Recommended

Terorisme Tidak Punya Agama—Benarkah?

160329-terrorism-has-no-religion-1Awal tahun lalu Paris dikejutkan dengan penembakan keji di kantor koran satir Charlie Hebdo, yang sering menerbitkan karikatur yang mengolok-olok Islam (di samping Kristen, Yahudi, dan berbagai kelompok lain di dunia). Pada November tahun yang sama, Jumat tanggal 13, Paris kembali diguncang ledakan bom simultan dan penembakan di sejumlah kafe, restoran, sebuah teater, menewaskan setidaknya 130 orang. Pelakunya adalah para radikal Muslim yang berkaitan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kemudian giliran Belgia, minggu lalu mengalami aksi teror paling mengerikan dalam sejarahnya: dua bom meledak di bandara Brussel dan satu bom di stasiun metro, menewaskan setidaknya 38 orang. ISIS juga mengaku bertanggung jawab untuk serangan ini. Berbeda dengan masa dahulu, aksi teror tidak dilakukan oleh orang asing. Para teroris dalam serangan di Paris dan Belgia adalah warga Eropa sendiri, generasi keturunan migran Muslim yang lahir dan besar di Eropa.

Itu salah kalian sendiri. Begitu komentar Donald Trump, calon presiden Amerika dari Partai Republik terhadap insiden teror di Brussel. Trump sebelumnya sempat meneriakkan ide “gila” bahwa dia akan melarang semua pengunjung Muslim dari negara-negara Muslim (termasuk Indonesia) masuk ke Amerika Serikat, demi melindungi keamanan AS dan rakyat AS. Mayoritas warga Amerika tidak setuju dengan ide Trump ini, tetapi tidak sedikit pula yang mendukung. Aksi teror yang dilakukan atas nama Islam juga membuat antipati terhadap Muslim semakin menguat di banyak negara Eropa.

Di tengah tudingan bahwa Islam berhubungan dekat dengan teror, umat Muslim di dunia bereaksi dengan berusaha memisahkan antara kaum fundamentalis radikal dari mayoritas Muslim. Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mengecam teror di Paris dengan mengatakan, “Terorisme tidak punya agama, etnis, kebangsaan atau wilayah, dan itu merupakan penghinaan terhadap kemanusiaan untuk menghubungkan terorisme dengan agama apa pun.” Berselang dua minggu, dalam pidato di Paris, Presiden Indonesia Joko Widodo seperti meng-copy paste ucapan itu dengan mengatakan, “Tindakan teror tersebut tidak ada kaitannya dengan agama, bangsa, dan ras apa pun.” Pasca teror Prancis, jagat media sosial juga dipenuhi tandapagar #TerrorismHasNoReligion atau #MuslimsAreNotTerrorist. Banyak umat Muslim yang kemudian menulis tentang betapa Islam adalah agama damai. Islam adalah rahmat dunia. Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan teror. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Tapi benarkah terorisme tidak punya agama?

Serangan teror 11 September 2001 yang menghancurkan World Trade Center di New York didalangi oleh Muslim Al Qaeda. Bom yang meledak di tengah lomba lari di Boston 2013, juga dilakukan oleh dua bersaudara Muslim etnis Chechnya dari Kirgizstan. Lalu bagaimana dengan penyanderaan di Moscow 2002, bom di pasar New Delhi 2005, bom di metro London 2005, bom di Madrid 2007, penembakan di Mumbai 2008? Di Indonesia kita, Bom Bali 2002, dilakukan oleh Amrozi cs. dari Jamaah Islamiyah, Muslim. Al Qaeda juga berada di belakang bom di Jakarta tahun 2003 dan 2004, bom Bali II 2005,  Bom Mariott Jakarta 2009. Serangan teror terbaru, bom dan penembakan di Sarinah, Jakarta, 14 Januari 2016, dilakukan oleh para pendukung ISIS.

160329-terrorism-has-no-religion-4

Sebenarnya yang menjadi korban terorisme bukan cuma Barat, tetapi juga negara-negara Muslim sendiri. Indonesia, Turki, Yaman, Mesir, Libya, Suriah, Irak, Iran, Afghanistan, dan masih banyak lagi. Target teror pun bukan hanya kepentingan Barat, tetapi juga sesama Muslim. Ketika saya menulis ini, air mata saya masih belum kering dari bom yang mengguncang Lahore, Pakistan, yang dilakukan oleh Taliban, yang menarget umat Kristen Pakistan yang merayakan Paskah. Mayoritas dari 70 lebih korban adalah perempuan dan anak-anak, dan adalah umat Muslim yang sedang menikmati liburan di taman.

Memang bukan semua Muslim adalah teroris. Tetapi, harus diakui, kebanyakan dari aksi teror di dunia dilakukan dengan mengatasnamakan Islam. Para pelakunya berpegang teguh pada ajaran agama, dan percaya bahwa yang mereka lakukan itu adalah untuk membela iman, agama, Nabi, Tuhan.

Saya yakin sampai di sini, banyak dari Anda yang akan mendebat saya dengan mempertanyakan definisi terorisme: Lalu apakah yang dilakukan Israel terhadap Palestina bukan terorisme? Amerika terhadap Irak dan Afghanistan bukan terorisme? Myanmar terhadap Rohingya bukan terorisme?

Saya akan menyinggung ini nanti. Kita kembali dulu pada para pelaku teror yang kini marak di Barat. Mereka ini warga negara-negara Barat sendiri, para migran Muslim yang lahir, tumbuh, mengenyam pendidikan, mengadopsi bahasa dan budaya Barat. Generasi orangtua mereka yang bermigrasi memiliki ikatan yang kuat dengan negeri asalnya, sedangkan mereka sendiri sudah memiliki budaya dan pemikiran yang berbeda dengan orangtua. Tetapi mereka juga tidak bisa sepenuhnya terintegrasi ke masyarakat Eropa di sekeliling mereka. Mereka mengalami ketidakadilan, rasisme, dan diskriminasi; dan mereka pun memendam kebencian dan kemarahan terhadap negeri yang mereka tinggali. Ini adalah sebuah lingkaran setan: semakin besar kecurigaan dan diskriminasi terhadap mereka, maka semakin besar kebencian dan kemarahan mereka terhadap negeri yang mereka tinggali, semakin mereka terkucil, dan semakin besar lagi kecurigaan dan diskriminasi terhadap mereka.

Kemarahan dalam diri mereka itulah yang membuat mereka mencari kebanggaan yang hilang. Dan mereka menemukan itu dalam identitas sendiri yang bahkan nyaris mereka lupakan: Islam. Tetapi kemarahan yang mendasari pencarian identitas mereka, membuat mereka menyerap pemikiran yang lebih keras. Menurut data Pew Research 2007, 42% Muslim muda di Perancis percaya bahwa bom bunuh diri bisa dibenarkan. Angka ini adalah 35% di Inggris, 29% di Spanyol, dan 26% di Amerika Serikat.

160329-terrorism-has-no-religion-2

Sebagian besar pejuang asing yang bergabung dalam ISIS berasal dari Timur Tengah dan Eropa.

