Recommended

Kiunga, 29 September 2014: Pengungsi Papua Merdeka

Perbatasan RI-PNG

Dari Kuem menuju kota besar Kiunga, saya akan melintasi daerah paling aneh dari perbatasan Indonesia dan Papua Nugini: “benjolan” Sungai Fly.

Saya menumpang perahu motor milik Raven, lelaki paruh baya dari Kuem yang hendak berjualan ikan mujair ke Kiunga. Kami berangkat pukul dua dini hari. Ketika matahari sudah mulai bersinar, perahu kami sudah memasuki daerah benjolan Sungai Fly yang menjadi pemisah kedua negeri. Sinar matahari kemerahan menyapu sungai yang bagaikan cermin panjang, dan menerangi pekatnya rimba di kedua sisinya.

Kalau kita melihat di atas peta, perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini berwujud garis lurus dari utara ke selatan sepanjang garis 141 derajat Bujur Timur. Pada bagian tengah agak ke bawah, ada “benjolan” yang mengarah ke sisi Indonesia. Daerah itu adalah lekukan Sungai Fly. Karena peranannya yang teramat penting bagi kehidupan masyarakat Papua Nugini, keseluruhan Sungai Fly harus masuk wilayah mereka. Garis batas di selatan “benjolan” Sungai Fly itu sebenarnya tidak lurus dengan garis di atasnya, melainkan agak menjorok sedikit masuk ke wilayah Papua Nugini. Itu adalah kompensasi yang didapatkan Indonesia untuk luas tanah yang hilang setelah memasukkan potongan Sungai Fly ke Papua Nugini.

Garis batas negeri membelah kehidupan. Di sebelah kiri sungai teorinya adalah Indonesia, dan di sebelah kanan sungai adalah Papua Nugini. Tapi itu cuma teori, yang sangat terasa absurd di sini. Pada kenyataannya, di kiri dan kanan sungai adalah hutan liar yang sama, dengan pepohonan tinggi menggapai angkasa. Tidak ada tanda apa-apa bahwa ini adalah penanda batas negeri. Tak ada tembok, benteng, bangunan, manusia apa pun.

Potongan sungai yang cantik ini justru sebenarnya sangat berbahaya dikunjungi, terutama oleh orang Indonesia. Di daerah perbatasan sepanjang Sungai Fly inilah tersebar sejumlah kamp pengungsi West Papua, disebut juga sebagai pengungsi OPM (Organisasi Papua Merdeka)—sebuah gerakan separatis yang menuntut kemerdekaan dari Jakarta. Para pengungsi Papua Barat ini menyeberang dari wilayah Indonesia ke Papua Nugini sejak tahun 1984 dan terus bermukim di daerah perbatasan.

Di kiri Indonesia, di kanan Papua Nugini

Di kiri Indonesia, di kanan Papua Nugini

Sebuah "kamp OPM"

Sebuah “kamp OPM”

Ini adalah daerah tanpa hukum. Kamp-kamp itu adalah ranah misterius yang warga Papua Nugini di daerah ini pun bahkan tidak berani menjamahnya. Saya sering mendengar warga Kuem, Manda, dan desa-desa Papua Nugini lainnya menceritakan betapa seramnya kamp-kamp pengungsi Papua Barat itu. Konon orang-orang di sana menanam mariyuana. Konon mereka punya senjata dan ada latihan militer. Konon mereka tidak segan menculik dan membunuh. Warga Papua Nugini mengeluhkan bahwa tanah adat mereka telah diduduki para pengungsi OPM itu selama 30 tahun, dan tidak ada harapan akan dikembalikan. Semua warga di sisi Papua Nugini tidak mengizinkan saya untuk singgah di kamp pengungsi mana pun di sepanjang Sungai, karena tidak seorang pun bisa menjamin keselamatan saya.

Tetapi Raven tidak setuju. Dia bilang dia punya banyak kawan Papua Barat dan mereka orang baik-baik. Raven malah berjanji akan memperkenalkan saya dengan pemimpin OPM di Kiunga.

