Recommended

Terorisme Tidak Punya Agama—Benarkah?

160329-terrorism-has-no-religion-1Awal tahun lalu Paris dikejutkan dengan penembakan keji di kantor koran satir Charlie Hebdo, yang sering menerbitkan karikatur yang mengolok-olok Islam (di samping Kristen, Yahudi, dan berbagai kelompok lain di dunia). Pada November tahun yang sama, Jumat tanggal 13, Paris kembali diguncang ledakan bom simultan dan penembakan di sejumlah kafe, restoran, sebuah teater, menewaskan setidaknya 130 orang. Pelakunya adalah para radikal Muslim yang berkaitan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kemudian giliran Belgia, minggu lalu mengalami aksi teror paling mengerikan dalam sejarahnya: dua bom meledak di bandara Brussel dan satu bom di stasiun metro, menewaskan setidaknya 38 orang. ISIS juga mengaku bertanggung jawab untuk serangan ini. Berbeda dengan masa dahulu, aksi teror tidak dilakukan oleh orang asing. Para teroris dalam serangan di Paris dan Belgia adalah warga Eropa sendiri, generasi keturunan migran Muslim yang lahir dan besar di Eropa.

Itu salah kalian sendiri. Begitu komentar Donald Trump, calon presiden Amerika dari Partai Republik terhadap insiden teror di Brussel. Trump sebelumnya sempat meneriakkan ide “gila” bahwa dia akan melarang semua pengunjung Muslim dari negara-negara Muslim (termasuk Indonesia) masuk ke Amerika Serikat, demi melindungi keamanan AS dan rakyat AS. Mayoritas warga Amerika tidak setuju dengan ide Trump ini, tetapi tidak sedikit pula yang mendukung. Aksi teror yang dilakukan atas nama Islam juga membuat antipati terhadap Muslim semakin menguat di banyak negara Eropa.

Di tengah tudingan bahwa Islam berhubungan dekat dengan teror, umat Muslim di dunia bereaksi dengan berusaha memisahkan antara kaum fundamentalis radikal dari mayoritas Muslim. Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mengecam teror di Paris dengan mengatakan, “Terorisme tidak punya agama, etnis, kebangsaan atau wilayah, dan itu merupakan penghinaan terhadap kemanusiaan untuk menghubungkan terorisme dengan agama apa pun.” Berselang dua minggu, dalam pidato di Paris, Presiden Indonesia Joko Widodo seperti meng-copy paste ucapan itu dengan mengatakan, “Tindakan teror tersebut tidak ada kaitannya dengan agama, bangsa, dan ras apa pun.” Pasca teror Prancis, jagat media sosial juga dipenuhi tandapagar #TerrorismHasNoReligion atau #MuslimsAreNotTerrorist. Banyak umat Muslim yang kemudian menulis tentang betapa Islam adalah agama damai. Islam adalah rahmat dunia. Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan teror. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Tapi benarkah terorisme tidak punya agama?

Serangan teror 11 September 2001 yang menghancurkan World Trade Center di New York didalangi oleh Muslim Al Qaeda. Bom yang meledak di tengah lomba lari di Boston 2013, juga dilakukan oleh dua bersaudara Muslim etnis Chechnya dari Kirgizstan. Lalu bagaimana dengan penyanderaan di Moscow 2002, bom di pasar New Delhi 2005, bom di metro London 2005, bom di Madrid 2007, penembakan di Mumbai 2008? Di Indonesia kita, Bom Bali 2002, dilakukan oleh Amrozi cs. dari Jamaah Islamiyah, Muslim. Al Qaeda juga berada di belakang bom di Jakarta tahun 2003 dan 2004, bom Bali II 2005,  Bom Mariott Jakarta 2009. Serangan teror terbaru, bom dan penembakan di Sarinah, Jakarta, 14 Januari 2016, dilakukan oleh para pendukung ISIS.

160329-terrorism-has-no-religion-4

Sebenarnya yang menjadi korban terorisme bukan cuma Barat, tetapi juga negara-negara Muslim sendiri. Indonesia, Turki, Yaman, Mesir, Libya, Suriah, Irak, Iran, Afghanistan, dan masih banyak lagi. Target teror pun bukan hanya kepentingan Barat, tetapi juga sesama Muslim. Ketika saya menulis ini, air mata saya masih belum kering dari bom yang mengguncang Lahore, Pakistan, yang dilakukan oleh Taliban, yang menarget umat Kristen Pakistan yang merayakan Paskah. Mayoritas dari 70 lebih korban adalah perempuan dan anak-anak, dan adalah umat Muslim yang sedang menikmati liburan di taman.

Memang bukan semua Muslim adalah teroris. Tetapi, harus diakui, kebanyakan dari aksi teror di dunia dilakukan dengan mengatasnamakan Islam. Para pelakunya berpegang teguh pada ajaran agama, dan percaya bahwa yang mereka lakukan itu adalah untuk membela iman, agama, Nabi, Tuhan.

Saya yakin sampai di sini, banyak dari Anda yang akan mendebat saya dengan mempertanyakan definisi terorisme: Lalu apakah yang dilakukan Israel terhadap Palestina bukan terorisme? Amerika terhadap Irak dan Afghanistan bukan terorisme? Myanmar terhadap Rohingya bukan terorisme?

