Recommended

Manda 25 September 2014: Menuju Rawa

140925-png-manda-journey-to-kuem-2Kekhawatiran semakin mencengkeram saya. Sudah lima hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu ke utara, tanpa hasil. Saya ingin tinggal lebih lama di Papua Nugini, masih banyak yang ingin saya pelajari di sini, tetapi visa saya hanya tersisa seminggu lagi.

Saya harus ke Kiunga sesegera mungkin. Itu ibukota provinsi. Siapa tahu, visa saya bisa diperpanjang di sana. Atau setidaknya, saya bisa memikirkan jalan keluar meninggalkan negara ini dengan aman. Namun di tengah keterpencilan yang paling terpencil di Sungai Fly ini, apa pun solusi yang ada di pikiran, kita selalu dihadapkan pada ketidakberdayaan.

Kemarin sebenarnya saya punya harapan. Satu perahu panjang dengan mesin 15 tenaga kuda merapat di Manda. Penumpangnya sepuluhan orang, mayoritas perempuan. Mereka datang dari Kuem. Desa itu beberapa kilometer di utara Manda, tetapi berbelok ke timur dan masuk ke rawa-rawa yang menjauh dari Sungai Fly. Kalau saya ikut mereka, memang meninggalkan Manda, tapi bisa jadi justru saya akan semakin terperangkap di desa yang dikelilingi rawa itu.

Kemarin itu saya berjalan bersama Papa Leo ke bagian belakang desa. Dia sudah tidak sabar ingin membagikan pada penduduk cerita tentang nyamuk yang dia dengar dari saya. Dari dalam sebuah rumah, menghambur seorang perempuan paruh baya kurus dan sangat pendek, menyambut Papa Leo dan bicara dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih. “Pagi, tete!” katanya. Tete adalah bahasa Melayu Papua yang berarti “kakek”.

Perempuan itu bercerita kepada Papa Leo tentang perahu dan minyak. Saya tidak bisa menangkap semua isi pembicaraan mereka, karena aksen mereka yang sangat kental. Perempuan itu melirik saya. Papa Leo langsung buru-buru menjelaskan, “Dia orang Malaysia. Turis.” Papa Leo membentangkan tangan kanannya di depan badan saya, seolah memberi kode supaya saya tidak bicara apa-apa.

Setelah kami meninggalkan perempuan itu, saya bertanya kepada Papa Leo dia siapa.

“Dia OPM,” kata Papa Leo.

Saya langsung terdiam. OPM adalah Organisasi Papua Merdeka yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia. Di daerah perbatasan Papua Nugini ini banyak tinggal pengungsi OPM yang datang dari sisi Indonesia. Kehadiran mereka bisa jadi risiko keamanan bagi orang Indonesia yang tinggal atau bepergian di sepanjang daerah perbatasan. Saya pernah mendengar tentang seorang pastor Indonesia yang dipukul anggota OPM saat meliput kamp pengungsi karena dicurigai sebagai mata-mata. Tetapi justru para pengungsi inilah tujuan utama saya datang ke sini. Saya ingin belajar dan mendengar cerita mereka.

“Saya ingin ikut mereka ke Kuem,” kata saya kemudian.

“Kau tidak boleh,” kata Papa Leo tegas, “Orang di sana lain dengan kami orang Buazi di sini. Kami orang baik, suka baku bantu, bantu kamu seperti keluarga sendiri. Di sana suku lain, bahasa lain. Very bad people. Di sana juga banyak OPM. Terlalu bahaya.” Papa Leo juga memperingatkan saya untuk tidak bicara sama sekali dengan orang-orang Kuem ini.

Berangkat menuju Kuem

Berangkat menuju Kuem

Keesokan paginya, sejak pagi saya sudah duduk di tepi sungai, menanti perahu. Ini seperti penantian yang sudah-sudah, seperti riak sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Kemarin seharian hujan deras, dan hari ini mendung tebal menggantung di angkasa. Mendung itu juga menggantung di hati saya. Kegelisahan saya semakin memuncak ketika saya mendengar deru motor perahu bergetar di kejauhan.

