Recommended

Papua Nugini (1) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Bahaya di Ibukota

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.

 

Papua Nugini sering digambarkan sebagai negeri primitif yang dihuni suku-suku terisolasi dari zaman prasejarah. Nama negeri itu senantiasa membangkitkan imajinasi tentang taman liar yang dipenuhi burung-burung surga, sebuah dunia lain yang begitu jauh dari dunia kita. Hanya beberapa puluh tahun lalu, di negeri ini memang masih banyak lelaki dengan labu penutup penis dan perempuan bertelanjang dada, atau suku-suku pemuja arwah, penyihir, bahkan pemburu kepala manusia di pedalaman hutan rimba. Kini globalisasi telah merambah, kehidupan Papua Nugini sudah se-“normal” dunia kita.

Walaupun, harus diakui, belum sepenuhnya begitu.

160130-png-article-traveler-1-port-moresby-1

Bahaya di Ibukota

Dilihat dari angkasa, Port Moresby bagai barisan perbukitan hijau bergulung-gulung di tepi laut, ditebari rumah-rumah penduduk membentuk mozaik warna-warni. Perbukitan itu berhadapan langsung dengan biru kristal Lautan Teduh yang membentang luas tak berbatas. Sulit memercayai kota secantik ini termasuk kota paling tidak layak huni di dunia.

Di antara kota-kota tak layak huni lainnya, ada Lagos dengan kekacauan konfliknya, Bogota dengan mafia narkotikanya, Karachi dengan kriminalitas dan terorismenya. Tapi tidak ada kota lain di dunia yang serupa Port Moresby. Metropolitan Pasifik Selatan ini justru sekilas kelihatan ceria. Jalanannya bersih dan hijau bagai taman, dihiasi monumen merayakan burung surga dan mural warna-warni. Gedung-gedung tinggi dan pusat perbelanjaan modern terus bermunculan dalam beberapa tahun terakhir. Penduduk asli Melanesia berkulit hitam juga terlihat berjalan santai dan ceria menikmati hari.

Tapi jika diamati lebih teliti, hampir semua gedung dan rumah-rumah orang kaya di kota ini dikelilingi tembok tinggi pada bagian atasnya dipasang kawat berduri atau pecahan beling, masih dikawal satuan pengaman bersenjata. Kota ini dikuasai gang kriminal, atau raskol (dari kata bahasa Inggris rascall). Aksi mereka menyisakan teror, seperti perampokan bank dengan senapan mesin M-16, perampokan mobil oleh gerombolan bersenjata, hingga perkosaan massal terhadap penumpang perempuan yang diseret turun dari bus. Sekolah bisa tiba-tiba diliburkan, karena ibu guru dirampok di jalan, atau diperkosa di jalan, atau dua-duanya.

Seorang diplomat teman saya baru saja mengalami perampokan di rumahnya sendiri, padahal sudah dikawal sekuriti bersenjata. Sore itu dia pulang dari kantor, memarkir mobilnya di garasi rumah. Begitu turun dari mobil, dia merasakan dinginnya pistol menempel di pelipis kirinya. Sedangkan di sebelah kanannya, lelaki lain mengarahkan pistol ke kepalanya. Lelaki ketiga menggerayangi tubuhnya dan mengambil semua isi sakunya. Demi nyawa, dia membiarkan mereka membawa kabur mobilnya.

Tampaknya setiap ekspatriat di sini punya pengalaman pribadi berhubungan dengan kriminalitas. Tidak ada orang asing yang berjalan kaki di kota ini. Mereka hanya bepergian dengan mobil antara tempat tinggal, tempat kerja, dan pusat perbelanjaan. Jalanan yang biasanya padat akan langsung lengang begitu matahari tenggelam, dan bisnis berhenti beroperasi untuk menghindari perampokan.

Bahkan warung kecil di Hanuabada ini pun menggunakan teralis besi karena tingginya ancaman kejahatan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bahkan warung kecil di Hanuabada ini pun menggunakan teralis besi karena tingginya ancaman kejahatan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Supermarket, restoran, sampai toko kecil memiliki dua lapis pintu, yang setiap lapisnya dijaga sekuriti bersenjata. Toko kelontong lebih mirip penjara—pemilik toko berada di balik kerangkeng besi. Seorang pemilik toko yang berasal dari China Daratan mengatakan, sekali pun sudah memasang kerangkeng seperti ini, dia masih beberapa kali kerampokan. Toh dia tetap berbisnis di sini. Dia tentu mengimani kebijakan China: di dalam krisis ada bahaya sekaligus kesempatan.

Saya tidak melihat turis asing sama sekali di kota ini. Turis umumnya hanya menjadikan Port Moresby sebagai pintu masuk dan tempat singgah maksimum semalam sebelum menuju destinasi-destinasi surgawi di bagian lain negeri. Papua Nugini, khususnya Port Moresby, tentu bukan untuk backpacker. Penginapan termurah di kota ini seharga 200 kina (sekitar A$90) per malam, hanya berisi ranjang dan meja. Belum lagi harga makanan, barang, dan transportasi yang bahkan lebih mahal daripada di Australia.