Saya akan menyinggung ini nanti. Kita kembali dulu pada para pelaku teror yang kini marak di Barat. Mereka ini warga negara-negara Barat sendiri, para migran Muslim yang lahir, tumbuh, mengenyam pendidikan, mengadopsi bahasa dan budaya Barat. Generasi orangtua mereka yang bermigrasi memiliki ikatan yang kuat dengan negeri asalnya, sedangkan mereka sendiri sudah memiliki budaya dan pemikiran yang berbeda dengan orangtua. Tetapi mereka juga tidak bisa sepenuhnya terintegrasi ke masyarakat Eropa di sekeliling mereka. Mereka mengalami ketidakadilan, rasisme, dan diskriminasi; dan mereka pun memendam kebencian dan kemarahan terhadap negeri yang mereka tinggali. Ini adalah sebuah lingkaran setan: semakin besar kecurigaan dan diskriminasi terhadap mereka, maka semakin besar kebencian dan kemarahan mereka terhadap negeri yang mereka tinggali, semakin mereka terkucil, dan semakin besar lagi kecurigaan dan diskriminasi terhadap mereka.

Kemarahan dalam diri mereka itulah yang membuat mereka mencari kebanggaan yang hilang. Dan mereka menemukan itu dalam identitas sendiri yang bahkan nyaris mereka lupakan: Islam. Tetapi kemarahan yang mendasari pencarian identitas mereka, membuat mereka menyerap pemikiran yang lebih keras. Menurut data Pew Research 2007, 42% Muslim muda di Perancis percaya bahwa bom bunuh diri bisa dibenarkan. Angka ini adalah 35% di Inggris, 29% di Spanyol, dan 26% di Amerika Serikat.

160329-terrorism-has-no-religion-2

Sebagian besar pejuang asing yang bergabung dalam ISIS berasal dari Timur Tengah dan Eropa.

Jumlah pejuang ISIS dari Eropa—di mana Muslim adalah minoritas—jauh lebih banyak daripada pejuang ISIS yang berangkat dari Indonesia. The Atlantic menyatakan, jumlah pejuang asing ISIS asal Eropa, Amerika, Australia, dan bekas Uni Soviet menempati porsi yang sangat besar. Angka resmi untuk pejuang ISIS dari Prancis 1.700 dan dari Rusia 2.400. Sekitar 18 dari 1 juta warga Muslim Prancis bergabung dalam ISIS dan berjuang di Suriah. Bandingkan dengan Indonesia, yang hanya sekitar 1 dari 1 juta warga Muslim.

Perubahan ini bisa terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Misalnya Dzokhar Tsarnaev, pelaku bom maraton Boston, semula sangat sekuler: mengisap mariyuana, suka hip hop dan disko, dan tidak pernah bicara politik. Zubeidat, ibunya semula juga berpenampilan liar, berambut pendek, berlipstik tebal, berpakaian ketat dan pendek, namun tiba-tiba di tahun 2008 mendadak bertransformasi dengan memakai burka dan mengatakan bahwa peristiwa 11 September adalah rekayasa pemerintah. (Newsweek) Ibu ini kemudian mengarahkan anak-anaknya ke pemahaman Islam yang sangat radikal. Hanya setahun sebelum bom Boston, akun Twitter Tsarnaev mulai dipenuhi kutipan ayat Al Quran yang sering dikutip oleh para radikal, sengaja ditafsirkan lepas dari konteks untuk mengobarkan kebencian.

Agama kini telah berfungsi lebih sebagai identitas daripada hubungan spiritual yang tulus antara manusia dengan tuhannya. Ini bukan hanya terjadi di kalangan teroris atau fundamentalis radikal, melainkan di kalangan masyarakat awam Muslim di seluruh dunia. Ketika agama telah menjadi identitas, orang lebih sibuk untuk menentukan siapa yang segolongan dan siapa yang tidak, siapa yang kawan dan siapa yang lawan, siapa yang beriman dan siapa yang kafir, siapa yang benar dan siapa yang salah. Orang lebih sibuk menghakimi orang, dan semakin tidak toleran terhadap hal-hal yang berbeda dengan kepercayaan dirinya. Orang juga tidak lagi berpikir apa yang salah sehingga ajaran agama dari Tuhan Yang Maha Pengasih justru banyak digunakan untuk melakukan aksi-aksi keji.

Anarkisme (AGUSTINUS WIBOWO)

Kerusuhan di Lahore, Pakistan, saat umat Muslim memprotes kartun Denmark yang menggambarkan Nabi Muhammad, 14 Februari 2006. Kerusuhan ini menghancurkan banyak properti warga dan menewaskan sejumlah penduduk.