“Dua perahu punya orang Kuem itu pagi barusan berangkat, balik ke Kuem,” pemuda Johny melaporkan.

Sial. Gara-gara Papa Leo tidak mengizinkan saya bicara dengan orang-orang Kuem itu, saya kehilangan kesempatan emas untuk meninggalkan tempat ini.

Saya terpaksa kembali menanti. Menanti dan menanti. Anak-anak tertawa ceria bermain gobak sodor, sedangkan langit perlahan menjadi cerah. Tetapi itu justru membuat saya lebih gelisah. Haruskah hari yang indah ini lewat begitu saja hanya dengan penantian? Tidak tahan lagi dengan debar jantung yang semakin cepat, saya beranjak dari balai-balai berlari mencari Johny. Hanya dia harapan saya satu-satunya.

“Berapa jauhnya Kuem dari sini? Berapa lama ke sana? Berapa liter minyak yang harus saya sediakan?”

Johny mengatakan, Kuem cukup jauh kalau kita lewat Sungai Fly, tetapi ada jalan pintas rahasia dari Manda ke sana. Kuem terletak di tepi Sungai Agu yang sejajar dengan Sungai Fly, di antara kedua sungai terdapat sungai kecil dan rawa-rawa yang menghubungkan. Kalau kita lewat sana, kita cuma butuh 3 galon bensin, tiga jam perjalanan.

“Kalau saya beli bensinnya, kamu bisa bantu antar saya ke sana?” tanya saya.

“Bisa. Tapi bensin ada atau tidak, itu masalah.”

Untuk pergi dan pulang, butuh 6 galon bensin, atau 30 liter. Harga bensin 10 kina per liter, berarti 300 kina. Dengan kurs 4.000 atau 5.000 rupiah per kina, itu berarti antara Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta. Ini biaya perjalanan termahal saya sejauh ini di Papua Nugini.

“Boleh saya bayar pakai rupiah?” tanya saya.

“Kalau rupiah, 500 saja cukup,” katanya.

Orang sini menyebut rupiah dengan menghilangkan tiga nol di belakang. Lima ratus ribu rupiah. Murah sekali! Ya, ini jauh lebih mahal daripada harga bensin di Indonesia, but hey, this is Papua New Guinea! Di sini untuk pertama kali dalam hidup saya merasakan mata uang negara saya begitu berharga. Itu karena orang sini belanja dan jual hasil ke Indonesia pakai rupiah, sehingga rupiah di daerah ini lebih berharga daripada kina.

Kami bergegas ke ujung belakang desa. Di situ tinggal anak sulung Papa Leo. Dia punya minyak. Johny bernegosiasi dengan lelaki itu, sementara saya memasang senyum semanis mungkin di sampingnya. Walaupun saya tidak mengerti bahasa mereka, tetapi wajah anak sulung Papa Leo yang datar itu sudah menunjukkan jawaban negatif. Johny bilang, dia sebenarnya ingin menolong, tapi dia tidak mau dibayar dengan rupiah, dia butuh kina untuk biaya anaknya sekolah.

Kami segera berlari ke ujung lainnya dari desa, ke rumah Francis di tepi sungai tempat saya menginap. Francis juga punya minyak. Di rumahnya inilah (yang juga rumah Papa Leo), saya tinggal selama ini. Francis sangat ingin menolong, tapi minyak yang ada di rumahnya adalah milik warga, dan mereka butuh itu untuk pergi ke Kiunga minggu depan.

Harapan terakhir kami adalah satu anak Papa Leo yang lain, yang rumahnya di tengah desa. Johny bicara dengannya sampai memohon-mohon. Walau kelihatannya berat hati, lelaki itu setuju dibayar dengan rupiah.

Menembus hutan

Menembus hutan

Sekarang kami siap berangkat. Saya mengemasi barang-barang saya, mengucap selamat tinggal yang terburu-buru dengan tuan rumah saya. Sudah tengah hari, kalau kita tidak bergegas bisa-bisa kemalaman di jalan. Satu orang yang paling ingin saya hindari sekarang: Papa Leo. Dia bisa membatalkan semua rencana saya.