Jumlah pejuang ISIS dari Eropa—di mana Muslim adalah minoritas—jauh lebih banyak daripada pejuang ISIS yang berangkat dari Indonesia. The Atlantic menyatakan, jumlah pejuang asing ISIS asal Eropa, Amerika, Australia, dan bekas Uni Soviet menempati porsi yang sangat besar. Angka resmi untuk pejuang ISIS dari Prancis 1.700 dan dari Rusia 2.400. Sekitar 18 dari 1 juta warga Muslim Prancis bergabung dalam ISIS dan berjuang di Suriah. Bandingkan dengan Indonesia, yang hanya sekitar 1 dari 1 juta warga Muslim.

Perubahan ini bisa terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Misalnya Dzokhar Tsarnaev, pelaku bom maraton Boston, semula sangat sekuler: mengisap mariyuana, suka hip hop dan disko, dan tidak pernah bicara politik. Zubeidat, ibunya semula juga berpenampilan liar, berambut pendek, berlipstik tebal, berpakaian ketat dan pendek, namun tiba-tiba di tahun 2008 mendadak bertransformasi dengan memakai burka dan mengatakan bahwa peristiwa 11 September adalah rekayasa pemerintah. (Newsweek) Ibu ini kemudian mengarahkan anak-anaknya ke pemahaman Islam yang sangat radikal. Hanya setahun sebelum bom Boston, akun Twitter Tsarnaev mulai dipenuhi kutipan ayat Al Quran yang sering dikutip oleh para radikal, sengaja ditafsirkan lepas dari konteks untuk mengobarkan kebencian.

Agama kini telah berfungsi lebih sebagai identitas daripada hubungan spiritual yang tulus antara manusia dengan tuhannya. Ini bukan hanya terjadi di kalangan teroris atau fundamentalis radikal, melainkan di kalangan masyarakat awam Muslim di seluruh dunia. Ketika agama telah menjadi identitas, orang lebih sibuk untuk menentukan siapa yang segolongan dan siapa yang tidak, siapa yang kawan dan siapa yang lawan, siapa yang beriman dan siapa yang kafir, siapa yang benar dan siapa yang salah. Orang lebih sibuk menghakimi orang, dan semakin tidak toleran terhadap hal-hal yang berbeda dengan kepercayaan dirinya. Orang juga tidak lagi berpikir apa yang salah sehingga ajaran agama dari Tuhan Yang Maha Pengasih justru banyak digunakan untuk melakukan aksi-aksi keji.

Anarkisme (AGUSTINUS WIBOWO)

Kerusuhan di Lahore, Pakistan, saat umat Muslim memprotes kartun Denmark yang menggambarkan Nabi Muhammad, 14 Februari 2006. Kerusuhan ini menghancurkan banyak properti warga dan menewaskan sejumlah penduduk.

Pertikaian sebenarnya bukan hanya terjadi antara Muslim dengan non-Muslim, tetapi juga antara sesama Muslim. Ketika Iran dan Irak berperang, dua-duanya menggunakan nama Tuhan untuk menggerakkan rakyatnya, dan menyebut perang mereka sebagai Perang Suci. Hingga sepuluh tahun lalu, mayoritas umat Muslim Indonesia tidak tahu apakah dirinya Sunni atau Syiah, mereka hanya tahu diri mereka Muslim, dan sekarang mereka tahu tentang Syiah, membenci Syiah setengah mati seperti musuh bebuyutan, walaupun mereka sangat mungkin belum pernah bertemu dengan (apalagi memahami) orang Syiah seumur hidup mereka. Di banyak negara Muslim sendiri, Islam juga sering dimanfaatkan untuk senjata politik. Perang antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (yang kemudian menjadi Bangladesh), yang menewaskan antara 300.000 hingga 3.000.000 korban, adalah perebutan kekuasaan yang dibalut kedok agama.  Di Afghanistan, Presiden Karzai menandatangani rancangan UU yang sangat menindas hak perempuan, hanya demi mendapat dukungan dari pemuka agama dalam Pemilihan Umum. Di Indonesia, calon pemimpin yang berkompeten bisa dijegal dengan isu-isu agama, sementara sejumlah pejabat juga berusaha keras tampil religius menggunakan simbol-simbol agama demi menutupi korupsi atau ketidakbecusannya.

Pembinaan agama yang terlalu fokus pada identitas mereduksi pola pikir menjadi “kita vs mereka”. Seolah dunia kita hanya tentang Muslim vs non-Muslim, Muslim vs Barat, Muslim vs Konspirasi Yahudi, Muslim vs kafir, Muslim vs asing. Ketika tandapagar #PrayForParis mendunia menyusul teror di Paris, sejumlah saudara Muslim kita justru memandang dengan sinis: kenapa bukan berdoa untuk Palestina, atau Irak, atau Suriah, atau Libya, atau Rohingya, atau…. Tetapi, saya tidak yakin orang-orang yang sama ini juga akan peduli ketika saudara-saudara Muslim Yaman terbunuh dalam serangan tentara Muslim Arab Saudi. Atau ketika Muslim Taliban menyiram air raksa ke muka anak perempuan yang pergi ke sekolah di Pakistan dan Afghanistan. Atau ketika Muslim Sunni Irak mengebom umat Muslim Syiah yang sedang melaksanakan ibadah. Atau ketika Muslim Sunni dari Lashkar-e-Janghvi mengebom ratusan umat Muslim Sunni Barelvi yang sedang beribadah di masjid di Pakistan.

Itulah identitas. Orang tidak lagi melihat dunia dengan objektif. Pembantaian warga sipil adalah kekejian manusia terhadap manusia. Terorisme. Titik. Tidak peduli apa agama/ras/bangsa/negara pelaku maupun korban, pembantaian tetap pembantaian yang menginjak-injak kemanusiaan kita.

Tetapi bagi orang yang terpaku pada identitas, semua ini hanyalah perang identitas. Jakarta Post pernah memuat karikatur yang menyindir ISIS, dengan gambar seorang pejuang mengibarkan bendera ISIS yang dimodifikasi menjadi gambar tengkorak. Pada bendera itu tertulis kredo umat Muslim, bahwa tiada tuhan selain Allah. Pesan dari karikatur ini adalah penyalahgunaan simbol agama oleh kelompok teror itu. Tetapi tampaknya pesan itu tidak sampai. Editor Jakarta Post justru dibawa ke kepolisian dengan tudingan penghinaan agama. Para penuntut itu gagal mengkritisi kebiadaban yang dilakukan ISIS sebagai penghinaan yang paling hina terhadap agama Islam sendiri.

