysia malah memilih tinggal di sebuah penginapan yang ditulis oleh Lonely Planet sebagai penginapan hancur.

“Lonely Planet benar-benar merusak kehidupan kami,” keluh si pemilik penginapan, “gara-gara komentar jelek di buku itu, sekarang tak ada lagi turis yang datang ke sini.”

Terlalu banyak mengikuti panduan, perjalanan menjadi mati, tak ada hasrat pencarian sesuatu yang baru, tak ada lagi semangat penjelajahan seperti yang dilakukan para pendahulu kita untuk menemukan rahasia dunia. Buku panduan didewakan bak buku suci. Semua yang tertulis di dalamnya tak terbantahkan kebenarannya. Kalau harga hotel di buku tertulis 100 Rupee, maka ya harga mati 100 Rupee. Kalau si pemilik hotel bilang harga sudah naik jadi 150 Rupee, si turis akan berang sambil menunjukkan bukunya, “Hei! Lihat ini! Di Lonely Planet tertulis 100 Rupee!” Padahal ‘buku suci’-nya juga sudah kadaluwarsa

Tidak sadarkah kita bahwa hidup kita sekarang selalu dituntun oleh panduan? Mulai dari membeli alat elektronik selalu ada buku manual yang menjelaskan dengan detil tentang mekanisme bekerja alat itu hingga bagaimana menggunakan, merawat, serta apa yang harus dilakukan jika alat itu mengalami kerusakan. Demikian juga sebelum tiba ujian nasional banyak lembaga-lembaga bimbingan belajar yang menyediakan segudang trik menjawab soal. Di China ada kursus TOEFL yang mengajarkan bagaimana cara menebak jawaban dengan probabilitas ketepatan paling tinggi. Bahkan sekarang sudah ada les kehamilan untuk melatih kaum ibu merejang, mengkontraksikan rahim, mendorong janin,  hingga kalau bersalin nanti sudah tidak kaget.

Coba lihat bagaimana buku panduan menulis travel writing, catatan perjalanan, yang diterbitkan oleh Lonely Planet. “Belajarlah bahasa asing, karena tulisan yang dihasilkan oleh seorang penulis yang mengerti bahasa setempat mempunyai kualitas jauh lebih tinggi daripada penulis yang hanya melihat [tanpa berkomunikasi]” Sebuah saran yang sangat benar adanya. Tapi apakah kita memerlukan sebuah buku untuk diberitahu hal ini? Tidakkah proses menulis dan penemuan jati diri lebih menyenangkan melalui perambahan, proses coba-coba, perenungan, kegagalan dan keberhasilan? Bukankah jalan hidup manusia sendiri adalah upaya jatuh bangun yang tiada henti?

Bolehlah saya mengibaratkan, mereka yang selalu tergantung buku seperti orang yang ingin makan tetapi malas mengunyah, lalu minta tolong orang untuk mengunyahkan. Memang lebih mudah ditelan. Tetapi banyak rasa yang hilang. Apakah orang harus selalu bersiap untuk menghadapi segala sesuatu? Tidakkah lagi ada semangat petualangan mengalami sesuatu yang di luar perencanaan? Tidak adakah lagi kenikmatan ketika kita tersesat di jalan, memeras pikiran untuk keluar dari kesulitan, menemukan surga tersembunyi di suatu tempat yang tidak pernah dirambah orang lain?

Tak hendak memunafikkan diri, dalam tas ransel saya ada setumpuk buku Lonely Planet. Tak tanggung-tanggung jumlahnya, enam buku. Kebetulan semuanya adalah pemberian orang. Bagi saya, yang termasuk kelompok backpacker malas, Lonely Planet banyak membantu untuk menemukan rute bus, tempat wisata, dan daerah penginapan murah. Tetapi saya masih berjuang keras untuk melawan hasrat ketergantungan pada buku ini.

Saya teringat dua tahun lalu ketika pertama kali pergi ke Afghanistan. Kala itu siapa yang tahu Afghanistan selain tentang Taliban dan perangnya? Saya meraba-raba kota Kabul dan dusun Bamiyan. Peta tak punya, bahasa tak bisa, lingkungan tak kenal. Yang bisa saya lakukan hanya mencari sepotong demi sepotong informasi tentang Afghan dari internet, bertanya dengan setiap orang yang ditemui di jalan, menguak takbir misteri negeri impian dengan segenap kemampuan, dan membumbui sedikit dengan jiwa petualang. Hasilnya, pengalaman bertualang di Afghanistan kala itu selalu saya kenang sebagai kegilaan yang terindah dalam hidup saya.

Buku panduan memang membuat hidup lebih mudah. Tetapi jangan sampai hidup dibuat hambar karenanya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 Desember 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*