Jantung saya berdebar kencang ketika untuk kali pertama melihat satu kamp Papua Barat di sisi kanan sungai. Bentuknya hanya dua atau tiga rumah gubuk berpanggung dari kayu, dengan atap daun-daunan. Siapa yang tinggal di sana? Bagaimana kehidupan mereka? Saya tidak akan pernah tahu. Perahu motor kami terus melaju.

Di kamp kedua yang kami lihat, Raven menghentikan perahu motornya. Ini adalah Dawa, alias Yot, kamp pengungsi Papua Barat terbesar di sepanjang Sungai Fly. Yang mengejutkan, Dawa berada di sisi kiri sungai. Artinya, kamp Papua Merdeka ini sesungguhnya berada di wilayah Indonesia.

Perahu kami merapat di Dawa. Rumah-rumah gubuk berpanggung yang sama. Orang-orang di sini kelihatan seperti orang Papua Nugini lainnya. Semuanya bertelanjang kaki, dengan kaos yang lusuh dan robek-robek. Sebagian besar kaos yang mereka pakai adalah dari Indonesia, dengan berbagai logo beragam partai politik yang biasa dibagikan gratis di seberang perbatasan sana pada masa-masa pemilihan umum. Saya juga mendengar mereka seperti berbicara dalam bahasa Melayu Indonesia, tapi tak saya mengerti sepenuhnya.

Kawan,” kata Raven memanggil dalam bahasa Indonesia, “Cepat berangkat sudah!”

Dari kamp itu berlari gesit seorang perempuan dengan keranjang noken bertumpu di kepalanya. Perempuan itu sangat pendek, hampir sama tingginya dengan anak perempuan 10 tahun yang dia bawa. Dia duduk di atas jeriken minyak di perahu kami, turut menumpang sampai ke Kiunga.

Dawa, kamp OPM terbesar di aliran Sungai Fly

Dawa, kamp OPM terbesar di aliran Sungai Fly

Ini pertama kali saya berhadapan dengan pengungsi West Papua. Tapi apakah benar dia pengungsi OPM, kalau daerah yang dia tinggali sebenarnya adalah wilayah Indonesia? Sungguhkah dia, seorang perempuan yang begitu kecil dan ceria ini, bagian dari kekuatan yang hendak melawan kekuasaan Jakarta? Istilah “pengungsi OPM”, atau “pengungsi Papua Barat”, atau “pengungsi” saja, adalah istilah-istilah yang digunakan di Papua Nugini. Indonesia tidak menyebut mereka sebagai pengungsi, hanya sebagai “pelintas batas”. Tentu saja, misi mereka jelas jauh lebih daripada sekadar melintas batas.

Keranjang noken yang dibawa perempuan bernama Dome itu berisi buah pinang yang hijau segar. Dia mau jual buah pinang itu ke pasar di Kiunga, seharga 80 toea hingga 1 kina per buah. Dari panci logam dia keluarkan makan siang untuk dirinya dan anaknya. Berupa nasi putih, mi instan goreng, dan ikan goreng. Cara mereka makan itu sangat Indonesia.

Dome bilang, di belakang Dawa sudah ada jalan menuju Indonesia. Mereka juga sering ke Indonesia untuk belanja. Orang Jawa bahkan sudah sampai di hutan di belakang Dawa untuk ambil kayu. Dia mau ke Kiunga, berjualan di sana dan tinggal beberapa hari di rumah saudara.

Saya sangat kesulitan berbicara dengan Dome karena bahasa Melayunya pun tidak saya mengerti jelas, dan kosakatanya sangat terbatas. Dia tidak bisa bahasa Inggris, hanya bahasa daerah mereka yang ternyata berbeda dengan bahasa daerah Raven. Mereka saling bercakap dalam bahasa Melayu, itu pun sering salah paham. Dome juga bisa sedikit-sedikit bahasa Tok Pisin (Inggris Rusak).

