Recommended

Manda 24 September 2014: Pak Tua Rasta

140924-png-manda-papa-leo-1Lelaki tua berambut rasta gimbal dengan otot kekar sekujur badan itu memang kelihatan sangar. Tetapi dari gerak-geriknya yang perlahan dan selalu terkontrol itu kau tahu dia adalah orang bijaksana. Dia memang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tetapi tidak ada keputusan di kampung ini yang diambil tanpa persetujuannya.

Berhari-hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu, selama itu pula Leo Isaac yang sudah enam puluhan tahun itu menampung saya di rumahnya. Rumah itu terbuat dari gedek dan atapnya dari anyaman daun sagu, dihuni anak perempuan bersama menantu dan cucu-cucunya. Keluarga Papa Leo bukan hanya memberi saya tempat tinggal, bahkan semua makanan saya pun mereka sediakan. Setiap hari selalu ada nasi (sebuah kemewahan), ditemani ketela, mujair, cabai segar, daging rusa, bandicoot, sampai buaya. Saya tidur di samping Papa Leo, beralaskan tikar dari anyaman daun dilindungi kelambu nyamuk yang sudah bolong-bolong.

“Banyak orang asing yang datang ke sini,” kata Papa Leo, “Awal tahun ini ada dua turis Australia mendayung kano.”

“Selain mereka, siapa lagi?” tanya saya.

“Tidak ada lagi.”

Dalam ingatan Papa Leo, sejak Papua Nugini merdeka 39 tahun lalu, memang tidak ada lagi turis lain yang pernah datang ke sini. Hanya dua turis, dan buatnya itu sudah “banyak”.

Kedua orang Australia itu sebenarnya juga bukan turis biasa. Saya pernah membaca berita tentang misi mereka. Mereka melakukan perjalanan menyusuri Papua Nugini dari utara ke selatan tanpa menggunakan bahan bakar sama sekali, demi mempromosikan gaya perjalanan selaras alam yang berkelanjutan. Dari Vanimo yang berbatasan dengan Jayapura mereka berjalan kaki hingga Pegunungan Bintang, lalu mendaki pegunungan yang curah hujannya paling tinggi sedunia itu, lalu turun di kota pertambangan Tabubil, berjalan sampai ke Kiunga, dan mendayung kano sepanjang Sungai Fly sampai ke Daru. Di sepanjang Sungai Fly ini, mereka berhenti di beberapa desa, meminta bantuan satu penduduk lelaki untuk ikut mendayung bersama, sekaligus untuk memandu sampai desa berikut.

“Tapi saya lebih suka orang Indonesia daripada orang putih,” kata Papa Leo. “Kamu orang Indonesia mau makan sama-sama kita, tidur sama-sama, pakai sendok sama-sama kita. Orang Australia itu, mereka makan pisah, tidur pisah, tidak mau sama-sama kita.”

Papa Leo sempat mengundang kedua turis Australia itu untuk tinggal bersama di rumah panggung ini. Tapi mereka menolak. Mereka membawa kantung tidur dan kemah sendiri, tidur di balai-balai di bawah rumah. Mereka membawa bahan makanan sendiri, masak sendiri, makan sendiri. Saat pergi, mereka membayar kepada tuan rumah untuk akomodasi. Pendek kata, ini hubungan bisnis, bukan persahabatan. Mereka yang anti pakai bensin itu juga membayar kepada pemandu-merangkap-pendayung plus memberi uang bensin supaya si pemandu itu bisa balik ke desanya naik speedboat tanpa mendayung.

“Kenapa orang putih tidak tinggal bersama orang hitam?” saya bertanya pada Papa Leo.

“Itu karena mereka adalah keturunan dari raja-raja yang melahirkan Yesus, sedangkan kami bukan,” katanya yakin. “Pembangunan datang kepada kita juga dari Barat asalnya. Saat Australia menjadi masta (tuan) di sini, mereka juga selalu makan terpisah dari kita, tidur terpisah. Kita beda rambut dan kulit, hanya darah sama merah. Orang Indonesia lebih bagus daripada mereka. Tapi orang Indonesia mesti kasih harga yang bagus kalau dagang sama kita.”