Tingginya biaya hidup berkaitan dengan keamanan. Setiap perusahaan menghabiskan anggaran besar untuk memasang gerbang khusus, CCTV, alarm, satuan pengamanan swasta. Belum lagi kerugian karena pencurian oleh penjahat profesional atau oleh pegawai sendiri. Perusahaan tentunya akan membebankan semua biaya ini pada konsumen dengan harga tinggi. Pada akhirnya, semua orang di Papua Nugini harus membayar demi kriminalitas ini.

Cerita dan berita tentang parahnya kriminalitas memang sempat memasung langkah saya. Tapi saya tahu, saya tidak akan pernah mengenal Port Moresby kalau kaki saya tidak pernah menginjak bumi. Saya memutuskan menjajal menumpang bus kota sebagaimana warga biasa bepergian. Di kota ini, bahkan berjalan di jalanan dan naik kendaraan umum adalah petualangan besar.

Seorang perempuan warga lokal di toko langsung histeris begitu saya menanyakan nomor bus yang harus saya ambil. “Kamu mau bunuh diri? Saya saja tidak pernah jalan kaki dan naik bus!” serunya. Dia menganjurkan saya naik taksi. Dia langsung mengeluarkan uang 30 kina dari dompetnya, dan mendesakkan ke tangan saya. “Take this and go!

Saya tidak menerima pemberiannya dan tetap naik bus. Begitu masuk, saya langsung disambut tatap mata heran para penumpang; mungkin mereka belum pernah lihat orang asing naik bus. Perjalanan ini sebenarnya begitu menyenangkan; bus diisi keceriaan musik pantai ala Jamaika yang membuat para penumpang turut menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama. Bus di kota ini berbentuk minibus, sehingga tidak ada penumpang yang berdiri dan tidak mungkin dicopet. Bus bahkan lebih aman dari taksi—setidaknya saya tidak mungkin diculik.

160130-png-article-traveler-1-port-moresby-2Kawasan permukiman penduduk di Port Moresby umumnya terletak di belakang jalan utama, jarang terlihat pengunjung biasa. Jalanan dipenuhi lautan manusia yang berjalan tanpa arah. Delapan puluh persennya anak-anak, yang bertelanjang kaki, bertelanjang dada, atau bertelanjang bulat. Para lelaki duduk melingkar di lapangan sambil bermain judi kartu. Seseorang lelaki bermata merah mendekati saya, mengintimidasi supaya saya membeli mariyuana.

Tentu saya tidak berani ke sini jika tidak ada penduduk setempat yang menemani. Bahkan orang Papua Nugini pun tidak berani pergi ke permukiman yang bukan mereka tinggali, karena bisa diserang. Apalagi, daerah Koki ini sudah termasyhur sebagai sarang raskol ibukota.

Sebagian kampung kumuh Koki berada di atas air. “Jalan” di kampung air ini berupa jembatan-jembatan kayu yang berhenti di tengah laut, namun terhubung satu sama lain membentuk jaringan jalan. Rumah penduduk dibangun di sisi kiri dan kanan jembatan, di atas topangan tiang-tiang kayu yang menancap di laut dangkal yang sudah berubah menjadi lautan sampah.

Namun lokasi utama kegiatan mereka adalah jalan raya beraspal di seberang lapangan. Malam menjelang akhir pekan seperti ini adalah waktu puncak bagi penduduk untuk loafing around (bermalas-malasan tanpa tujuan). Sebenarnya akhir pekan adalah saat paling berbahaya di negeri ini, karena di hari inilah para pekerja menerima gaji. Mereka umumnya langsung membelanjakan gaji untuk membeli bir, sehingga banyak orang mabuk di jalan dan berkelahi. Saya melihat dua lelaki gempal berkelahi di tengah jalan, menjadi tontonan seru bagi kerumunan ratusan orang di sekeliling mereka.

Jo, pemuda berbadan kekar dan berambut rasta gimbal yang mengawal saya, mengajak saya belajar menjadi lokal: dengan mengunyah pinang. Orang Papua Nugini bisa mengunyah pinang sepanjang hari. Pinang dikunyah dengan kapur dan sirih, membuat gigi dan bibir mereka merah. Ludahan pinang itulah yang membuat dinding, jalan, dan tanah di berbagai penjuru kota dipenuhi bercak-bercak seperti darah.

Kami membeli sekantong pinang. Saya menggigit satu potongan kecil, mengunyahnya, merasakan pahit yang membuat meringis. Tak lama kemudian, air mata menetes dan tenggorokan seperti terbakar. Kepala pening melayang-layang. Pinang bagi orang Papua Nugini adalah stimulan, tapi saya sudah mabuk dalam satu gigitan. Jo malah tertawa.