160329-terrorism-has-no-religion-3

Memang Barat juga harus bertanggung jawab. Penggunaan Islam sebagai identitas justru didorong oleh Amerika pada masa Perang Dingin, dengan mempersenjatai dan mendidik kaum Mujahiddin Afghanistan untuk melawan serbuan komunis Uni Soviet. Tetapi itu mendorong radikalisme di Afghanistan dan Pakistan, hingga akhirnya Taliban meneror rakyat Afghan sendiri dengan penerapan paham mereka yang sangat radikal. Perang Melawan Teror yang dilakukan Amerika pasca 11 September dengan menginvasi Afghanistan justru menyebabkan teror yang lebih besar. Sejumlah aksi teror bermunculan di seluruh penjuru dunia membalas Perang Melawan Teror yang dilakukan Amerika. Ini adalah efek domino yang tidak bisa dihentikan lagi. Bom Bali di Indonesia adalah satu contohnya. Juga gereja-gereja yang dibom di Pakistan dengan alasan membalas AS. Pasca 11 September, Islam berjalan pada dua ekstrem sekaligus: semakin ditakuti di Barat (dan negara non-Muslim lain), dan semakin menguat di kalangan Muslim di seluruh penjuru dunia. Islamisasi yang terpaku pada identitas cenderung mengarah pada fanatisme, intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme. Sikap Barat yang diskriminatif dan paranoid terhadap umat Muslim memperparah antipati dari umat Muslim terhadap Barat; dan sebaliknya, antipati umat Muslim itu membuat Barat semakin mencurigai Muslim.

Tapi semata-mata menyalahkan Barat untuk semua masalah Muslim adalah bagaikan menyalahkan tetangga untuk semua kegagalan kita. Bahkan jauh sebelum Perang Salib, 1300 tahun lalu telah terjadi perebutan kekuasaan untuk menentukan siapa penerus Nabi Muhammad, yang hingga hari ini menjadi konflik abadi antara sesama Muslim, antara Sunni dan Syiah, dan entah hingga kapan akan terus memakan korban. Ketika identitas dinomorsatukan, kritik terhadap diri sendiri semakin ditinggalkan. Umat lebih sibuk menyangkal daripada merenungkan, lebih sibuk menyalahkan daripada menanyakan apa yang salah.

Saya teringat perkataan Marthin Luther King, Jr:

Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan; hanya terang yang bisa melakukannya.

Kebencian tidak bisa mengusir kebencian, hanya cinta yang bisa melakukannya.

Membalas kebencian dengan kebencian melipatgandakan kebencian, membalas kekerasan dengan kekerasan melipatgandakan kekerasan, dalam sebuah spiral menuju kehancuran…

Agama mengajarkan cinta Tuhan yang universal. Tidak pernah ada perang dan pertumpahan darah demi membela Tuhan adalah hanya demi Tuhan itu sendiri. Tujuan para teroris dengan kedok agama adalah untuk menaruh tanda sama dengan Islam dengan terorisme. Dan ketika kita—apakah itu Muslim, non-Muslim, Barat, Timur, liberal, ateis, atau apa pun—terjebak dalam pola pikir ini, maka kita telah membantu para teroris itu mencapai tujuannya.  Itulah ketika ajaran-ajaran cinta justru menjadi benih kebencian.

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

51 Comments on Terorisme Tidak Punya Agama—Benarkah?

  1. Ketika negeri yg aman dan damai (Irak,afganistan, Suriah) di bombardir oleh amerika dan sekutunya dgn dalih mencari Alqaedah.. Kemudiaan minyak di negara ini dikuasai asing, rakyat nya dibunuh… Ingat untuk mendapatkan sesuatu harus ada yg dikorbankan…dan yg dikorbankan pada saat itu gedung WTC, guna mendapatkn akses menguasai minyak d afganistan dan irak, aksi yg dilakukan oleh masy dsna sy lihat sbg aksi perlawanan atas tindakan sewenang” amerika dan sekutunya ,,Jgn menginjak semut jika tdk mau digigit… Semua juga tahu klu ISIS dan Alqaedah diciptakan oleh amerika guna menghancurkan negara” muslim…. Logikanya jika ISIS memang membela umat muslim, kenapa tidak memerangi Israel yg sudah nyata”nya membunuh jutaan muslim di palestina yg tdk berdaya?? Knp ISIS malah menyerang pemerintah Islam di Suriah?? ISIS itu ciptaan Amerika,, sama ketika

  2. Saya pernah berbincang dengan seorang yang mungkin dianggap radikal, pernah jadi pasukan jafar umar tahilb d konflik maluku, skrng beliau sudah “tobat” dan berjualan beras. Seperti kata mas agus ini lingkaran setan, mereka tidak membenci kafir katanya, contohnya korea atau jepang, brazil, argentina atau negara latin bukan sasaran mereka. Menurutnya barat (amerika/eropa) adalah simbol musuh bukan karena agamanya tp karena mereka menyerang lbh dulu tanahnya. Afganistan jadi medan twmpur amerika & rusia. Sederhananya merwka menggap barat penjajah. Lalu kenapa sesama muslim saling bunuh? Saat saya tanya begitu dia bilang, coba liat kisah aru palaka di sulawesi, tuwo-mudo d sumsel, kisah sultan hamid II di kalimantan, perjanjian giyanti d jawa, sultan hb 8, padri-adat di sumbar. Tiap zaman menciptakan peperangannya sendiri, tp selalu diawali oleh agresi dan penjajahan.

  3. Dalam Islam, pemahaman radikal keagamaan ini bahkan sudah ada sejak jaman Rasulullah. Mereka yang selalu menentang pemerintahan yang sah dikenal dengan nama khawaridz, dan hukumnya wajib ditumpas, karena membahayakan keselamatan Islam itu sendiri. Kadang shalat mereka, puasa dan bacaan alquran mereka lebih bagus daripada umat yang lurus, sehingga banyak orang terkecoh. Namun sesungguhnya, mereka dalam kesesatan yang nyata.

    Tulisan yang bagus mas Agustinus Wibowo.

  4. ngerti apa sih lu tong. kerja jalan2 doang bicara agama. urus agama mu

  5. kalo hitler bunuh jutaan orang gak pernah ada yg nyebut teroris

    • Iya deh, susah amat.

    • hus,hati2 ,maunya bawa kesono,malah lebih terpuruk kesini=Mufi2 besar termasuk ayah Yasser Arafat adalah sekongkol Hitler,,masa nggak tahu sih?

    • justru banyak warga Muslim yang mendukung Hitler, karena Hitler membantai Yahudi. Sekali lagi, yang dilihat bukan kekejaman pembantaiannya, melainkan siapa membantai siapa –> paradigma identitas

    • Bnyk umat Buddhis Myanmar yg membunuh muslim rohingnya tp tdk dicap teroris… Apa hanya umat Islam yg dilabeli TERORIS??,, Yahudi membunuh anak-anak dan wanita Palestina jg tdk dicap sebagai teroris… Dan yg terbaru , seorang Kristen yg melakukan pengeboman di salasatu mall di Jakarta sm densus 88 tdk dicap teroris hanya tindakan kriminalitas.,, sedangkan Suyono seorang imam dan guru ngaji di desa terpencil mati dibunuh oleh Dens** ** krn dituduh teroris pdhl tdk ada bukti dia teroris…

  6. Umat islam memang diramalkan oleh Nabi Muhammad sendiri bakal tercerai-berai seperti buih..

    Banyak ulama yang malah memecah belah umat dengan menganggap umat islam lain yang beda pendapat sebagai musuh.