Pertikaian sebenarnya bukan hanya terjadi antara Muslim dengan non-Muslim, tetapi juga antara sesama Muslim. Ketika Iran dan Irak berperang, dua-duanya menggunakan nama Tuhan untuk menggerakkan rakyatnya, dan menyebut perang mereka sebagai Perang Suci. Hingga sepuluh tahun lalu, mayoritas umat Muslim Indonesia tidak tahu apakah dirinya Sunni atau Syiah, mereka hanya tahu diri mereka Muslim, dan sekarang mereka tahu tentang Syiah, membenci Syiah setengah mati seperti musuh bebuyutan, walaupun mereka sangat mungkin belum pernah bertemu dengan (apalagi memahami) orang Syiah seumur hidup mereka. Di banyak negara Muslim sendiri, Islam juga sering dimanfaatkan untuk senjata politik. Perang antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (yang kemudian menjadi Bangladesh), yang menewaskan antara 300.000 hingga 3.000.000 korban, adalah perebutan kekuasaan yang dibalut kedok agama.  Di Afghanistan, Presiden Karzai menandatangani rancangan UU yang sangat menindas hak perempuan, hanya demi mendapat dukungan dari pemuka agama dalam Pemilihan Umum. Di Indonesia, calon pemimpin yang berkompeten bisa dijegal dengan isu-isu agama, sementara sejumlah pejabat juga berusaha keras tampil religius menggunakan simbol-simbol agama demi menutupi korupsi atau ketidakbecusannya.

Pembinaan agama yang terlalu fokus pada identitas mereduksi pola pikir menjadi “kita vs mereka”. Seolah dunia kita hanya tentang Muslim vs non-Muslim, Muslim vs Barat, Muslim vs Konspirasi Yahudi, Muslim vs kafir, Muslim vs asing. Ketika tandapagar #PrayForParis mendunia menyusul teror di Paris, sejumlah saudara Muslim kita justru memandang dengan sinis: kenapa bukan berdoa untuk Palestina, atau Irak, atau Suriah, atau Libya, atau Rohingya, atau…. Tetapi, saya tidak yakin orang-orang yang sama ini juga akan peduli ketika saudara-saudara Muslim Yaman terbunuh dalam serangan tentara Muslim Arab Saudi. Atau ketika Muslim Taliban menyiram air raksa ke muka anak perempuan yang pergi ke sekolah di Pakistan dan Afghanistan. Atau ketika Muslim Sunni Irak mengebom umat Muslim Syiah yang sedang melaksanakan ibadah. Atau ketika Muslim Sunni dari Lashkar-e-Janghvi mengebom ratusan umat Muslim Sunni Barelvi yang sedang beribadah di masjid di Pakistan.

Itulah identitas. Orang tidak lagi melihat dunia dengan objektif. Pembantaian warga sipil adalah kekejian manusia terhadap manusia. Terorisme. Titik. Tidak peduli apa agama/ras/bangsa/negara pelaku maupun korban, pembantaian tetap pembantaian yang menginjak-injak kemanusiaan kita.

Tetapi bagi orang yang terpaku pada identitas, semua ini hanyalah perang identitas. Jakarta Post pernah memuat karikatur yang menyindir ISIS, dengan gambar seorang pejuang mengibarkan bendera ISIS yang dimodifikasi menjadi gambar tengkorak. Pada bendera itu tertulis kredo umat Muslim, bahwa tiada tuhan selain Allah. Pesan dari karikatur ini adalah penyalahgunaan simbol agama oleh kelompok teror itu. Tetapi tampaknya pesan itu tidak sampai. Editor Jakarta Post justru dibawa ke kepolisian dengan tudingan penghinaan agama. Para penuntut itu gagal mengkritisi kebiadaban yang dilakukan ISIS sebagai penghinaan yang paling hina terhadap agama Islam sendiri.

160329-terrorism-has-no-religion-3

Memang Barat juga harus bertanggung jawab. Penggunaan Islam sebagai identitas justru didorong oleh Amerika pada masa Perang Dingin, dengan mempersenjatai dan mendidik kaum Mujahiddin Afghanistan untuk melawan serbuan komunis Uni Soviet. Tetapi itu mendorong radikalisme di Afghanistan dan Pakistan, hingga akhirnya Taliban meneror rakyat Afghan sendiri dengan penerapan paham mereka yang sangat radikal. Perang Melawan Teror yang dilakukan Amerika pasca 11 September dengan menginvasi Afghanistan justru menyebabkan teror yang lebih besar. Sejumlah aksi teror bermunculan di seluruh penjuru dunia membalas Perang Melawan Teror yang dilakukan Amerika. Ini adalah efek domino yang tidak bisa dihentikan lagi. Bom Bali di Indonesia adalah satu contohnya. Juga gereja-gereja yang dibom di Pakistan dengan alasan membalas AS. Pasca 11 September, Islam berjalan pada dua ekstrem sekaligus: semakin ditakuti di Barat (dan negara non-Muslim lain), dan semakin menguat di kalangan Muslim di seluruh penjuru dunia. Islamisasi yang terpaku pada identitas cenderung mengarah pada fanatisme, intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme. Sikap Barat yang diskriminatif dan paranoid terhadap umat Muslim memperparah antipati dari umat Muslim terhadap Barat; dan sebaliknya, antipati umat Muslim itu membuat Barat semakin mencurigai Muslim.

Tapi semata-mata menyalahkan Barat untuk semua masalah Muslim adalah bagaikan menyalahkan tetangga untuk semua kegagalan kita. Bahkan jauh sebelum Perang Salib, 1300 tahun lalu telah terjadi perebutan kekuasaan untuk menentukan siapa penerus Nabi Muhammad, yang hingga hari ini menjadi konflik abadi antara sesama Muslim, antara Sunni dan Syiah, dan entah hingga kapan akan terus memakan korban. Ketika identitas dinomorsatukan, kritik terhadap diri sendiri semakin ditinggalkan. Umat lebih sibuk menyangkal daripada merenungkan, lebih sibuk menyalahkan daripada menanyakan apa yang salah.

