Recommended

Papua Nugini (4) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Orang Hitam dan Orang Putih

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.

Cargo cult ala Melanesia (sumber: youtube.com)

Cargo cult ala Melanesia (sumber: youtube.com)

Penduduk desa Tais, kampung halaman Sisi, selalu menyebut saya “orang putih”. Padahal saya orang Asia keturunan China dan warna kulit saya bukan putih. Desa ini terletak di pedalaman hutan, sehingga mereka jarang kedatangan tamu orang asing. Para orang dewasa menyambut saya dengan sukacita, namun anak-anak justru menganggap saya seseram setan.

Ketika saya lewat di depan rumah, satu bayi menangis meraung-raung memanggil ibunya. Seorang bocah dua tahun ketakutan sampai berlari dan terjatuh, wajahnya menabrak tanah. Seorang bocah perempuan sampai terloncat melihat saya mendekatinya, seperti disergap binatang buas. Saya sudah membuat lusinan bocah menangis hanya dengan penampakan saya.

Kenapa mereka begitu takut dengan kulit putih?

Konon menurut legenda yang dipercaya di daerah ini, roh orang yang sudah mati akan terbang ke tempat terbenamnya matahari, dan tubuh orang itu akan berubah dari hitam menjadi putih. Kulit putih identik dengan kematian. Orang putih pertama kali tiba di desa ini pada saat Perang Dunia II, dan itu membuat semua penduduk, baik tua maupun muda, lari ketakutan bersembunyi ke dalam rimba. Sedangkan di abad ke-18, ketika penjelajah Eropa pertama kali datang di kepulauan Kiwai di dekat Daru, penduduk langsung berlutut dan menyembah para orang putih itu, mengira melihat roh leluhur mereka yang pulang dari barat. Namun di desa lain, penjelajah Eropa yang datang justru langsung ditangkap, dibunuh, dan dagingnya disantap ramai-ramai oleh anggota suku.

Tais terletak di distrik Morehead, di bagian barat Western Province. Nama distrik ini juga berkaitan dengan tradisi perburuan kepala yang masih hidup di daerah ini beberapa puluh tahun lalu. Mereka membunuh musuh, menyantap daging dan meminum darahnya, lalu mengoleksi tengkoraknya di rumah panjang mereka. Para perempuan menaruh kepala-kepala yang sudah dipotong ke dalam keranjang lalu menari dengan kepala-kepala itu. Semakin banyak kepala yang dipunya menunjukkan semakin besar kekuatan seseorang. Konon, para pejabat kolonial dari Australia mengunjungi rumah-rumah panjang ini dan sangat terkejut menemukan di dalamnya terdapat tengkorak yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada di daerah lain. Much more heads. Begitulah distrik ini mendapat namanya: Morehead.

Dahulu kala, kemungkinan sekitar masa Perang Dunia II, leluhur orang Tais tinggal di pesisir pantai yang tidak jauh dari Boigu. Tiba-tiba dari hutan pedalaman datang suku pemburu kepala dan menggunakan sihir sehingga penduduk desa menjadi gila. Desa mereka diserang, orang-orang dibunuhi dan diambil tengkoraknya, sehingga warga yang masih hidup melarikan diri hingga ke pedalaman hutan ini dan membangun desa baru.

Poster pesan sosial: "Sanguma (penyihir) tidak bisa menyebabkan penyakit TBC" (AGUSTINUS WIBOWO)

Poster pesan sosial: “Sanguma (penyihir) tidak bisa menyebabkan penyakit TBC” (AGUSTINUS WIBOWO)

Kultur tribal terdengar liar dan barbar, namun menyimpan romantika tersendiri. Nabaiya Yewane, lelaki tertua di desa, menceritakan pada saya bagaimana dia menghadiri ritual inisiasi menjadi lelaki dewasa pada saat usianya 15 tahun. Dia digiring ke dalam rimba, diiringi alunan seruling bambu dan lontaran potongan bambu ke udara. Di tengah lingkaran para lelaki, si pemuda yang diinisiasi dibisiki cerita rahasia yang harus dia hafalkan. Beginilah cerita itu:

Alkisah ada sebuah pohon raksasa. Semua manusia hidup di ranting-ranting pohon itu. Mereka tidak mengenal api, makanan mereka adalah daging mentah. Hanya seorang perempuan yang tinggal di kaki pohon yang punya api. Seorang lelaki di pohon menemukan api milik perempuan itu. Perempuan itu marah, membakar pohon besar. Api menyebar, orang-orang berloncatan, melayang, bertebaran ke seluruh dunia dan bicara bahasa yang berbeda-beda.