Salah satu cucu Papa Leo

Salah satu cucu Papa Leo

Saya bercakap-cakap dengan Pak Tua dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kedua bahasa itu dia kuasai dengan cukup fasih, walaupun suaranya yang lemah dan kosakatanya yang tidak lazim membuat saya harus sangat konsentrasi untuk bisa memahaminya. Pak Tua pernah tinggal dua tahun di Merauke, kerja sebagai kuli, lalu pulang dari sana dengan berjalan kaki selama tiga minggu.

Setiap malam, ketika putrinya sudah membawakannya lampu minyak, Pak Tua akan duduk di samping matrasnya. Dia tidak tidur di dalam kelambu, dia sama sekali tidak khawatir dengan nyamuk Manda yang terkenal sangat beringas—sembarang menabok tanpa melihat pun kau bisa mendapatkan lima ekor nyamuk mati di telapak tanganmu. Seolah serbuan nyamuk-nyamuk menjelang senja itu tak sedikit pun merisaukannya. Perhatian Pak Tua hanya terpusat pada satu buku.

Alkitab. Kitab suci itu lebih mirip gumpalan kertas daripada buku. Lembaran-lembarannya sudah seperti sayur lodoh. Sampul dan banyak halamannya sudah hilang. Tapi justru inilah harta Papa Leo yang sangat berharga.

Alkitab itu puluhan tahun lalu Papa Leo temukan di tempat sampah di kota. Dia bertanya-tanya ini Alkitab punya siapa, apakah dia boleh ambil. Tidak ada orang peduli. Papa Leo memungut Alkitab itu dengan penuh cinta, dibelainya setiap halaman, dibacanya satu kata demi satu kata. Waktu itu Papa Leo belum bisa bahasa Inggris. Dia belajar sendiri bahasa Inggris hanya dengan membaca Alkitab.

“Guru saya adalah Alkitab,” katanya, “Guru saya adalah Tuhan.”

Demikian juga dengan bahasa Indonesia. Bisa dikatakan, bahasa Indonesia Papa Leo adalah yang salah satu yang paling fasih di desa ini. Waktu di Indonesia sebelas tahun lalu, ada orang Sulawesi yang kasih Papa Leo satu kamus. Papa Leo baca kamus itu, kata per kata, lalu dia hafalkan. Begitulah dia bisa mengucap bahasa Indonesia bahkan dengan kata-kata yang cukup sulit. Papa Leo bilang, kalau saya pulang ke Indonesia nanti, dia mau pesan kamus supaya dia bisa terus belajar.

Alkitab kesayangan Papa Leo

Alkitab kesayangan Papa Leo

Semangat belajar lelaki tua yang selalu pakai celana jins sedengkul ini membuat saya takjub. Hampir tidak ada yang bisa dibaca di desa ini. Karena itu, dia antusias melihat banyak buku dan kertas dalam tas saya. Setiap kata dibaca dan diejanya. Buku perjalanan, buku catatan, paspor, surat keterangan, sampai lembaran menu makanan di pesawat dan pas naik pesawat, semuanya dia mau baca. I love this man!

“Berapa umurmu, Pak Tua?” saya bertanya.

Lelaki itu merenung sejenak. “Empat lima,” katanya.

“Tidak mungkin.”

“Mungkin tiga puluhan,” katanya terkekeh.

“Lahir tahun berapa?”

“Mungkin tahun 1960an. Saya ingat, tahun 1965 mereka membuka sekolah misionaris di Boset.” Pak Tua bahkan tidak tahu pasti kapan dia lahir.

Belakangan saya menduga, buruknya kemampuan orang-orang Manda dalam berhitung ini berhubungan dengan bahasa asli mereka. Pak Tua mengajari saya kosakata dasar dan angka dalam bahasa Buazi. Ternyata mereka hanya cukup belajar berhitung satu sampai tiga. Empat dalam bahasa mereka adalah “lagi-dua-lagi-dua” dan delapan adalah “lagi-dua-lagi-dua-lagi-dua-lagi-dua”. Pantas mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris untuk menyebut angka.