    Banyak ulama yang merasa ringan saja dalam menganjurkan hal-hal yang memberatkan umat, yang sebenarnya dalilnya lemah atau malah sama sekali tidak ada.

    Misal bom bunuh diri.. Tak ada dalil yang membolehkan melakukan tindakan yang mencederai apalagi membunuh orang yang tak besalah seperti ini baik dalam alquran dan hadist.

    Saya sangat kasihan pada siapapun yang melakukan itu, karena dalil yang membolehkannya jelas dibuat-buat..
    Sungguh mereka mati sia-sia

  7. Ha ha ha jadi temanku saja Agustinus Wibowo,koment2 diatas kayaknya geopolitiknya payah

  8. Mas Agustinus, saya sangat setuju kalau agama memang banyak digunakan sebagai alat kepentingan politik. Bahkan kalau kita mau tarik lebih jauh lagi pemanfaatan agama oleh penguasa sudah lama ada sejak jaman dahulu. Contohnya gereja yang mewaliki nasrani yang pernah bahu membahu dengan penguasa untuk membodohi rakyat, memanfaatkan rakyat, membebankan pajak, korupsi, mengadili orang orang yang melawan penguasa atas nama agama dan masih banyak lagi. Sampai sekarang kalau kita mau jeli melihat, masih banyak praktek praktek pemanfaatan agama sebagai alat politik oleh penguasa. Tapi sialnya sangat sulit melihat bentuk bentuk dan cara caranya yang kasat mata.

    Kalau mau ngejelimet pusing pusing nyari tau dimana akar permasalahan umat manusia ini, mungkin salah satunya bisa kita pakai kacamata anarkisme, maka akan ketemu jawabannya adalah negara dan kapitalisme. Atas nama dua kepentingan ini kekuasaan ditegakan, dosa besar mereka adalah kehabisan modal, dan agar tidak berdosa maka segalanya menjadi halal, termasuk darah orang banyak. Kalau mau di tarik lagi lebih dalam siapa dalang dari otoritas negara dan kapitalisme, maka biang masalah itu adalah manusia itu sendiri dengan segala nafsunya.

    • Saya setuju untuk yang di atas, tetapi bagi saya ini bukan terbatas pada kapitalisme saja, tetapi semua isme-isme yang lain. saya pernah tinggal di negara kapitalis, sosialis, sampai republik islam berdasar syariah, dan di mana-mana kita melihat penggunaan identitas (agama, ideologi, suku, bahasa, warna kulit dll) untuk kepentingan kekuasaan. tapi banyak warga yang tidak bisa melihat bigger picture ini, sehingga akan terus dipermainkan tanpa mereka sadari

    • Yep, penggunaan istilah kekuasaan lebih tepat ya mas, kapitalis, sosialis, negara, atau apapun itu namanya selama ada ditangan orang orang yang tidak tepat hanya menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan. Saya sangat menyukai pandangan dan tulisan mas Agustinus, terlebih lagi karena pengalaman mas Agustinus merasakan langsung brbagai atmosfr kehupan sosial akan lebih realistis melihat masalah ini. Maksud hati sebetulnya hanya ingin menambahkan bahwa Intervensi penguasa dan problematika yang terlihat kusut di masyarakat itu keduanya saling berkaitan, dan akan tetap pincang kalau hanya dilihat sebelah saja.

  9. Saya sependapat dengan beberapa teman diatas. Dulu Afghanistan, Iraq, Suriah adalah negara yang damai. Lalu kenapa bisa terjadi konflik? Lihat dulu akar permasalahannya.
    Dalam kasus Afghanistan & Iraq, Amerika menggempur negara tersebut dengan dalih mencari Al-Qaeda atas kasus 11/9.
    Yakin tidak ada campur tangan asing dengan maksud tertentu dibalik 11/9?? Siapa yg menciptakan grup itu pada awalnya?? Yakin 100% dengan media??
    Mungkin terdengar klasik dan mungkin sebagian orang menganggap remeh seolah ‘mengkambing hitamkan’ Amerika & Israel dengan berbagai konspirasi teori.
    Tapi faktanya dengan kasus ini apa yg terjadi dan benefit bagi Asing?
    1.) Minyak dikuasai dengan mudah
    2.) Penjualan hasil opium di Afghanistan, you know what I mean
    3.) Melemahkan negara2 Islam dengan konflik perbedaan Ideologi

    Dalam kasus nomor 3 :
    Didalam Islam, bahkan di Kristen, dan agama lainpun banyak perbedaan Ideologi.
    Seperti di Nasrani kita tau ada ideologi: (Protestan, Katolik, Saksi Jehova, dll.), bisa dicek dlm sejarah, mereka sering bertikai masalah perbedaan Ideologi. Di real life saya banyak teman dari golongan diatas, dan mereka bilang sering terjadi perbedaan pendapat antar sesama mereka.

    Dalam Islam, Ideologi Radikal yg mengatasnamakan agama yg terjadi saat ini (ISIS) sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad dulu. Rasulullah sangat benci dengan golongan ini. Golongan ini disebut “Khawarij” (mereka menghukumi siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka dengan hukuman kafir.)

    Dengan adanya perbedaan Ideologi tersebut (Suni, Syiah, Khawarij, Wahabi, dll), dengan mudahnya Asing memecah konflik di negara Islam untuk kepentingan mendasar dunia : Harta & Tahta.

    “To conquer a nation, you must first disarm its citizens.” – Adolf Hitler.

  10. Kalau boleh saran koreksi:
    “Para pelakunya ‘mengaku’ berpegang teguh pada ajaran agama, dan percaya bahwa yang mereka lakukan itu adalah untuk membela iman, agama, Nabi, Tuhan.”
    karena tindakan mereka sendiri tidak mencerminkan pegangan teguh pada ajaran agama.
    Terima kasih.