Waktu berlalu. Datang dua pemburu bersaudara ke tempat pohon raksasa yang binasa itu. Sang kakak berkulit hitam, sang adik berkulit putih. Mereka menemukan sisa pohon itu berdenyut seperti jantung. Kakak yang berada di utara memanah pohon itu dengan busurnya. Air laut memancar dari dalam pohon. Kakak terus berlari ke utara membawa busur dan panah, dan adik terus berlari ke selatan membawa bagian dari pohon itu yang menjelma menjadi senapan. Mereka terpisah selamanya oleh air yang menjadi lautan.

Itulah kisah terciptanya dunia dari mata mereka. Tempat pohon raksasa itu dianggap sebagai tanah suci yang tidak boleh dikunjungi. Mereka percaya, di tanah suci di tengah hutan rimba itu mereka bisa mendengar suara-suara dari zaman lain dan tempat lain: suara mobil, suara pesawat terbang, suara truk dan suara kapal.

Cerita ini adalah rahasia utama di zaman itu, hanya boleh diceritakan kepada lelaki dewasa melalui ritual istimewa. Para perempuan dan anak-anak harus menyumbat telinga mereka dengan jari, karena yang mencuri dengar akan dibunuh. Ritual itu berlangsung seminggu penuh. Setelah itu, para perempuan akan mengecat wajah mereka dengan arang, mewarnai sekujur tubuh, mengenakan rumbai-rumbai dari dedaunan pada pinggang, dan menari sepanjang hari.

Minggu pagi adalah momen paling meriah di desa (AGUSTINUS WIBOWO)

Minggu pagi adalah momen paling meriah di desa (AGUSTINUS WIBOWO)

Tradisi ini berakhir sama sekali ketika pada tahun 1969 datang seorang misionaris kulit putih dari Australia memberitahu mereka: siapa yang masih mengikuti cara hidup leluhur akan dimasak dalam neraka. Orang-orang Tais percaya apa pun yang dikatakan orang putih, karena orang putih dianggap utusan leluhur. Misionaris meminta seluruh desa menyerahkan semua peralatan sihir mereka, yang langsung dibakar di tengah lapangan. Seketika, turun hujan lebat dan badai petir tiga hari berturut-turut. Itu semakin membuat seluruh desa percaya, misionaris kulit putih itu punya kekuatan yang jauh lebih hebat daripada leluhur mereka. Sejak itu, seisi desa menjadi Kristen.

Bersamaan dengan matinya cerita, mati pula tradisi tribal yang selama ini menjadi roh mereka. Mereka tidak lagi boleh memakai pakaian tradisional, harus memakai baju dan celana seperti orang putih. Itu karena pendeta bilang mereka punya tubuh yang suci, yang diciptakan oleh Tuhan dan ditujukan hanya bagi Tuhan. Gereja juga melarang tarian dan lagu tradisional, karena semua tradisi dianggap memuja berhala dan mengingkari Tuhan. Lagu-lagu yang diizinkan hanya lagu gereja.

Kini, lebih dari 96 persen penduduk Papua Nugini menganut agama Kristen. Padahal, hanya tujuh dekade lalu, hampir seluruh negeri masih hidup dalam kepercayaan memuja roh dan alam, dengan perburuan dan kanibalisme menjadi gaya hidup sejumlah besar suku. Bahkan pada tahun 1970-an, cargo cult masih banyak ditemukan di Papua Nugini.

Pemujaan kargo adalah kepercayaan khas bangsa Melanesia di Pasifik Selatan. Orang-orang suku asli semula terpukau oleh pesawat-pesawat milik orang putih yang beterbangan di langit mereka saat Perang Dunia II. Itu benda ajaib, burung raksasa membawa barang-barang “kargo” dari langit turun ke bumi. Mereka juga mau itu, dan mereka punya cara sendiri. Mereka membuat tiruan pesawat dan bandara dari bambu dan kayu, lalu bersembahyang, menari-nari dan membaca mantra di hadapan pesawat bambu dan bandara rumput, dengan harapan burung raksasa sungguhan turun dari angkasa dan membawa kargo bagi mereka. Mereka menunggu dan terus menunggu.

