Recommended

Titik Nol 88a: Mehrangarh

Kota biru Jodhpur. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kota biru Jodhpur. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Apa yang salah dengan kaum pria India?” tanya Lam Li retorik, “Apakah mereka memang punya hasrat nafsu yang menggebu-gebu? Ataukah citra perempuan asing di sini begitu buruknya, murahan dan bergaul bebas?”

Kota biru Jodhpur memang sesuai dengan julukannya. Sejauh mata memandang, yang nampak adalah rumah-rumah biru tersebar tak beraturan, namun menjadi sebuah mosaik yang punya ritme dan harmoni. Memandangi warna biru yang bak lautan di tengah padang gersang Rajasthan sungguh sejuk rasanya.

Dari mana asal-muasal warna biru ini? Orang-orang kasta Brahmana punya kebiasaan mengecat rumahnya dengan warna biru muda. Alkisah ketika Jodhpur didirikan, tak banyak kaum pandita Brahmana di sini. Raja Jodhpur kemudian mendatangkan kaum pemimpin agama ini dari berbagai wilayah.

Orang Brahmin adalah pengikut setia agama Hindu. Mereka mematuhi semua perintah agama dengan sepenuhnya, mulai dari garis kasta, ritual pada dewa dewi, vegetarian ketat, bahkan sampai anjing peliharaan mereka pun jadi vegetarian. Untuk membedakan mereka dari kasta lainnya, mereka mewarnai rumah dengan warna biru. Sekarang warna biru bukan hanya monopoli orang Brahmin. Bahkan Muslim di kota tua Jodhpur pun mengecat rumah mereka dengan warna biru.

Ada lagi yang mengatakan bahwa Jodhpur, selain dikenal sebagai blue city, juga dijuluki sebagai sun city karena panasnya matahari yang menyengat.

“Kalau kamu datang ke sini bulan Juli atau Agustus,” tutur seorang penduduk Jodhpur, “kamu akan tahu betapa ganasnya musim panas kota ini.”

Warna biru di seluruh tembok rumah inilah yang menjadi penyejuk dari teriknya mentari. Biru juga konon bisa mengusir nyamuk.

Di atas lautan rumah biru yang membentang itu, ada bangunan raksasa yang menjulang di puncak bukit. Benteng Mehrangarh, dibangun pada abad ke-15 oleh para ksatria Rajput pemimpin Jodhpur, seakan menjadi penyambung ribuan rumah biru mungil itu ke langit biru nan luas. Benteng ini berukuran raksasa, bisa terlihat dari segala penjuru mana pun di Jodhpur. Bayang-bayangnya meneduhi berlaksa kehidupan yang takluk di bawahnya.

Benteng Mehrangarh membayangi seluruh kota. (AGUSTINUS WIBOWO)

Benteng Mehrangarh membayangi seluruh kota. (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya dan Lam Li bersama-sama mendaki sampai ke kaki benteng. Kami berniat melirik bagian dalam benteng yang juga berfungsi sebagai istana itu. Tetapi harga tiket yang 250 Rupee untuk orang asing langsung membuat kami mundur teratur.

“Daripada bayar mahal-mahal untuk lihat benteng, lebih baik kita mengelilingi benteng ini saja,” usul Lam Li. Karena gratis, tak ada alasan untuk menolak.

Bakat mendaki Lam Li memang membuat saya acungi jempol. Bahkan dengan rok panjang sekali pun, ia tak mengalami kesulitan melompati batu-batu karang besar di tepi jurang. Sedangkan saya malah membuatnya kesal karena merayap perlahan-lahan.

Kesenangan berjalan-jalan tidak selalu datang dari tempat-tempat berbayar yang ramai dikunjungi turis. Buktinya, di luar tembok benteng ini, kami malah melihat sisi lain yang tak semua orang tahu. Ada kolam berlumut yang menghampar. Ada gerbang besar dan pintu rahasia di atas, yang setelah susah payah kami daki dengan penuh harapan untuk masuk gratis, ternyata dikunci gembok. Tetapi yang paling menarik adalah dua pemuda yang bolos sekolah.