  11. Terima kasih Agus Prattama untuk balasannya, dan senang sekali diskusi bisa berlanjut dengan terbuka.
    1. Afghanistan, Irak, Suriah negara yang damai sebelum datangnya Amerika? Maaf, bagi saya rasa ini sangat menyederhanakan negara-negara tersebut. Konflik di keluarga kerajaan Afghan sudah berlangsung sejak pertama kali kerajaan Afghan berdiri. Silakan dibaca sejarah Dinasti Hotak dan Dinasti Durrani, dan Anda akan menemukan banyak sekali pertumpahan darah di sana. Masa damai Afghanistan berlangsung pada era Zahir Shah yang memerintah selama 40 tahun. Tapi pada tahun 1973, Zahir dikudeta oleh keponakan sendiri Daud Khan, sehingga Afghanistan menjadi republik, dan pada saat itulah Pakistan masuk, dan turut bermain dalam politik Afghanistan sehingga terjadi revolusi komunis tahun 1978, yang disusul invasi Uni Soviet. Justru Amerikalah yang membantu kaum mujahidin melawan Uni Soviet, dengan membangkitkan identitas keislaman di Pakistan dan Afghanistan. Setelah 10 tahun berperang, Uni Soviet mundur tahun 1989 dan AS lepas tangan, faksi-faksi Mujahiddin saling berperang sendiri memperebutkan kekuasaan, dan masa perang saudara itu membuat kebencian antar etnis dan aliran beragama di Afghanistan semakin memuncak. Uni Soviet runtuh, Asia Tengah merdeka, Pakistan mengincar gas alam dari Turkmenistan, sehingga mereka mendukung Taliban karena bisa digunakan untuk mengontrol jalur selatan Afghanistan untuk menjamin pasokan gas dari Turkmenistan ke Baluchistan di Pakistan. Pakistan sendiri memainkan kartu identitas agama dan ras, demikian juga Taliban. Anda bisa melihat bagaimana etnis-etnis minoritas Afghanistan dibantai oleh Taliban karena ras atau kepercayaan mereka. Memang Afghanistan menjadi permainan negara-negara besar maupun kecil di sekelilingnya, tetapi tentu ada masalah di dalam negeri Afghanistan sendiri sehingga mereka menjadi papan catur pertarungan berbagai negeri
    Untuk Irak, Anda tentu juga masih ingat dengan Perang Irak-Iran dan Perang Irak-Kuwait, di mana Irak secara aktif melakukan invasi di bawah kendali Saddam Hussein yang membawa retorika bangsa dan agama. Tentu ini juga jadi permainan bagi AS maupun Rusia. Dalam perang Iran-Irak, AS menyuplai senjata ke Irak dan Rusia kepada Iran. Setelah Irak menginvasi Kuwait karena masalah teritorial dan minyak, maka terjadilah serangan dan embargo yang dilancarkan AS dan sekutunya, yang membuat rakyat Irak menderita. AS berambisi untuk menduduki Irak karena dengan demikian mereka bisa mengepung Iran dari berbagai penjuru.
    Untuk Suriah, Anda bisa lihat bagaimana kediktatoran keluarga Assad yang memerintah selama puluhan tahun. Saya rasa terlalu panjang jika saya bahas di sini semua.

    2. Tujuan saya menulis ini adalah mengingatkan bahwa ketika paradigma berpikir kita sudah dikuasai oleh identitas, kita tidak lagi melihat fakta secara objektif. Pemikiran kita menjadi: apa pun yang dilakukan pihak yang seagama/semazhab/seiman/sebangsa/sesuku/senegara/sebahasa harus dibela, dan apa pun yang dilakukan pihak yang tidak sama identitasnya pasti salah. Dengan pemikiran seperti ini, fakta dan logika diabaikan, yang dikedepankan adalah identitas. Saya tidak membela pihak mana pun di sini. Saya menentang invasi AS ke Afghanistan dan Irak, sebagaimana saya menentang perlakuan Taliban terhadap warga Afghan. Buat saya, pembunuhan rakyat sipil, apa pun alasannya, tidak bisa dibenarkan. Dan tidak ada agama mana pun yang mengajarkan atau mengizinkan hal itu. Selain itu, yang saya sampaikan di sini semua adalah fakta, yang ada dokumennya, bukan sekadar teori konspirasi untuk membenarkan apa yang kita percaya.

    3. Sikap mencari kambing hitam sama sekali tidak berguna untuk menciptakan dunia kita yang lebih damai. Ini seperti bertengkar mana yang lebih dulu, telur atau ayam. Sampai kapan kita mencari pihak luar sebagai sumber masalah kita? Bahkan mundur sampai zaman Perang Salib pun pertikaian selalu ada. Ketika banyak umat Muslim menyalahkan Barat/Yahudi yang memecahbelah umat Muslim, mereka tidak bertanya apakah yang salah dalam diri negeri-negeri Muslim sendiri sehingga mudah diadu domba luar? Dialektika ini tidak ada, karena selalu berhenti pada “pokoknya salah AS/Yahudi/Asing/komunis dll”. Kita lihat contohnya di Afghanistan, bagaimana perpecahan internal di antara bangsa-bangsa yang menghuni negeri itu akan tetap menyebabkan Afghanistan terus berkonflik dan menjadi permainan negara-negara luar. Paradigma ini akan membuat orang tidak berpikir kritis, melupakan sejarah, dan membabibuta memegang keyakinannya, sementara tidak sadar dirinya sedang menjadi permainan pihak luar.

    4. Dalam geopolitik, tidak ada musuh abadi dan kawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Pihak yang terperangkap pada identitas akan selalu menjadi bidak catur pihak-pihak yang tahu bagaimana bermain dengan identitas.

  12. Sama-sama mas Agustinus Wibowo, saya juga sangat senang diskusi dengan mas Agus, apalagi kalau menyangkut Afghanistan 🙂 Hehehe..

    Mungkin saya terlalu menyederhanakan status “negara damai”, karena setiap negara ada masa2 damai dan masa2 suram.
    Berhubung topik artikel mas Agus diatas tentang Isu agama yang kejadiannya dimulai dengan serangan 11/9 hingga konflik ISIS yg hangat pada saat ini, dan juga dgn adanya istilah “Teroris”, mungkin saya membahas tentang konflik yg terjadi direntang zaman tersebut dan awal kemunculan Taliban.

    1.) Saya banyak berdiskusi dengan teman Pashtun & Hazara di Afghanistan, dan yang saya tangkap & saya ketahui adalah: Mujahidin Afghanistan (orang Afghan yg berjuang untuk kemerdekaan dari Uni Soviet) & Taliban itu berbeda.
    Perbedaannya adalah waktu keterlibatan mereka saat pertempuran di Afghanistan & dengan kelompok yg menjadi lawan mereka untuk mencapai tujuan.
    Taliban baru kedengaran namanya sekitar tahun 1994, setelah dua tahun Mujahidin Afghanistan berhasil mengalahkan Uni Soviet. Kelompok Taliban ini mengajak Mujahidin Afghanistan untuk bergabung dengan mereka, jika menolak maka Taliban akan memerangi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan kelompoknya. Dengan dibuktikannya atas penyerangan kepada Mujahidin (Presiden Burhanudin Rabbani) & eksekusi mati Najibullah.

    Bisa disimpulkan Ideologi kelompok ini adalah kaum “Khawarij”.
    Ciri-ciri kaum Khawarij :
    1.) Tidak mengakui pemerintah yang sah sebab ketaatan hanya kepada pemimpin mereka yang dinilai memerintah sesuai dengan syariat.
    2.) Siapapun pihak yang berbeda pandangan dengan mereka dianggap sebagai musuh yang harus dilawan karena dipandang sebagai kafir dan wajib dibunuh.

    Dalam kasus Afghanistan, Taliban membunuh etnis minoritas Hazara karena masalah perbedaan Ideologi, yaitu Syiah.

    Saya pernah berdiskusi dengan mereka, setelah berdebat panjang akhirnya mereka menyebut saya Kafir karena saya tidak setuju dengan pandangan mereka.
    Di sinilah perbedaan antara kaum Khawarij & kelompok Islam mainstream (Sunni). Bagi kelompok mainstream (Sunni), untuk mencapai tujuan tidak boleh dengan menghalalkan segala cara. Tujuan baik harus dilakukan baik walau terhadap Ideologi yang berbeda sekalipun.