Mempertahankan cerita dan tradisi dari leluhur adalah sebuah perjuangan di era modern ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Mempertahankan cerita dan tradisi dari leluhur adalah sebuah perjuangan di era modern ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Di abad sekarang, kita (mungkin) tidak akan lagi menemukan suku pedalaman menyembah tiruan pesawat terbang dari bambu. Tetapi saya masih menemukan jejak cargo cult dalam wujud berbeda.

Mr. Molang adalah seorang guru bahasa Inggris di satu-satunya sekolah menengah di Daru. Dia seseorang yang terpelajar dan cukup dihormati di kota ini. “Menurut cerita leluhur kami,” dia memulai ceritanya pada saya, “orang hitam adalah anak pertama dari Tuhan, dan orang putih adalah adiknya. Tetapi Tuhan mengutuk kami, sehingga Dia memberikan semua berkat, kekayaan, dan pengetahuan pada orang putih.”

Cerita leluhurnya mengisahkan manusia yang terpencar ke seluruh bumi dan bicara banyak bahasa. Papua adalah negeri dengan ratusan bahasa, seperti kisah Menara Babel dalam Alkitab. Baginya itu membuktikan bahwa Papua adalah lokasi kisah-kisah Alkitab. Para leluhur juga mewariskan rahasia, bahwa di tanah keramat suku mereka itulah Tuhan menciptakan semua benda: senapan, bubuk mesiu, peluru, kapal, pesawat terbang. Tetapi semuanya itu Tuhan berikan kepada orang putih, sedangkan orang hitam tetap hidup dengan busur dan panah. Tuhan telah marah pada orang hitam, karena Yesus sebenarnya adalah orang hitam dari Papua tetapi dibunuh oleh sesama orang hitam, di tanah Papua.

Mr. Molan tidak main-main dengan teorinya ini. Dia berencana melakukan perjalanan ke tempat-tempat keramat berbagai suku, demi membuktikan bahwa Papua adalah pusat dunia dan orang hitam Papua adalah bangsa pilihan Tuhan.

Cerita serupa ini saya temukan bertebaran di berbagai penjuru Papua Nugini. Walaupun berbeda-beda, cerita-cerita itu punya kesamaan: semua hal yang baik di dunia seharusnya adalah milik mereka orang hitam, tetapi dicuri oleh orang putih. Kultus kargo bukanlah tentang pemujaan, melainkan kegagalan untuk memahami hubungan sebab akibat. Saya curiga, raskol pun berhubungan dengan pemujaan kargo yang bercokol dalam pikiran. Ketika orang-orang dari pedalaman suku datang ke kota, lalu melihat mobil dan berbagai benda mewah yang dimiliki orang putih, mereka tidak berpikir bahwa untuk memiliki semua itu dibutuhkan ilmu dan kerja keras. Di dalam benak mereka hanya jalan pintas untuk “merebut kembali” semua kekayaan di depan mata yang sudah seharusnya menjadi hak mereka.

“Tuhan akan memalingkan wajah-Nya kembali pada orang hitam,” kata Molang yakin. “Dan saat itu kami akan berkelimpahan minyak, gas, emas, dan berlian. Para peneliti sudah membuktikan itu di provinsi ini. Kami percaya jika kami terus mengebor minyak di sini, maka minyak di Timur Tengah akan kering, karena semua akan kembali ke sini.”

“Kapan?” tanya saya.

“Itu akan terjadi dengan sendirinya. Kita hanya perlu sabar dan menunggu. Dulu saya bermimpi pergi ke Australia. Tetapi sekarang saya hanya menunggu para orang putih itu datang ke sini, untuk menjadi budak kami dan membersihkan sepatu kami.”

Dia menunggu dan terus menunggu.

 

(bersambung)

Papua Nugini (1): Bahaya di Ibukota

Papua Nugini (2): Satu Bahasa

Papua Nugini (3): Perbatasan Segitiga

Papua Nugini (4): Orang Hitam dan Orang Putih

Papua Nugini (5): Sungai yang Mengering

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Papua Nugini (4) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Orang Hitam dan Orang Putih

  1. Bukunya mana……????? Kapan terbtnya…????

Leave a comment

Your email address will not be published.


*