Saya teringat perkataan Marthin Luther King, Jr:

Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan; hanya terang yang bisa melakukannya.

Kebencian tidak bisa mengusir kebencian, hanya cinta yang bisa melakukannya.

Membalas kebencian dengan kebencian melipatgandakan kebencian, membalas kekerasan dengan kekerasan melipatgandakan kekerasan, dalam sebuah spiral menuju kehancuran…

Agama mengajarkan cinta Tuhan yang universal. Tidak pernah ada perang dan pertumpahan darah demi membela Tuhan adalah hanya demi Tuhan itu sendiri. Tujuan para teroris dengan kedok agama adalah untuk menaruh tanda sama dengan Islam dengan terorisme. Dan ketika kita—apakah itu Muslim, non-Muslim, Barat, Timur, liberal, ateis, atau apa pun—terjebak dalam pola pikir ini, maka kita telah membantu para teroris itu mencapai tujuannya.  Itulah ketika ajaran-ajaran cinta justru menjadi benih kebencian.

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

25 Comments on Terorisme Tidak Punya Agama—Benarkah?

  1. Buat kalian yang bertengkar saya usulkan baca dua buku ini:

    1. History of the Arabs karya Philip K. Hitti
    2. Sejarah dunia untuk pembaca muda karya Ernst H. Gombrich

    Kedua buku itu memaparkan kepada kita bahwa sejarah dunia adalah pertikaian, perang, penaklukan dan kekerasan. Sejak dulu sampai sekarang. Saya saja sampe ngeri bacanya. And war never end karena kita juga penyuka film dan game perang bukan? Manusia menyukai perang sejak dalam pikiran.

    Salam,

  2. SUPERB!!! Dan sangat3x kena mengenai apa yang menjadi masalah di kalangan umat Muslim Dalam respon mereka akan teroris Muslim radikal. Kenyataan kalau kebanyakan umat muslim selalu menyangkal atau hanya beranggapan kalau teroris seperti Isis Dan al qaeda bukanlah Islam tidak akan menyelesaikan masalah. Alih2 selalu menyalahkan pihak luar atas permasalahan yang mereka alami, lebih baik umat Muslim harus intropeksi terlebih dahulu Dan memperbaiki apa yang sebenarnya Salah dari mereka.

    NB Baru ngikutin mas agus beberapa Hari ni melalui referensi teman Dan sangat menikmati tulisan Dan pengalam yang mas agus share disini. Sebagai anak muda yang Baru masuk remaja Dan selalu bermimpi untuk melihat bagaiman Dunia sebenarnya, tulisan mas agus sangat Banyak mengajarkan Saya Dan memberi Saya motivasi lebih lanjut untuk dapat mencapai impian Saya ini kelak.
    Thanks and Salam

  3. Paklek Nasrurhanif // May 11, 2016 at 10:07 pm // Reply

    Mas Giffari kalau anda bukan muslim saya paham akan pendapat mas, tetapi kalau anda Muslim perbanyak referensi tentang Islam dari masa lalu dan kontemporer. Semua agama atau secara keluruhan dari umat manapun, dimanapun akan mengalami hal yang sama dengan umat Muslim kenapa Muslim menjadi suatu cerita yang seksi dan mudah dibahas karena kebanyakan posisi “cerita saat ini selalu berhubungan dengan Muslim” baik tempatnya (misal timur tengah) atau yang bersinggungan (di Eropa/Amerika/tempat lainnya). Ketika anda memahami cerita Mas Agus tentang Islam dan Muslim anda harus memahami juga latarbelakang Mas Agustinus. Yang terbaik adalah anda selalu perbanyak referensi tentang Islam dan Muslim dari kalangan terpecaya dari kalangan mereka, bukan sekedar heboh dari kalangan muslim yang ngga jelas atau laininya. Sebagai contoh pertikaian Suni – Syiah itu mirip dengan katolik – kristen (coba anda lihat di Irlandia dan beberapa kondisi di USA). Sebagai Muslim saya sudah mengetahui hal tersebut dari jaman dulu (mungkin jauh sebelum anda dan Mas Agus mengerti ttg Islam). Yang terbaik adalah anda harus mencari referensi yang benar dan bukan dari kalangan ahli orientalis kalangan Barat walaupun kadang ada yang netral (contoh Michael H. Hart/ahli dari kalangan Yahudi ini coba mengupas tentang tokoh Islam dan muslim dan dari tokoh non Muslim). Mengerti Islam bukan saja melihat ajarannya tetapi kandungan hikmah yang anda dan Mas Agus rasakan inipun tergantung Allah yang diatas memberikan hidayah, walaupun ada yang Ahli tentang Islam dan mengerti Alquran tetapi jika belum merasakan kandungan hikmah ya jadinya akan mencari “sesuatu yang menguntungkan” demi pembenaran nafsunya. Semoga Anda dan Mas Agus mendapatkan kandungan Hikmah dari hidayah Allah SWT.

    • ya memang anda paling tahu kok soal Islam, yang lain tidak tahu

    • Bapak sudah baca artikelnya secara keseluruhan enggak? Mas agus nggak ada kok yg menjelekkan islam, justru mas agus menyayangkan oranng2 yg memakai agama islam sebagai kedok dan orang2 kita yg nggak mau mengakui bahwa kenyataan itu memang adanya begitu.