Tiba-tiba kami mendengar suara tembakan. Orang-orang berlarian. “Apa itu?” Saya membayangkan telah terjadi perkelahian antara mafia narkotika.

“Itu polisi kota,” jelas Jo, “Mereka mengusir para pedagang pinang di pasar ujung jalan.”

160130-png-article-traveler-1-port-moresby-4

Pemerintah Port Moresby tampaknya sudah terlalu lelah dengan sampah kulit pinang yang bertebaran di seluruh kota, ditambah bercak ludahan yang nyaris mustahil dibersihkan. Mereka mengambil solusi kilat: melarang orang berjualan pinang. Tapi bagaimana mungkin seketika menghentikan tradisi ratusan tahun? Polisi menyemprotkan gas air mata dan tembakan peringatan. Mereka menangkapi para penjual pinang, memenjarakan, dan baru membebaskan setelah para pedagang itu membayar denda.

Bagi Jo, itu tidak masuk akal. Para penjual pinang itu juga rakyat kecil seperti dirinya yang berjuang untuk bertahan hidup. “Polisi sama buruknya dengan raskol,” kata Jo, “Saya curiga polisi juga menjadi raskol kalau sedang tidak berdinas.”

Jo sendiri pernah menjadi korban raskol. Hari itu dia keluar dari kantor membawa uang perusahaan 300.000 kina untuk ditransfer ke bank. Tiba-tiba, begitu dia keluar dari pintu, satu mobil mendesaknya dari kiri, dan dari dalamnya meloncat tiga raskol menodongkan pistol. Jo menyerahkan uang itu, dan para raskol kabur. Polisi justru menginvestigasi Jo, dan perusahaan memecatnya karena mencurigainya bersekongkol dengan para raskol. “Kenapa saya yang diinvestigasi dan dipecat? Kenapa bukan para raskol itu yang ditangkap dan dihukum?” keluhnya.

Jo, seperti sebagian besar orang di kota ini, adalah pengangguran. Tinggal di daerah raskol, dia memahami kenapa orang menjadi raskol. “Tanpa pekerjaan dan tanpa uang, bagaimana kau bisa bertahan hidup di kota yang semua serba mahal?” katanya.

Port Moresby memang unik. Pabrik, hotel, perusahaan, supermarket, toko, bahkan sampai warung kecil adalah punya orang asing. Hampir semua pekerjaan di sini dilakukan orang asing. Bahkan pegawai di supermarket atau proyek konstruksi pun didatangkan dari Filipina. Sedangkan orang lokal umumnya menempati posisi paling rendah, paling berbahaya, atau jadi pengangguran.

160130-png-article-traveler-1-port-moresby-3

Saya melihat lingkaran setan di sini. Ketiadaan kesempatan kerja menyebabkan tingginya pengangguran, sehingga kriminalitas merajalela dan biaya hidup pun meningkat. Kriminalitas itu menghambat produksi, sehingga hampir semua barang di negeri ini harus didatangkan dari luar negeri, dan itu membuat biaya hidup semakin tinggi dan kriminalitas makin parah. Sebaliknya, maraknya tindak kriminal yang dilakukan penduduk lokal membuat pelaku bisnis semakin tidak memercayai mereka, dan makin banyak merekrut pegawai asing yang menyebabkan pengangguran terus bertambah. Demikian seterusnya.

“Saya tidak yakin kapan orang Papua Nugini menjadi tuan di tanahnya sendiri, atau apakah itu akan terjadi,” kata Jo, “We are just slaves in our own land.”

(bersambung)

Papua Nugini (1): Bahaya di Ibukota

Papua Nugini (2): Satu Bahasa

Papua Nugini (3): Perbatasan Segitiga

Papua Nugini (4): Orang Hitam dan Orang Putih

Papua Nugini (5): Sungai yang Mengering

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Papua Nugini (1) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Bahaya di Ibukota

  1. cool…i’m waiting for this in form of book 😀

  2. Membaca tulisan bung Agustinus, kita akan selalu merasakan suasana di lokasi kejadian, seakan-akan menonton di ‘layar’ langsung dari TKP. Can’t wait the book any longer for the full stories.

  3. sebenernya pulau papua secara keseluruhan itu pulau yg paling kaya dibanding pulau2 yg lainnya. .

  4. melihat fenomena yang sama dengan di banyak negara, saya yakin, kuncinya adalah pendidikan.
    hanya dengan pendidikan, papua nugini bisa mengubah semua ini.

    btw, pendidikan disana bagaimana mas ??

  5. “We are just slaves in our own land.” – Sad 🙁

  6. Sedih yah, menjadi budak di tanah sendiri.
    Selalu menarik untuk mengikuti tulisan mas Agus, apalagi klo membaca bukunya

Leave a Reply to Yumi Lestari Cancel reply

Your email address will not be published.


*