Dia menemukan kami saat Johny sedang meminjam perahu. Ini desa kecil, tidak mungkin ada yang rahasia di sini. Papa Leo menyarankan Johny untuk menunda keberangkatan besok pagi, karena jalan pintas ke Kuem terlalu berbahaya. Rawa-rawa sekarang sudah tertutup bunga-bunga Sepik.

Bunga Sepik?

Konon, ada seorang suku Yangom di hulu Sungai Fly sana yang pergi berkunjung ke daerah Sepik di sebelah utara Western Province. Di sana dia melihat tanaman air yang cantik. Dia pikir itu tanaman hias. Dia bawa pulang tanaman itu, dipelihara. Setelah dia bosan, dibuangnya tanaman itu ke sungai. Siapa sangka, tanaman itu merajalela dengan pesat, dan mulai menutupi Sungai Fly. Sekarang rawa di sekitar Kuem sudah dipenuhi tanaman itu yang membentuk penghalang seperti rumah sesat. Orang yang tidak tahu medan bisa terperangkap di sana. Ini adalah fenomena baru, yang hanya terjadi sejak satu setengah tahun lalu. Karena tanaman itu berbunga dan berasal dari Sepik, maka orang sini menyebutnya “Bunga Sepik”.

Tetapi saya bersikeras untuk berangkat hari ini juga. Visa saya tidak bisa menunggu.

Papa Leo terdiam sejenak. “Saya ikut,” dia berkata. Tanpa dirinya, dia yakin saya tidak akan sampai ke Kuem.

Papa Leo juga mengajak anak bungsunya, Reynold si pemburu buaya, supaya bisa menjual kulit buaya ke pengepul yang tinggal di Kuem. Jadilah tiga lelaki Manda mengoperasikan perahu hanya demi satu penumpang: saya.

Perahu berangkat menyusuri Sungai Fly ke utara, dan hati saya semakin berdebar. Itu artinya, sebentar lagi kami akan mencapai bagian “benjolan” Sungai Fly yang menjadi perbatasan negara antara Indonesia dan Papua Nugini. Mulai dari mil ke 320 Sungai Fly akan berbelok ke arah Indonesia dan situ ada patok perbatasan M-11.

“Bisakah kita berhenti di patok perbatasan? Saya mau lihat,” saya bertanya pada Papa Leo.

“Tidak bisa. Kita masuk shortcut sebelum itu,” katanya.

Papa Leo memerintahkan Johny mematikan mesin. Kita sampai di jalan pintas.

Tapi mana jalannya? Yang saya lihat hanya rumput tinggi dan pekat. Rumput di sini lebih seperti pohon, tingginya lebih dari dua meter dan batang hijaunya cukup keras. Pak Tua menebas rumput dengan parang, seperti sedang membuka hutan. Kedua lelaki muda menggerakkan perahu dengan menancapkan batang dayung ke dasar air. Begitu banyak tenaga harus dihabiskan, dan perahu kami hanya bergerak maju beberapa sentimeter saja.

“Masih jauh?” tanya saya setelah kami berjuang menembus rapatnya rumput lebih dari satu jam. Perahu kami seperti berjalan di padang rumput.

“Masih. Kamu ada masalah?” kata Johny.

“Tidak.” Saya malu menjadi penumpang yang tidak banyak membantu tapi justru banyak mengeluh. “Tapi, kalian yakin tidak salah jalan?” Saya melihat rapatnya rerumputan ini mustahil ditembus.

“Yakin. Jalan ini terakhir dilewati orang setahun lalu. Lihat rumput ini, masih ada jejaknya,” kata Johny.

Mereka bilang, setelah lewat rumput ini, kita akan sampai di hutan, lalu rawa, lalu Sungai Agu dan sampailah nanti kita di Kuem. Satu jam setengah kami habiskan untuk menebas rumput. Perahu kami sudah penuh rumput-rumput kering yang berjatuhan, juga bermacam serangga dan laba-laba yang tersesat. Semua orang berkeringat deras, kecuali saya.