  4. Ahmad Ghifari // May 15, 2016 at 2:35 pm // Reply

    Hmm jadi begini toh opini dari seorang penganut Secular Humanism…

  5. Dimas Wibowo // May 20, 2016 at 7:13 am // Reply

    Good point Mas Agus. Saya tertarik dengan pemikiran kisah perjalanan Mas Agus ketika mas menjadi dosen tamu di FISIP UI.

    Saya setuju bahwa selain fundamentalisme pasar, fundamentalisme identitas mnjadi corak utama dalam masyarakat post-modern. Identitas etnis, ras maupun agama dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Politik identitas menegaskan siapa “kita” dan “mereka”.

    Soal fundamentalisme agama, Meminjam istilah Benedict Anderson dapat dilihat messianistic nationalism, bahwa suatu masyarakat membayangkan bahwa surga adalah milik suatu kelompok/golongan. Muslim percaya bahwa surga adalah tempat untuk orang islam, begitu juga umat kristiani, hindu dan buddha beranggapan demikian. sedangkan kelompok yang diluar identitas mereka, kafir, bukanlah bagian mereka.

    Sama halnya seperti halnya Milosevic yang membayangkan Serbia untuk etnis serbia-orthodox, Tujman yang membayangkan kroasia untuk etnis kroasia-katolik, dan Izetbegovic yang membayangkan bosnia untuk etnis-muslim. Sama seperti kisah dan pengalaman Mas Agus di negara-negara Stan di Asia Tengah. Politik identitas digunakan untuk menebar kebencian dan mengotak-mengotakan kelompok masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan.

    Menurut saya yang mengkhawatirkan adalah bagaimana kebencian dan penegasan siapa “kita” dan “mereka” tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya dan menjadi benih-benih fundamentalisme seperti halnya generasi kedua imigran yang melakukan sejumlah aksi terror yang mengatasnamakan agama di Eropa. Selain itu, seringkali kita terkungkung oleh identitas yang membatasi rasa persaudaraan dan melahirkan kebencian.

