Recommended

Papua Nugini (2) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Satu Bahasa

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.

160130-png-article-traveler-2-daru-3

“PNG itu bukan singkatan Papua New Guinea,” seorang kawan ekspatriat memberitahu saya, “itu singkatan Promise Not Guaranteed.” Di sini, tiket pesawat bukan jaminan bisa terbang. Sudah banyak calon penumpang pesawat yang memiliki tiket, sesampainya di bandara diberitahu bahwa pesawat sudah penuh dan tidak ada tempat bagi mereka. Karena itu, kawan itu menganjurkan saya pergi seawal mungkin ke bandara.

Saya bersyukur dengan anjuran itu. Bukannya terlambat, pesawat justru terbang satu jam lebih awal dari jadwal. Kata pramugari, itu karena semua dari dua puluhan penumpang sudah tiba di bandara. Sembilan puluh menit kemudian, pesawat kami mendarat di Daru, sebuah pulau noktah kecil di bagian paling selatan provinsi perbatasan Western Province. Dulu kota-pulau ini pernah menjadi pusat pemerintahan provinsi, sebelum kemudian dipindah ke Kiunga di utara sana. Bandara Daru mirip lapangan bola yang dikelilingi pagar kawat. Di balik pagar itu, orang-orang berderet menonton pesawat.

Dari balik kawat pagar kawat, saya juga menonton para penumpang yang berbaris di atas tarmak menuju pesawat yang akan lepas landas kembali ke Port Moresby. Dua penumpang yang terakhir naik tiba-tiba turun lagi. Saya dengar dari petugas bandara, mereka tidak diizinkan terbang karena pesawat telah kelebihan muatan kargo. Entah mereka telah dikorbankan untuk kepentingan siapa. “Bagaimana nasib mereka?” tanya saya.

“Mereka hanya bisa menunggu hari keberangkatan berikutnya, dua hari lagi,” katanya.

“Apakah mereka tidak marah?”

“Tidak akan. Di Papua Nugini semua orang mengerti.”

160130-png-article-traveler-2-daru-1

Penundaan, pembatalan, overbooking adalah hal biasa; dan orang bisa “mengerti”. Seorang warga bercerita tentang pengalamannya naik pesawat yang penuh penumpang. Petugas darat maskapai tampaknya menerbitkan satu pas naik kepada seorang kerabatnya yang tidak kebagian tiket, dan mengaturnya supaya bisa naik dulu ke pesawat sebelum semua penumpang lain. Ketika penumpang yang seharusnya duduk di kursi itu datang, mereka bertengkar karena memiliki pas naik untuk kursi yang sama. Pramugari akhirnya menyuruh penumpang yang belakangan naik itu—yang sebenarnya pemilik sah kursi itu—untuk turun dan menunggu penerbangan selanjutnya.

Itulah dahsyatnya hubungan kekerabatan di negara ini. Janji bisa dibatalkan, hal-hal tak masuk akal bisa terjadi, semata-mata demi kekerabatan.

Mereka menyebut kekerabatan sebagai wantok, dari bahasa Inggris one talk—satu bahasa. Secara harfiah kerabat adalah mereka yang “bicara bahasa yang sama”, tapi bisa juga berarti keluarga, rekan bisnis, atau teman sangat baik. Tradisi ini berasal dari sistem kesukuan khas bangsa Melanesia. Ini negara dengan 5 juta penduduk tetapi memiliki lebih dari 820 bahasa; bahasa bisa membedakan suku dan klan, daerah kekuasaan, kawan atau lawan.

Orang dituntut melakukan apa saja demi melindungi para wantok-nya tanpa meminta balasan. Penghasilan mereka, apakah itu tangkapan ikan, hasil berburu, atau gaji, bukanlah untuk diri sendiri, melainkan untuk semua wantok. Sistem ini memungkinkan orang tidak akan mati kelaparan meski tidak punya uang. Tetapi juga menyebabkan banyak masalah. Kontrak diberikan kepada para wantok; para polisi memberikan perlakuan istimewa kepada para wantok; orang menjadi raskol demi menghidupi para wantok. Setidaknya raskol yang paling kejam pun akan mengurungkan aksinya jika mengetahui korbannya adalah wantok.