Jaswant berumur 17 tahun. Temannya 16. Mereka satu kelas, membolos berbarengan. Jaswant lupa mengerjakan tugas biologi. Temannya menemani bolos sebagai wujud solidaritas.. Di sudut benteng di puncak bukit ini, di balik tembok rusak, mereka duduk bermandi sinar matahari, merokok sembunyi-sembunyi.

Kedua bocah ini dari kasta Brahmin, bisa ditebak dari cara berpakaian, warna kulit, dan raut wajah mereka yang serba bagus. Juga ada lingkaran benang suci di pergelangan tangannya. Kasta Brahmin seharusnya tidak boleh makan daging dan merokok.

“Bapakku sangat ketat,” kata Jaswant, “kalau melihat aku di sini merokok pasti aku akan dipukul.” Jaswant juga suka makan daging ayam dari warung di jalan, dengan sembunyi-sembunyi juga tentunya.

Dua bocah membolos. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dua bocah membolos. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tiba-tiba Jaswant mengalihkan pembicaraan, giliran dia yang mewawancari Lam Li, “Sudah kawin? Sudah punya pacar?” Namanya juga masih anak-anak, tak sukar bagi kami untuk membalikkan arah pembicaraan, membuatnya berkisah lebih banyak tentang kehidupannya. Ia bercerita tentang aturan ketat orang Brahmin yang pernikahannya pasti diatur orang tua.

“Aku tak mau kawin dengan cara itu,” katanya, “aku mau kawin hanya dengan pacar saya. Dan kalau bapak ibuku tidak setuju, aku mau kawin lari.”

“Hah? Kawin lari? Lari berapa tahun?” saya terkejut.

“Satu malam saja sudah cukup.. Aku yakin satu malam sudah bikin bapak memaafkanku, jadi sudah cukup,” ujarnya yakin.

“Kamu tahu tempat bernama Ghasmandi?” tanya Jaswant kepada saya, “Pernah pergi ke sana? Tempatnya tak jauh dari Menara Jam. Kalau mau bersenang-senang di sana tempatnya. Cukup dengan 50 Rupee saja, kita bisa tidur dengan perempuan.” Jaswant dengan bangga bercerita hampir setiap malam ia ‘jajan’ di sana.

“Kamu tak takut AIDS?” tanya Lam Li.

“Tidak, aku kan pakai kondom,” Jaswant menangkis, lalu dilanjutkan dengan menawari saya untuk ikut bersama dengannya ke Ghasmandi nanti sore.

“Hati-hatilah selalu, jangan lupa pakai yang double layer,” Lam Li tergelak.

Kami memutuskan turun bukit. Baru saja beberapa langkah, Jaswant berteriak-teriak, memanggil Lam Li. Si gadis Malaysia kembali mendekat.

“Hey….can I f**k you???” si bocah India itu memohon sambil memelas, tanpa tedeng aling-aling, “Please…..!”.

Saya terkejut. Lam Li hanya tertawa terpingkal-pingkal.

“Tidak… tidak bisa… kamu masih kecil!”

Kalau di India yang banyak orang kawin muda, umur Lam Li sudah pantas jadi ibu Jaswant.

Lam Li memang sudah berpengalaman ‘membaca’ orang. Ditaksir bocah kecil bukannya membuat dia marah, tetapi semakin membuatnya penasaran mengobservasi.

“Saya heran mengapa lelaki di negara ini, menit pertama berkenalan, menit kedua tanya sudah kawin belum, menit ketiga ngomongin cinta, menit kelima sudah minta seks? Apakah mereka memang punya hasrat nafsu yang menggebu-gebu? Ataukah citra perempuan asing di sini begitu buruknya, murahan dan bergaul bebas?”

Sebagai kawan seperjalanan, saya melihat sendiri berapa kali Lam Li mendapat tawaran seperti ini, mulai dari kakek tua sampai bocah kecil, mulai dari tukang rickshaw, pemilik hotel, pedagang, pembuat boneka, dan sekarang bocah kecil yang pantas jadi anaknya.

Mengingat raut muka Jaswant yang memelas untuk minta ‘sesuatu’, kami masih cekikikan menyusuri gang-gang semrawut kota tua Jodhpur.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 4 Desember 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*