Menavigasi menghindari rumput dan bunga Sepik

Menavigasi menghindari rumput dan bunga Sepik

Seketika, rumput mulai menjarang, dan pemandangan kini berubah menjadi batang-batang pohon tinggi yang terendam air yang begitu jernih dan memantulkan lukisan sureal di atasnya. Pak Tua bertelanjang dada, duduk di haluan perahu menavigasi dengan dayungnya. Lalu, di satu tempat yang cukup tertutup, kami berhenti. Mereka melepas seluruh baju mereka, lalu meloncat ke dalam air yang saking jernihnya kita bisa melihat dasarnya yang penuh ganggang. Saya pun tergoda. Sudah dua minggu lebih sejak saya menyusuri Sungai Fly saya belum pernah mandi sama sekali karena takut tercemar air. Air sejernih dan sesegar ini di dalam hutan serapat ini, tidak mungkin kotor, bukan? Saya melepas semua baju saya, telanjang bulat saya turun dari perahu yang terombang-ambing. Saya hilang keseimbangan, terbenam ke dalam air yang ternyata begitu dalam. Mereka semua tertawa.

Perjalanan lewat jalan pintas ini salah satu perjalanan terindah yang pernah saya alami dalam hidup. Dunia begitu tenang, hanya suara kecipak-kecipuk dayung kami. Burung-burung putih berparuh besar bertengger di pepohonan, lalu mengepakkan sayap begitu anggun ke angkasa begitu kami mendekat. Dunia seperti hanya milik kami.

Langit menggelap, hujan rintik dan kabut menghalangi kami melihat ruwetnya tanaman yang menutup rawa. Bunga-bunga Sepik itu ternyata eceng gondok!

Pak Tua berdiri di atas haluan kapal, memberi kode kepada Johny yang mengendalikan mesin untuk berbelok ke kiri atau ke kanan menghindari gumpalan eceng gondok yang sudah sangat dahsyat menjajah rawa-rawa ini. “Alam berubah cepat sekali,” kata Pak Tua, “Dulu ketika kita kecil, sungai ini bersih dan tanah sangat hijau. Kau tidak akan bisa lihat perahu datang dari jauh karena tertutup pohon. Sekarang kau bisa lihat desa Mipan dari Manda. Ikan tidak ada, ular air tidak ada, wallaby tidak ada. Yang ada hanya bunga Sepik.”

Langit semakin gelap dan mencemaskan. Hujan sesekali turun, angin bertiup membuat kami yang kebasahan menggigil. Kami tersesat berkali-kali. Kalau dalam satu setengah tahun saja eceng gondok sudah separah ini, dalam tiga tahun saya yakin Kuem akan terkunci dari dunia luar sama sekali.

Kami akhirnya berhasil masuk ke Sungai Agu. Dalam remang-remang terlihat sinar lampu di kejauhan. “Itu Kuem,” kata Pak Tua, datar.

Salah satu perjalanan terindah dalam hidup

Salah satu perjalanan terindah dalam hidup

Melepas lelah di Kuem

Melepas lelah di Kuem

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Manda 25 September 2014: Menuju Rawa

  1. Semoga selamat God always be with you

  2. kapan buku terbarunya terbit nih. nggak sabar pengen baca karya-karyanya lagi.

  3. Trimakasih sudah mau berbagi pengalaman serunya mas Agus..
    Gak sabar pengen dengar cerita saat ketemu OPM di Kuem nanti

  4. sudah menduga bungasepik=ecenggondok
    tak mandi 2minggu bukan krn tak ada air tp takut air tercemar.
    air jumlahnya sama. tetap. air bersih yg jauh berkurang akibat pencemaran.
    air sumber kehidupan

  5. Lebih banyak cerita tentang papa Leo dong Ms.. Mulai nge fans nih hehe..

Leave a Reply to Asdar Munandar Cancel reply

Your email address will not be published.


*