  6. Assalamualaikum mas agus. Semoga ketika mas agus membaca komenan saya mas agus masih dan selalu diberikan kesehatan jiwa, raga, akal, dan pikiran oleh Tuhan YME. Sehingga mas agus akan selalu bisa menebar manfaat dan menjadikan setiap cerita yang anda buat menjadi inspirasi dan wawasan bagi semua yang membacanya.
    Mengenai artikel kali ini, wah sepertinya kontroversi sekali ya mas agus. Dan saya juga sebenarnya sudah lama sekali membaca artikel ini, namun saya tidak berani berkomentar karena keterbatasan ilmu yang ada pada diri saya. Saya takut bahasa saya tidak dapat dimengerti sebagian orang dan menimbulkan konflik. Namun, saya juga geregetan tiap melihat komen yang lain, dan akhirnya berfikir “mengapa untuk berkomentar saja saya takut? Toh selama itu dalam cara yang baik mengapa harus ditakutkan?” oleh karena itu kemudian saya akhirnya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi dalam menanggap artikel ini. Semoga jawaban saya mumpuni ya mas dan siapapun yang membaca atikel ini.
    Pertama, saya ingin tekankan bahwa saya memaklumi artikel ini. Karena artikel ini jauh dibuat sebelum peristiwa Orlando shooting dan pengendara truk brutal di Perancis.
    Saya berpendapat jika ada artikel yang berbicara mengenai “terrorism has no religion” memang ada benarnya. Iya, disini saya agak kurang setuju dengan pendapat mas agus. Karena sejatinya tidak semua teroris adalah orang yang taat terhadap islam. Banyak dari terror yang terjadi dilakukan oleh orang yang tidak mendalami agamanya. Bahkan bisa dibilang jauh dari ajaran islam. Mengutip dari opini mas agus ”Tetapi, harus diakui, kebanyakan dari aksi teror di dunia dilakukan dengan mengatasnamakan Islam. Para pelakunya berpegang teguh pada ajaran agama, dan percaya bahwa yang mereka lakukan itu adalah untuk membela iman, agama, Nabi, Tuhan.”
    Saya yakin dari “kebanyakan” orang yang mengatasnamakan islam tersebut ada sebagian yang memang tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama yang ekstrimis. Hanya agamanya saja yang islam. Tetapi alasan membunuh/membuat terornya tidak ada sangkut pautnya dengan islam.
    Mengacu pada kasus yang saya sebutkan diawal, yaitu peristiwa Orlando Shooting dan Supir truk gila di Nice. Kedua pelaku kasus ini sangat jauh alasannya dari islam. Bahkan dilihat dari latar belakangnya pun mereka bukanlah seseorang yang ”berpegang teguh pada ajaran agama, dan percaya bahwa yang mereka lakukan itu adalah untuk membela iman, agama, Nabi, Tuhan.”
    1. Untuk kasus pertama, sebelumnya saya turut berduka cita bagi orang-orang yang ditinggalkan pada peristiwa tersebut. Tapi iya, kita bisa melihat pelakunya. Memang, seorang muslim. Tapi sebelumnya ia bukanlah muslim yang taat. Bahkan dalam kesahariannya dia sering mengunjungi bar yang ia jadikan sasaran penembakan. Dan sebelum peristiwa itu terjadi ia bahkan mengunjungi bar tersebut selama 3 tahun. Saya yakin alasan sebenarnya adalah alasan psikologis hal ini dibuktikan oleh Cendekiawan muslim Yasir Qadhi menyampaikan pandangannya tentang penembakan di klub Pulse, Orlando, pada Ahad lalu. Menurut dia, teror ini tak ada hubungannya dengan gerakan islam radikal. “Dia bukan seorang muslim radikal. Ia adalah seorang Amerika yang psikopat, dan homoseksual tersembunyi yang tengah memerangi identitas seksualnya sendiri,” kata Qadhi. Di sini, ia sekaligus mengkritik upaya media yang mengesankan serangan ini karena Mateen seorang ‘islam radikal’ dan bagaimana sikap Islam terhadap homoseksualitas. Dalam berita yang sama Menurut mantan istri dan ayahnya, Mateen juga sering berlaku kasar dan bahkan tidak religius. Beberapa teman menambahkan kalau ia juga seorang penyendiri, introvert, dan sering mengancam dan berkata kasar ke orang lain. Silahkan mas agus buka http://www.rappler.com/indonesia/136204-penembakan-massal-klub-malam-orlando saya juga melihat video langsungnya di youtube, namun saat menulis komen ini saya sudah lupa linknya. Sebenarnya disitu juga disebutkan bahwa ia pernah “dimintai keterangan karena diduga memiliki kaitan dengan salah satu anggota kelompok radikal. Sedangkan, di tahun 2014, FBI kembali meminta keterangan karena Mateen diduga memiliki hubungan dengan Moner Mohammad Abu-Salha, warga Amerika Serikat yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Suriah. Tetapi, saat itu FBI melepaskannya, karena Mateen jarang berkomunikasi dengan Salha dan dianggap bukan sebagai ancaman.”
    Tapi hal tersebut langsung diperkuat oleh ayahnya sendiri bahwa si omar ini bukanlah kelompok radikal. Ia hanya risih ketika melihat sesama jenis berciuman di depannya. Ada penjelasan ayahnya di youtube, namun sayangnya saya juga lupa linknya. Mungkin mas agus juga pernah melihatnya. Atau pembaca mungkin bisa menyertkan link video yang saya maksud.
    2. Kasus yang kedua mengenai Mohamed Lahouaiej-Bouhlel. Bisa dibilang ia adalah pelaku utama kejadian penabrakan truk di Nice, Prancis. Dan saya bisa membuat kesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan orang ini lebih mengacu pada masalah pskologi. Saya berasumsi berdasarkan kedua artikel ini
    “Bouhlel memiliki seorang anak berusia tiga tahun dan pernah tampil di pengadilan pada Maret lalu karena tindak kekerasan, tetapi tidak dirincikan jenis kekerasan yang dilakukannya.”(http://internasional.kompas.com/read/2016/07/15/18444951/siapakah.pelaku.teror.di.nice.ini.dia.orangnya.mohamed.lahouaiej.bouhlel).
    Lalu diperkuat dengan ini
    Seorang tetangganya menggambarkan pelaku, yang tewas ditembak aparat dilokasi kejadian, sebagai seorang yang “tidak normal” alias aneh.“Dia memandangi kami dengan aneh, dia bahkan tak mau membuka pintunya. Jika kami berada di belakangnya dia akan membanting pintu dengan keras,” kata Hanan.“Rambutnya mulai beruban, di usia 30-an, sekitar 35 tahun. Menurut saya dia seseorang yang bisa menyenangkan wanita. Kami sama sekali tidak menyangkanya. Wajahnya sama sekali tidak menakutkan, tapi…tatapannya. Tatapannya. Dia sering memandangi anak-anak,” kata wanita itu.
    Saya rasa beliau mempunyai masalah psikologis terhadap anak-anak. Korbannya juga banyak sekali anak-anak.
    Yah, lebih lanjut saya juga tidak mengetahui tujuan mereka sebenarnya. Tapi ketika media mengaitkan kriminalitas yang dilakukan umat muslim kemudian mengansumsikannya sebagai teroris adalah hal yang membuat saya lama-lama merasa sangat “annoying”. Mengapa ya jika islam pelakunya dibilang teroris. Padahal banyak sekali kasus yang dilakukan tidak berlandaskan pada agama. Bahkan tidak berkaitan sama sekali dengan agama.
    Terakhir kesimpulan saya. Jadi saya tidak menyalahkan opini mas agus bahwa “terorisme memiliki agama yang ia perjuangkan secara ekstrimis”. Tapi saya juga tidak menyalahkan jika ada yang berkata “terrorism has no religion”. Karena memang banyak teroris adalah seorang ekstrimis, tapi tidak sedikit pula dari mereka yang disebut ekstrimis itu sebenarnya bukan melakukan pembunuhan didasarkan agama, tetapi lebih ke dalam aspek yang lain seperti gangguan psikologis.
    Mungkin itu saja opini yang bisa saya ungkap. Tolong “correct me if I am wrong” saya menerima kok pendapat yang lain dan saya mohon maaf sebelumnya jika komentar saya kurang berkenan bagi yang membaca. Semoga kita semua selalu diberi kedamaian hati. Terimakasih dan waasalamualaikum wr.wb.