    Sepanjang perjalanan sejarah, kaum Khawarij akan selalu muncul, sejenis ISIS dan kelompok Radikal lainnya. Sejak zaman Nabi Muhammad kaum ini sudah ada dan akan ada hingga akhir zaman, Rasulullah sangat membenci kaum ini karena sangat berbahaya bagi Islam dan umat manusia.

    Meskipun jumlah kelompok Khawarij ini sangat kecil, namun lantaran Ideologi radikal yang mereka anut, eksistensi mereka menjadi sangat berbahaya dan menjadi topik hangat dunia.

    Dengan adanya Ideologi ini, terlebih lagi kultur Afghanistan yang sangat konservatif, pihak Asing dengan mudah mencari celah demi kepentingan politik di Afghanistan.
    Saya setuju dengan mas Agus karena permasalahan ini Afghanistan jadi papan catur pertarungan berbagai negeri.

    2.) Seperti pada poin pertama, saya setuju dengan mas Agus, dan saya menentang invasi Amerika ke Afghanistan, dan perlakuan Taliban terhadap warga Afghan, bom bunuh diri, dll. TIDAK ADA AGAMA MANAPUN MENGAJARKAN DAN MENGIZINKAN HAL ITU.

    3.) Banyak fakta yg mengekspos campur tangan barat dalam memperkeruh suasana & bertujuan demi kepentingan politik, bahkan banyak sekali politikus & media2 yang Non-Muslim mengecam tindakan barat, banyak tersebar di media. Bagaimana mungkin kita tidak berpikiran kritis terhadap apa yg telah mereka lakukan & cuma melepas tangan seolah mereka ‘lebih bersih’? Memang, perpecahan internal di Afghanistan kalau saya pikir mungkin akan terus terjadi dan akan terus jadi ‘santapan asing’ apabila kaum Khawarij ini terus eksis & sentimen antar entik (Pashtun, Hazara, Tajik, Uzbek, dll) di Afghanistan terus terjadi. Semua berpulang kepada rakyat Afghan kalau mau introspeksi diri. Mas Agus mungkin dah berpengalaman dan saya juga seringkali mendengar disana: “aku etnis ini, aku benci etnis ini” di Afghanistan, kadang capek mendengarnya, mau gak mau harus adaptasi juga.

    4.) Setuju. Dengan syarat dan ketentuan yg ada.

  13. Salah satu hal paling menarik di Star Trek bagi saya adalah prinsip “Prime Directive”. Yaitu, larangan untuk mencampuri urusan dalam negeri (atau planet 😉 ) lainnya.

    Menilik sejarah panjang campur tangan Amerika di seluruh dunia, ada banyak kekacauan yang bisa dihindari jika prinsip Prime Directive ini bisa diterapkan oleh semua pihak : http://www.flagrancy.net/timeline.html

    Contoh; Iraq baru menjadi kacau setelah campur tangan Amerika.
    Negeri yang selama bermilenium terkenal sebagai pusat peradaban & kebudayaan, hancur lebur dalam sekejap.

    Prime Directive sebetulnya sama saja dengan konsep Sovereignty. Campur tangan pihak asing dalam urusan dalam negeri lainnya adalah pelanggaran dari kedaulatan negeri tsb.

    Setiap negeri punya kemampuan untuk menciptakan keseimbangan / equilibrium nya sendiri. (tentunya butuh waktu, karena ada prosesnya)

    Campur tangan pihak asing cenderung mengacaukan ini.

    Film Star Trek bahkan menunjukkan berbagai skenario dimana campur tangan asing dilakukan dengan niat yang #baik – namun, hasilnya tetap saja hancur lebur 🙂

    Tinggal bayangkan sendiri jika campur tangan dilakukan dengan niat yang buruk.

    ====
    Tidak bisa kita menafikan sama sekali (menolak mengkambing hitamkan) pihak asing, karena faktanya, mereka memang melakukan itu.

    Perbaikan harus menyeluruh :

    # Pihak asing berhenti mencampur aduk urusan rumah tangga orang lain

    # Kita sendiri juga musti memperbaiki diri kita sendiri.

    Barulah bisa ada harapan untuk maju ke depan.

  14. ISLAM =damai , RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM …., baca AL’QURAN

  15. Secara teori, agama akan selalu memberikan aturan-aturan di segala aspek kehidupan. Aturan2 itu akan mengkotakkan tentang salah-benar, baik-buruk. Itu terjadi di semua agama, bukan hanya islam.

    Dan manusia selalu punya kepentingan di dalamnya. Mereka akan selalu mencari pembenaran atas apa yang dilakukan. Dan kalau ‘terpaksa’ menyalahkan orang/lawannya. Itu dilakukan sebagian orang2 yang mengaku beragama, entah itu islam, nasrani, atau apapun yang menemukan pembenaran akan tindakannya. Dan saat mereka tak menemukan pembenaran atas nama agama, mereka akan mencari pembenaran dari segi lainnya, entah nilai-nilai HAM, pengetahuan dan norma tak tertulis.

    Dan sangat tak adil menyalahkan sebuah agama, tanpa mempelajari ajarannya secara keseluruhan…

  16. Untuk mas Agus Prattama, terima kasih untuk balasannya. Mari kita lanjutkan membahas isu ini.
    1. Memang Taliban bukan Mujahiddin, tetapi kelahiran Taliban berhubungan dengan Mujahiddin. Setelah Soviet pergi, kita mengira perang akan berakhir di Afghanistan, tetapi ternyata faksi-faksi Mujahiddin justru berperang sendiri berebut kekuasaan. Saat ini, Afghanistan semakin terpecah belah oleh suku dan agama. Pashtun bantai Hazara, Hazara bantai Pashtun, Tajik bantai Hazara, dst. Kekacauan ini dimanfaatkan pihak luar, yaitu Pakistan, yang ingin meluaskan hegemoninya di Afghanistan selatan, seperti yang saya katakan sebelumnya, demi mendapat jalur pasokan minyak dan gas dari Turkmenistan ke Gwadar. Andaikan Afghanistan sendiri tidak terpecah belah seperti itu, apakah pihak asing seperti Pakistan juga Al Qaeda dari Arab Saudi bisa dengan mudah menguasai Afghanistan? Rakyat Kandahar pada awalnya sangat menyambut Taliban, karena mereka sudah bosan dengan perang dan Taliban membawa keamanan, tetapi kemudian Taliban terbukti sangat tidak toleran terhadap suku-suku lain, misalnya terhadap orang Farsi di Herat dan Hazara. Apakah Taliban mengamalkan ajaran Islam? TIDAK. Apakah Taliban menggunakan simbol Islam? IYA. Apakah Taliban didukung umat Muslim? IYA—Pakistan, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab mengakui dan mendukung rezim Taliban. Dan banyak Muslim di seluruh dunia mendukung Taliban karena memandang Taliban telah mewakili mereka melawan Barat.