160130-png-article-traveler-2-daru-4

Daru, sebagaimana kota-kota Papua Nugini lainnya, juga terpetak-petak berdasar wantok. Ini pulau kecil dengan satu jalan utama, yang dari ujung ke ujung bisa ditempuh dengan berjalan kaki satu setengah jam. Penduduk asli Daru adalah orang suku Kiwai, tetapi sebagian besar penghuni Daru berasal dari luar pulau. Mereka tinggal di berbagai daerah permukiman kumuh yang masing-masing dihuni orang dari daerah yang sama. Satu rumah panggung bisa ditempati sampai 30 orang, semuanya wantok, dan kepadatan yang tinggi itu dituding sebagai sebab utama Daru kini menjadi lokasi terparah di seluruh dunia untuk penyebaran penyakit tuberkolosis yang kebal obat.

Orang biasanya tidak berani pergi ke permukiman yang bukan tempat wantok mereka. Ini kota malas yang nyaris tanpa kendaraan bermotor, tapi bahaya raskol pun mencekam penduduk seperti halnya di ibukota. Setelah matahari tenggelam, jalanan kosong total, karena semua orang berlindung di rumah masing-masing.

Pusat kota Daru berupa pasar yang bersebelahan dengan pelabuhan. Para pedagang kebanyakan nelayan dari daerah pesisir dan aliran Sungai Fly. Mereka menggelar ikan, kura-kura, sagu, udang, dan berbagai hasil alam lainnya di atas tanah, sambil mengipasi dengan daun untuk mengusir lalat. Mereka pun terkotak-kotak berdasar wantok. Para pedagang yang berasal dari satu daerah dan bicara satu bahasa duduk mengelompok di sudut jalan tertentu. Bahkan ratusan perahu mereka yang tertambat di pelabuhan yang kelihatannya acak sebenarnya diparkir berdasar daerah asal.

Di Daru juga terdapat lima atau enam supermarket besar, plus dua hotel, semuanya milik orang China dari provinsi Fujian. Sebenarnya orang China juga punya sistem serupa wantok. Setiap unit bisnis ini dimiliki oleh keluarga besar satu marga di daerah asal mereka, dan setiap anggota berkongsi modal untuk membuka usaha. Para orang China itu duduk sepanjang hari di kursi tinggi di belakang kasir, mengawasi pencuri yang bisa jadi pengunjung atau staf mereka sendiri. Penduduk lokal sudah berdagang di Daru sejak ratusan tahun, sedangkan orang China baru merintis bisnis hanya sepuluhan tahun lalu. Tapi kenapa orang China sudah mendominasi ekonomi Daru dan menjadi juragan, sedangkan warga lokal masih tetap berjualan di pinggir jalan?

Para orang China pemiliki toko duduk dari ketinggian mengawasi anak buah dan pembeli (AGUSTINUS WIBOWO)

Para orang China pemiliki toko duduk dari ketinggian mengawasi anak buah dan pembeli (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang guru yang di waktu senggang menjadi pedagang sayur menjelaskan pada saya, di Papua Nugini orang hampir mustahil bisa menabung, apalagi mengumpulkan modal. Kalau ada wantok datang, dia seperti berkewajiban untuk memberikan dagangannya dengan cuma-cuma, dan itu sering membuatnya rugi. Uang hasil dagang pun langsung habis untuk memenuhi kebutuhan para wantok yang tidak punya penghasilan apa-apa di desa sana.

“Kami bukan bangsa yang materialistis,” katanya, “Ini bukan masalah take and give, tetapi investasi hubungan. Kalau kau berbagi rezeki dengan wantok, saat kau membutuhkan bantuan mereka pun akan menolongmu. Itulah jaringan keselamatanmu. Bukankah itu juga gunanya tabungan dan investasi di negara lain?”

(bersambung)

 

Papua Nugini (1): Bahaya di Ibukota

Papua Nugini (2): Satu Bahasa

Papua Nugini (3): Perbatasan Segitiga

Papua Nugini (4): Orang Hitam dan Orang Putih

Papua Nugini (5): Sungai yang Mengering

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Papua Nugini (2) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Satu Bahasa

  1. Nice info, sukak

  2. Like this

  3. orang-orang PNG betul-betul “pengertian”

Leave a Reply to Djoyo Cancel reply

Your email address will not be published.


*