  7. Ahh cuma pandangan sinis penuh kebencian… Mungkin akibat trauma . Tahu tentang islamnya dari pandangan non muslim, yaa isinya sama prasangka buruk semua.
    Coba baca bukunya kwik kian gie.. Mungkin bisa memberi pencerahan ttg negara2 barat.

  8. wahh saya bingung sebenarnya mau comment apa saya sih menghormati mas agus ya setiap orang punya sudut pandang sendiri dalam melihat suatu hal, silahkan koreksi jika tidak setuju karena saya cuman anak kemarin sore (dalam artian benar-benar anak kemarin sore), saya setuju pada comment yg terlebih dulu, agama mereka memang islam tpi mereka bukan islam yg taat, mereka tidak benar-benar memahami islam, mereka juga bukan seorang islam taat, saya pernah bertemu dengan seseorang yg pernah dekat dengan dunia terror semacam itulah, tpi syukur beliau berhasil diselamatkan oleh ustad dan sekrang telah kembali ke ajaran islam yg benar, yang damai, beliau mengatakan kepada saya bahwa dulu saat bergabung beliau bukan seorang muslim taat, kalau kata sinetron itu cuman islam ktp shalat dia bilang hanya seminggu sekali setiap hari jumat, atau cuman ketika disuruh orang tuanya saja, beliau tidak paham tentang islam sehingga beliau mudah dibodoh-bodohi, beliau bilang mereka mencekoki beliau dengan ayat-ayat alquran yg mereka penggal dan mereka rubah dan artikan sendiri sesuka hatinya. jadi saya setuju bahwa mungkin mereka muslim tapi mereka bukan muslim yg taat, seorang muslim yg taat tidak akan merubah arti ayat suci alquran seenaknya mereka sendiri. lagi pula nabi muhamad sendiri tidak pernah memaksa orang lain untuk memeluk islam, bahkan pamannya sendiri yg merawatnya, hingga akhir hayat tidak pernah memeluk muslim tpi nabi muhamad tetap menghormatinya, agama kita islam justru mengajarkan “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”, jadi mas agus bilang mereka memang muslim ya itu benar tapi mereka bukan muslim yg baik, karena islam tidak pernah mengajarkan kebencian, mereka mengatas namakan agama untuk kepentingan diri mereka sendiri. saya seorang muslim, saya sangat menghargai perbedaan teman sebangku saya saat smp adalah seorang keturunan belanda dia adalah seorang christian, sebangku saya saat sma adalah seorang berketerunan china batak seorang christian juga, teman dekat ayah saya adalah seorang keturunan china pemeluk hindu, sekarang saat kuliah lebih luas lagi saya memiliki kenalan dari jepang, korea, dan australia meraka seorang atheis, bahkan ayah saya memiliki teman dimana meraka masih memeluk kepercayaan nenek moyang sunda wiwitan.

  9. Saya yakin sampai di sini, banyak dari Anda yang akan mendebat saya dengan mempertanyakan definisi terorisme: Lalu apakah yang dilakukan Israel terhadap Palestina bukan terorisme? Amerika terhadap Irak dan Afghanistan bukan terorisme? Myanmar terhadap Rohingya bukan terorisme?

    Saya akan menyinggung ini nanti.

    Yang menyinggung kasus ini di bagian mana, Pak Agus? Kok saya gak baca. Atau mungkin terlewat oleh saya.

    • Di sini kak:
      Pembantaian warga sipil adalah kekejian manusia terhadap manusia. Terorisme. Titik. Tidak peduli apa agama/ras/bangsa/negara pelaku maupun korban, pembantaian tetap pembantaian yang menginjak-injak kemanusiaan kita.

  10. Saya jadi gatel pengen komen di webnya mas agus.
    Tulisan mas diatas kritis , dan ada benarnya. Namun, karena data yang mas agus pakai kurang dan memang dari sudut pandang mas yang kurang mengerti tentang agama islam (agama islam , bukan orang-orang islam), maka tulisannya ada yang kurang tepat,

    Para teroris itu mungkin memang banyak yang beragama islam. Namun mereka bukan orang2 yang berpegang teguh dengan agama islam. Mereka hanya ingin mendpat surga instan dengan “seolah berjihad” ,tapi apa iya mereka berjihad? Bahkan banyak dari mereka yang suka mabuk2an, dan juga tidak sholat.
    Mungkin mereka orang islam. Orang yang memiliki syahadat. Tapi tak menjalankan agamanya dengan benar

    Kalau ingin mengenal islam, jangan lihat orang2nya , tapi lihat kitabnya. AlQuran.

    • Membahas Kitab Suci dan membahas realitas kehidupan adalah dua hal berbeda. Kitab Suci adalah tentang norma dan ide, dan sebagaimana ide-ide yang lain, kita akan membahas sesuatu yang abstrak dab “sempurna”. Realitas itu ada dalam kehidupan sehari-hari, dan salah satunya adalah yang dibahas di artikel ini. Apakah karena alasan idenya sudah sempurna, kita sudah tidak diperkenankan membahas realitas dari orang-orang yang mengadopsi ide-ide tersebut? Atau dengan kata lain, apakah karena Islam sudah sempurna, kita tidak boleh membahas fenomena orang-orangnya yang tidak bertingkah secara sempurna sesuai ajaran yang sempurna? Saya rasa pandangan seperti ini akan menutup pintu untuk diskusi dan swakritik.