Kami meneruskan perjalanan. Matahari semakin terik di angkasa. Ibu Dome dan anaknya tertidur sambil duduk. Tiba-tiba perahu kami berhenti di tengah sungai. Raven menstarter mesin berkali-kali, mesin tidak mau bergerak juga. Kabar buruk. Kami kehabisan bensin. Kabar buruk lain: kami hanya punya satu dayung.

Ibu Dome mengeluh kenapa Raven tidak bilang dari tadi kalau tak punya bensin, seharusnya dia bisa bawa bensin dari kampung. Sekarang bagaimana lagi? Kami di tengah sungai liar. Kiunga masih 40 kilometer lagi.

Raven cuma bisa mendayung perahu ini dengan satu dayung yang dia bawa. Tentu saja perahu nyaris tak bergerak, hanya maju beberapa sentimeter saja. Kiunga berada di hulu, perjalanan kami melawan arus sungai. Setengah jam kami habiskan hanya untuk mencapai tepian. Raven turun dari perahu, membawa parang. Dia kembali membawa tiga batang pohon, supaya kami para penumpang juga ikut mendayung.

Dome, anaknya, dan Raven

Dome, anaknya, dan Raven

Saya mengira menuju utara, mendekati Pegunungan Bintang, udara akan semakin sejuk. Ternyata salah. Daerah ini sampai Kiunga sana justru daerah terpanas di sepanjang Sungai Fly. Matahari seperti memanggang. Saya nyaris pingsan kepanasan dan kehausan.

Kami sempat senang melihat ada perahu motor yang diparkir di tepian. Tampaknya ada pemburu di sana. Raven berteriak dalam bahasa Melayu, minta mereka menjual kepadanya minyak satu liter saja. Mereka menolak, beralasan mereka perlu minyak itu untuk balik ke desa. Raven mendengus.

Dua jam setelah perjalanan kami terhenti dan kami hanya berhasil berjalan satu belokan Sungai Fly (di sini sungai berkelok-kelok dan jarak dihitung dengan jumlah belokan). Dari arah berlawanan datang satu kano panjang dengan dua lelaki. Raven sekali lagi berteriak dalam bahasa Melayu, “Kawan! Kawan!” Bahasa Melayu tampaknya memang sudah menjadi bahasa utama di sini, karena keberadaan para pengungsi itu. Para lelaki itu setuju untuk memberi satu liter bensin, ditukar dengan sagu dan beberapa pinang dari Dome, plus sejumlah uang dari Raven.

Akhirnya kami sampai di desa terdekat. Desa ini bernama Niukamban, alias Katawin. Juga merupakan kamp pengungsi Papua Barat. Raven turun, hendak membeli minyak dari warga desa. Dia berpesan agar jangan seorang pun tahu kalau saya dari Indonesia.

Saya berganti identitas sebagai turis China. Saya hanya berbahasa Inggris. Raven masuk ke rumah pemimpin desa, minta bantuan untuk mencarikan minyak. Rumah pemimpin desa itu juga berupa gubuk. Saya melihat ruang depannya hanya berupa anyaman batang pohon dengan poster Bunda Maria. Ada pula poster bergambar Maria bersama bayi Yesus yang sama-sama berkulit hitam. Mereka adalah penganut Katolik, dan gereja Katolik terkenal mengizinkan keragaman budaya seperti ini dalam ritual mereka.

Para penghuni Niukamban

Para penghuni Niukamban

Mereka adalah pengungsi dari sisi Indonesia.

Mereka adalah pengungsi dari sisi Indonesia.

Saya menunggu di luar rumah itu, mengamati desa. Desa ini memang tampak sangat miskin, hampir semua orang bertelanjang kaki dan mayoritas anak-anak tidak berpakaian. Pakaian yang dikenakan orang dewasa pun sudah robek-robek. Banyak mereka yang memakai baju itu sisi luar di dalam atau sisi belakang di depan. Itu karena mereka tidak punya banyak pakaian. Dan lagi-lagi, kebanyakan baju itu bergambar logo partai-partai politik Indonesia.