    2. Anda sendiri sudah melihat politik identitas di kalangan umat Muslim. Ketika Anda menyebut Taliban sebagai khawarij, Taliban juga menyebut Anda khawarij. Sikap seperti ini yang juga membuat umat Muslim susah bersatu. Anda sudah lihat sendiri contohnya, di Afghanistan. Orang bilang itu masalah agama, tapi kalau Anda lihat lebih dalam lagi, bukan cuma agama. Ada dendam suku, sejarah, hegemoni, dan ujung-ujungnya kekuasaan. Balutannya saja agama. Anda mengira Taliban membantai Hazara itu karena agama? Sunni vs Syiah? Lalu bagaimana Anda menjelaskan fenomena ketika Taliban membunuh diplomat Iran (yang Syiah) pada masa sebelum invasi Amerika, tetapi setelah invasi Amerika di Afghanistan, Iran justru menyuplai Taliban dengan ranjau dan amunisi? Tidak ada musuh abadi dan tidak ada kawan abadi.

    NB: Mungkin banyak umat Muslim yang lupa, pada masa awal Perang Salib, justru Yahudi adalah kawan terbaik Muslim, mereka bersatu untuk berperang melawan Kristen.

    3. Pembunuhan memang tidak diizinkan dalam Islam. Tetapi kita lihat sikap umat Muslim di luar Afghanistan yang menggebu-gebu mendukung Taliban, tanpa memahami sejarah dan keadaan yang sesungguhnya, hanya karena persamaan agama? Berapa banyak umat Muslim dunia yang mengutuk, atau setidaknya peduli, terhadap penyiraman air raksa yang dilakukan Taliban terhadap anak perempuan yang bersekolah? Inilah yang saya sebut ketika orang dikuasai paradigma identitas, orang tidak berpikir kritis dan tidak bersikap adil dalam bersikap.

    4. Saya setuju dengan campur tangan yang dilakukan Barat membuat keadaan di Afghanistan dan Irak semakin rusuh. Inefisiensi dari dana bantuan internasional menyebabkan kehidupan rakyat Afghan tidak banyak berubah, sehingga rakyat yang terdesak dalam kemiskinan semakin mendukung Taliban. Ini fenomena yang sangat berbeda dengan tahun-tahun pertama jatuhnya Taliban. Saya pergi ke Afghanistan pertama kali tahun 2003 (Taliban jatuh tahun 2001), dan orang Afghan saat itu sangat menyambut kedatangan Amerika. NATO kemudian sering melakukan operasi yang menewaskan rakyat sipil, yang membuat orang semakin antipati terhadap asing dan semakin mendukung terorisme. Ini membuktikan kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, karena akan terus menjadi lingkaran setan kekerasan yang membawa kehancuran pada semua. Dan Anda sudah memberi contoh yang sangat tepat tentang kegagalan Afghanistan gara-gara politik identitas yang dilakukan warga sendiri. Sekarang bagaimana kita belajar dari pengalaman Afghanistan itu supaya kita tidak terjerumus di lubang yang sama.

  17. Harry Sufehmi: Saya setuju bahwa campur tangan Amerika di seluruh dunia telah menjatuhkan banyak korban. Yang Amerika bela memang bukan demokrasi atau liberalisme atau identitas apa pun yang mereka punya, melainkan kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak segan mendukung rezim otoriter (Orde Baru Suharto misalnya, yang membunuhi begitu banyak rakyat Timor Timur dan Papua tetapi tetap direstui AS), asalkan bisa menjamin kepentingan Amerika sendiri.
    Pertanyaannya sekarang, coba sebutkan dalam babak sejarah dunia yang mana ada negara yang tidak mencampuri urusan negara lain, dan tidak dicampuri oleh negara lain? Tidak ada negara yang berdiri sendiri, dan masing-masing negara pasti mengutamakan kepentingannya sendiri. Kenyataannya memang dalam sejarah manusia, yang besar akan berusaha mendominasi yang kecil dengan berbagai cara. Bahkan di dunia Muslim pun demikian. Yang bermain di Afghanistan juga termasuk Pakistan, Iran, Arab Saudi, Turki, dan Uzbekistan. Lalu dalam kasus Suriah dan Yaman, kita lihat juga rivalitas antara Iran dan Arab Saudi yang membuat Muslim membunuh Muslim. Pertarungan hegemoni antara Arab Saudi dan Iran telah menjadi perseteruan yang dibalut dengan “iman” dan disebarkan ke seluruh dunia, dan umat yang tidak melihat konteks global hanya melihat ini sebagai perang “iman”. Saya ambil contoh, berapa banyak dari umat Muslim di Indonesia yang tahu, atau peduli, ketika begitu banyak korban sipil, termasuk perempuan dan anak-anak di Yaman, yang menjadi korban dalam serangan Arab Saudi tahun kemarin?
    “Pihak asing berhenti mencampur aduk urusan rumah tangga orang lain” adalah keinginan yang indah, tapi kenyataannya dunia kita tidak seutopis itu. Yang bisa kita lakukan cuma “memperbaiki diri kita sendiri” supaya tidak mudah dimainkan pihak asing. Caranya? Berpikir kritis. Hentikan pembodohan massal yang menggunakan label identitas, sehingga kita bisa melihat manusia sebagai manusia, bukan karena identitasnya.

  18. Dewi Cholidatul Setuju, manusia sering memanfaatkan agama demi kepentingannya sendiri, dan itu terjadi di semua agama. Di sini memang kita tidak membahas agama mana yang salah dan mana yang benar, tetapi tentang sikap orang-orang yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan mereka, dan umat yang terperangkap dalam permainan itu. Semua agama mengajarkan cinta kasih, tetapi semua agama juga pernah dimanfaatkan untuk tindakan-tindakan yang sangat berlawanan dengan cinta kasih, yang sayangnya sering mendapat dukungan massif dari orang-orang penganut agama tersebut yang melakukannya atas dasar iman. Pertanyaannya: kenapa?

    • Sm dgn buddah Myanmar yg membunuh i bnyk muslim rohingnya… Sm dgn Kristen Amerika yg membunuh jutaan manusia di belahan dunia dgn perang dunia ke 1 dan 2 nya,, sama dgn Yahudi yg membunuh bnyk wanita dan anak-anak Palestina ,sm dgn khatolik Spanyol yg membunuhi bnyk suku Indian ketika ekspansi pertama kali di benua Amerika…. Kekacauan antr muslim sendiri di timur tengah skrng adalah hasil dr adu domba bangsa(t) barat Amerika, Yahudi dan sekutunya

    • Munir Bin Ab’dullah Maaf sebelumnya Pak.
      Allah dalam alquran memerintahkan kita (umat islam) untuk bersikap adil meskipun pada pihak yang kita kita benci.
      Insyaallah sikap adil lah yang bisa menjadi kunci bagi umat islam memecahkan masalah ini..

      Maksud saya, adil lah bahwa nasib sebuah bangsa yang paling menentukan ya bangsa itu sendiri..