  11. Mas Agus, saya suka dengan tulisan2 anda tentang suatu negeri, karena bahasanya enak seolah2 kita ikut disana. tetapi kalau saya amati mengenai pandangan tentang Islam dari anda, saya melihat bahwa anda memahami Islam dari para penganutnya, bukan sumber agama itu sendiri (Al Qur’an dan Hadits) dan ini bukan hal yang tepat karena mereka bisa jadi berbuat sesuai dengan kitabnya atau hanya kepentingan lain. kiranya perlu menambah wawasan dengan belajar dari sumbernya sehingga bisa lebih memahami Islam itu sendiri dan hal2 apa yang tidak seseuai

    • Di sini saya memang tidak sedang membahas Islam, tetapi tentang logika dan sesat pikir di balik stigma antara Islam sebagai teroris yang banyak muncul di berbagai penjuru dunia.

  12. teroris bukan islam. itu dua hal yg berbeda. kalo ada orang mengaku2 ya sah sah aja. tp pada dasarnya tingkah lakunya sama sekali tidak mencerminkan islam. seperti perkataan petinggi umat budha di indonesia yg mengatakan biksu yg membunuh rohingya bukanlah dari golongan umat budha. terapi biksu di myanmar tetap mengakui biksu. ya sah sah aja kalo orang ngaku2 tp benar atau tidak bisa dilihat dr ajarannya. kayaknya agustinus kudu mempelajari ajaran islam lagi deh biar paham tentang islam

  13. Berlian Cahyadi // August 4, 2017 at 9:28 am // Reply

    Seperti biasa dan mudah ditebak. Cuma sedikit yang mampu menangkap isi tulisan Agustinus Wibowo dengan pandangan netral dan obyektif.

    Kebanyakan cuma bisanya sinis dan langsung menuduh yang tidak-tidak. 😂

    Ada yang sok merasa paling tahu sendiri dan menganggap pihak lain tidak tahu apa-apa. Ada yang menuduh penulisnya penuh kebencian padahal sendirinya justru yang dihinggapi kebencian. Ada yang membacanya kurang cermat dan langsung melayangkan kritik yang langsung diskak-mat oleh Agus. 😂

    Intinya EGO kalian itu masih tinggi. Jadi sulit untuk menerima kritik yang konstruktif dan terasa pahit seperti ini. Masalah utamanya berakar dari sini.

  14. saya bisa memahami pemikiran mas agus dalam tulisan tersebut menekankan ke kritik terhadap pembinaan agama yang terlalu fokus pada identitas ( kami vs mereka). kritik dari mas agus ditinjau berbagai sudut pandang. dan saya yakin pasti ada penolakan terhadap kritik tersebut. Tetapi mungkin saya juga menyoroti berbagai persoalan ketidakadilan yang terjadi baik itu diskriminasi barat terhadap dunia islam, permasalahan Palestina dan yerusalem salah satunya menjadi sebab mengapa identitas menjadi fokus bagi sebagian kalangan muslim yang lama kelamaan melahirkan radikalisme dan terorisme. Dialog, keterbukaan, mengurangi kebijakan yang tidak adil / diskriminatif, dan inklusivisme adalah salah satu solusi yang tepat menurut saya untuk mengatasi permasalahan terorisme. Kalangan muslim harus memiliki sikap keterbukaan, dan siap dialog, serta menghargai perbedaan. sementara kalangan barat harus mengurangi kebijakan yang tidak adil, diskriminatif, dan siap menerima masyarakat yang inklusif.

  15. Di dalam islam ada konsep nasakh mansukh. Itu adalah pembatalan ayat yg sudah diturunkan sebelumnya. Ayat2 damai yg turun di Mekkah seperti yg ditampilkan di atas sebenarnya sudah diabrogasi dengan ayat2 yg turun di Madinah. Ayat2 pembatal ini sering disebut sebagai verses of sword. Dan inilah yg dijadikan banyak muslim untuk melakukan aksi teror. ini yg kebanyakan orang gak/belum paham, termasuk Ko Agus. Coba baca surah at taubah misalnya. Thanks

  16. Saya rasa memang benar teroris itu tidak punya agama, di setiap agama pasti ada kambing hitam yang namanya teroris.

    Mungkin untuk saat ini banyak yang diliputi media adalah kambing hitam dari Islam, sedangkan kambing hitam agama yang lain kurang terekspos..

    Tapi kalaupun ditarik garis lurusnya ada banyak teroris dari Islam karna sakit hati penjajahan dulu oleh orang barat, dan mereka ada yang mengorganisir dengan bualan dalil agama yang terpotong, dan parahnya adalah yang di doktrin kebanyakan pemeluk Islam yang dangkal..

    Kritikan mas Agus bagus, biar kami warga muslim lebih berpartisipasi dalam mengajarkan agama yang kaffah yang sempurna, dan menderadikalisai orang2 yg sudah terpapar paham yang keliru

  17. Saya pikir banyak teman teman yang salah memahami antara islam sebagai agama dan islam sebagai identitas ( komodity ). Ini dua arahan yang berbeda arti.

  18. Setiap agama ada dan mungkin ada radikal yg berdampak terorisme.

1 2

Leave a Reply to Dimas Wibowo Cancel reply

Your email address will not be published.


*