Seorang pemuda bernama Johny, mengaku berumur 15 tahun, tetapi kerut-kerut di wajahnya seperti sudah empat puluh tahun saja. Dia berbicara bahasa Indonesia dengan saya, karena cuma ini bahasa yang dia bisa. Johny mengaku sering menyeberang ke desa Tunas di sisi Indonesia sana. “Keluarga ada di tanah sebelah, tapi saya tinggal di sini, karena di sini sudah tumpah darah,” katanya. Dia juga punya KTP Indonesia, yang membuat dia mudah keluar masuk ke sana.

Niukamban, katanya, memang berbahaya untuk dimasuki orang Indonesia. Pernah datang temannya, seorang Jawa bernama Iwan, ke kamp ini. Orang-orang sini mau pukul dia, bilang dia pasti mata-mata tentara Indonesia. Johny melindungi lelaki Jawa itu dan menghalangi orang-orang kaumnya. “Kita semua sama, satu tumpah darah. Dia bukan intel!” serunya kala itu pada mereka.

Johny dari Niukamban

Johny dari Niukamban

Kami akhirnya bisa melanjutkan perjalanan lagi. Perjalanan ke Kiunga hanya sekitar 100 kilometer, seharusnya cuma dua belas jam. Tetapi gara-gara tadi kehabisan bensin, kami baru tiba ketika matahari senja sudah kemerahan membilas Kiunga.

Kiunga seperti dunia lain. Metropolitan di tengah hutan. Dari kejauhan sudah terlihat pelabuhan modern, kapal-kapal besar, menara-menara besi, gedung-gedung dari logam.

Raven mengantarkan ibu Dome dulu. Di Kiunga, sejumlah besar pengungsi West Papua tinggal di kamp-kamp tepi sungai. Di sini juga rumah-rumah panggung, tetapi lebih besar dan ada yang bertingkat dua. Bagian bawah dari rumah panggung mereka terendam air, rumah mereka seperti terapung di sungai. Mereka bepergian dari satu rumah ke rumah lain dengan perahu. Tentu hidup mereka tak mudah di sini.

Kami menurunkan Dome dan anaknya di satu rumah besar. Dia melambaikan tangan dengan senyum lebar melepas kepergian kami. Sedangkan para lelaki di rumah itu berkasak-kusuk sambil menuding-nuding ke arah saya. Saya dengar mereka bertanya pada Dome, “Siapa dia?”

Raven mengantar saya ke gereja, tempat saya menginap malam ini di Kiunga. “Besok kamu siap-siap. Saya bawa kamu ketemu pemimpin OPM,” pesannya.

Kiunga, kesan pertama

Kiunga, kesan pertama

Kamp pengungsi di Kiunga.

Kamp pengungsi di Kiunga.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Kiunga, 29 September 2014: Pengungsi Papua Merdeka

  1. Waduh kayak sinetron mas, nggantung! penasaran sama pemimpin OPM, bagaiaman reaksi mereka terhadap kemajuan Papua, merauke khususnya yg berbatasan lansung dg PNG. Lanjutke mas seru..hehehehe

  2. akhirnya terbit juga kelanjutannya. ditunggu kisah selanjutnya.

  3. Trimakasih mas agus👍

  4. Kembalilah ke nkri saudaraku,ibu pertiwi menantimu

  5. wasono pamungkas // April 6, 2016 at 12:15 pm // Reply

    wow mantabz mas agus, ditunggu kelanjutnya,,
    suka saya dengan cara bertuturnya,,
    dan memberikan informasi, bahwa papua tidak hanya jayapura dan merauke,,

  6. Membaca tulisan ini jadi merasa lebih banyak bersyukur dengan segala kemudahan yang ada di tempat saya sekarang.

    Anyway, gaya bercerita yang selalu menarik, mas Agus. Ditunggu kelanjutannya.

Leave a Reply to Hilmi Cancel reply

Your email address will not be published.


*