“Saya mau belajar bahasa seluruh dunia,” katanya, “Saya sudah bisa bahasa Buazi, Inggris, Indonesia, Tok Pisin, Hiri Motu.” Tok Pisin (Broken English) dan Hiri Motu adalah bahasa nasional Papua Nugini. Hiri Motu adalah bahasa yang dipakai orang-orang Motu di ibukota nun jauh di sana, di seluruh desa ini hanya Papa Leo yang bisa. Tentu saja itu pun dia belajar sendiri.

Sekarang Papa Leo minta saya mengajarinya bahasa China. Saya menuliskan beberapa aksara China, menjelaskan padanya bahwa bahasa China berbeda dengan semua bahasa yang dia pelajari. Tidak ada abjad, hanya ada lukisan. Papa Leo terpingkal-pingkal melihat ada bahasa yang seperti pelajaran menggambar. Tapi Papa Leo dengan tekun menyalin setiap gambar itu, menghafalkannya, lalu memamerkan hasil kerjanya pada anak-anak dan para tetangga.

Itulah yang saya kagumi dari Papa Leo. Walaupun sedikit yang dia punya, dia selalu ingin membagikannya dengan orang lain. Termasuk pengetahuan.

Papa Leo mau membaca apa pun.

Papa Leo mau membaca apa pun.

Pernah saya bercerita padanya, bahwa nyamuk yang menggigit itu adalah nyamuk betina. Saat mengisap darah, nyamuk memasukkan zat racun seperti bius ke tubuh korbannya sehingga matirasa, tetapi kemudian kita merasa gatal. Semakin kita garuk akan semakin gatal, karena racun itu semakin menyebar. Papa Leo merasa ini pengetahuan luar biasa; selama ini mereka tinggal berkawan dengan nyamuk tanpa pernah tahu ini. Keesokan paginya, dia antusias mengunjungi setiap rumah yang ada di Manda, menceramahi mereka tentang “kebijaksanaan nyamuk”.

Di waktu senggang, Papa Leo sering mengajari anak-anak kecil di desa ini kata-kata bahasa Indonesia. Anak-anak di sini, sepanjang hari hanya bermain kerjanya, dari pagi sampai malam. Apakah itu gobak sodor (di sini disebut “Any water?”), atau berenang di sungai, atau berjoget lagu dangdut Indonesia yang diputar dengan Boom Box. Belajar tidak ada dalam kamus mereka.

Di Manda 2 memang tidak ada sekolah. Sekolah mereka ada di desa Manda 1, cukup jauh dari ini, itu pun sudah tiga bulan ini diliburkan karena satu-satunya guru membolos untuk jangka waktu tidak terbatas. Papa Leo bilang, guru itu pergi ke hutan demi mencari kayu gaharu, mau dijual ke Indonesia. Kayu gaharu yang asli dari hutan Papua bisa mencapai puluhan juta rupiah apabila dijual ke Merauke.

“Tidak penting sekolah itu,” kata Papa Leo, “Yang penting adalah pikiran dan kerja keras. Dulu di Papua Nugini ada lagu, judulnya Wok lo Nating (Work for Nothing). Kita memang memeras keringat, tapi tidak dapat apa-apa.” Dia menarik napas sejenak. “Tapi itu dulu. Sekarang kita tidak perlu memeras keringat. Dua minggu lagi, kita akan dapat duit kompensasi cuma-cuma dari perusahaan Ok Tedi.” Dia tertawa gembira.

Setahu saya, itu bukan duit cuma-cuma. Mereka sudah membayar dengan alam mereka. Pe lo Nating.

Cucu Papa Leo sudah dua lusin. Dan terus bertambah.

Cucu Papa Leo sudah dua lusin. Dan terus bertambah.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

8 Comments on Manda 24 September 2014: Pak Tua Rasta

  1. Cerita yg slalu ditunggu tunggu

  2. pak tua yg luar biasa, salute.

  3. Seperti saya waktu kecil…bahkan buku tafsir 1001 mimpi sy baca

  4. selalu menunggu kelanjutanya

  5. Tulisan yang Luar biasa koh agus…

  6. tukang photo blajar berhitung cukup satu dua tiga. guru tari ato senam cukup sampai delapan :p

  7. Kapan bukunya terbit lagi

Leave a Reply to reza Cancel reply

Your email address will not be published.


*