      Ambil contoh bangsa jepang yang luluh lantak sesudah PD 2.. kemudian sebagai bentuk pengakuan kekalahan mereka wajib mengganti kerugian perang yang diderita pihak yang menang, yang nilainya jutaan kali kekayaan mereka sendiri..
      Mereka saat ini bahkan bisa jadi negara yang makmur, maju dan bahkan ada ulama yang menilai kehidupan mereka lebih islami dari negara yang mayoritas muslim..

      Nasib Pakistan dan Bangladesh terpuruk karena ekstrimis muslim yang menolak kemajuan… Bahkan vaksin polio saja mereka tolak mati-matian sehingga Pakistan saat ini adalah negara peringkat kedua di dunia untuk prevalensi polio.. Pekerja medis yang memberi vaksin polio pada siapapun bisa dihukum mati oleh taliban..

    • Saya sudah pernah berkunjung sebentar ke Arab, dan jelas bahwa kondisi mereka buruk karena orang-orang sana perilakunya memang TAK ISLAMI..

      Bersih itu islami.. ==> mereka tak memiliki cara hidup higienis..
      Persatuan itu islami.. ==> mereka suka mempermasalahkan hal-hal remeh..

      Adil itu islami.. ==> mereka tak bersikap adil baik terhadap pekerja migran maupun terhadap bangsa mereka sendiri.. Kesukuannya mereka sangat tinggi.. Jika ada masalah mereka selalu membela yang hubungan kekeluargaannya dekat, tak peduli benar atau salah..

    • Apakah orang yang membunuh terus ga dihukum itu berarti kita boleh membunuh juga? pembunuhan dan teror terhadap rakyat sipil itu salah, siapa pun pelakunya. dan membalas kekerasan dengan kekerasan hanya akan melipatgandakan kekerasan

    • Kekerasan hanya akan memantik kekerasan baru..

      “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.

      Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
      (QS. al-Maa’idah : 32)

  19. 1.) Memang permasalahan di Afghanistan sangat kompleks sekali. Terutama faktor Kesukuan disana yang sangat kuat dan sangat konservatif. Ditambah dengan konflik sejarah lama yang membuat sentimen antar suku sering mencuat. Bagaimana Hazara yang dengan bangganya mengklaim keturunan Jengis Khan, Pashtun yang mengklaim bangsa Afghan yang sesungguhnya, begitu juga Tajik, dll. Kalau yang saya lihat ‘Kultur & Agama’ seolah sudah menyatu disana dan agak susah dibedakan. Terutama yang paling tampak sekali tentang isu “Kehormatan Wanita” di Afghanistan. Jadi teringat pertamakali disana sempat terjadi Awkward moment didepan publik gara-gara saya tidak tahu kultur Afghanistan berbeda dengan Indonesia dalam memperlakukan wanita, mereka memandang sinis & melontarkan beribu kata-kata nasehat kepada saya.
    Etnis (Kultur) & Agama, dua hal ini seringkali menjadi top isu di Afghanistan, dan seringkali menjadi tunggangan politik dan pembenaran bagi beberapa oknum untuk tujuan tertentu.

    Sebenarnya praktek politisasi kultur & agama bukan hanya terjadi di Afghanistan saja, semua sudah merata diseluruh dunia (mungkin di Afghanistan isu ini sudah parah sekali).
    Dan politisasi agama bukan hanya terjadi di agama Islam saja, Kristen, Buddha, Yahudi, dll. Semua ada.

    Menunggangi agama untuk tujuan politik, simbol agama cuma topeng, padahal biasanya anti terhadap nilai agama.

    2.) Saya menyebut Khawarij hanya pada forum ini karena saya melihat Ideologi mereka sangat mirip dengan kaum Khawarij. Ketika saya berdialog dengan mereka, saya hanya berdiskusi bagaimana cara pandang mereka terhadap apa yg telah mereka lakukan terhadap warga Afghan (bom bunuh diri, behead, penculikan, kultur kehormatan wanita di Afghanistan, dll). Tidak pernah saya menyebut Khawarij kepada mereka di real life, juga kepada teman yg berpaham Syiah sekalipun, dan teman-teman dari golongan manapun. Kalau di real life seperti itu ya sama saja saya cari perkara dan memperkeruh suasana. Tetapi yang saya dapati ketika saya berdialog, mereka mencap saya Kafir karena saya tidak setuju dengan aksi bom bunuh diri, dan apa yg telah mereka lakukan terhadap warga Afghan.

    Untuk masalah Taliban membantai Hazara, saya langsung bertatap muka dan bertanya kepada teman-teman Afghan (Pashtun, Hazara, Tajik) secara random. Info yang saya dapati Taliban mengincar mereka karena mereka Syiah. Kalau ada info lain saya kurang jelas, mungkin saya bisa dapat info lebih dari mas Agustinus, dan mengharapkan mas Agustinus bisa share lebih banyak tentang isu ini.

    3.) Saya dulu sebelum tahu dan buta sekali tentang negara Afghanistan, juga mendukung Taliban. Karena dipikiran saya dan isu yang berkembang di Indonesia mereka berjuang untuk kebebasan negaranya dari invasi Asing. Tapi sekarang yang saya dapati ketika saya pergi ke Afghanistan semua berbeda sekali (cara-cara mereka memperlakukan warga Afghan, dan Ideologi yang mereka pakai), saya mulai berpikir ulang dan mengecam tindakan mereka. Terlebih lagi saat teman saya wartawan stasiun televisi swasta disana menjadi korban bom bunuh diri tempo hari.

    Disini Media berperan penting dalam mengubah cara pandang masyarakat. Bisa kita sensus kepada mayoritas rakyat Indonesia, ketika ditanya tentang Afghanistan apa yang pertamakali terucap? Pasti biasanya tak jauh-jauh dari: Perang, Afghanistan itu letaknya di Timur Tengah. Wajar saja orang tidak berpikir kritis tentang apa yang terjadi sebenarnya di Afghanistan, karena minim info.

    4.) Saya mengecam tindakan Barat yang selalu saja suka ikut campur masalah politik dinegara orang. Faktanya dengan dalih menolong, mereka terlibat membuat negara orang menjadi hancur. Ujung-ujungnya ada tujuan politik juga didalamnya.
    Saya juga mengecam tindakan Taliban atas perlakuannya terhadap warga Afghan dan ideologi ekstrimnya.
    Dan juga saya prihatin dengan warga Afghan yang kebanyakan rasis terhadap perbedaan etnis, sehingga isu ini mudah jadi tunggangan politik.

    Seharusnya Barat & Afghanistan sama-sama introspeksi diri. Tapi mau gimana lagi? Maunya kita semua aman & tentram ya 🙂
    Tapi inilah dunia: Ada langit ada bumi, ada siang ada malam, ada damai ada peperangan. Kita tidak bisa merasakan suka tanpa adanya duka. Semua berpasang-pasangan.
    Yang paling menarik: Kita Ada, pasti ada yang Mengadakan 😉 Hehehe
    ______________________________
    Semoga kapan-kapan kita bisa kopdar bareng ya mas Agustinus Wibowo 🙂 Saya senang sekali bisa berdiskusi tentang isu-isu didunia, terlebih lagi tentang Afghanistan. Overall, saya suka dengan tulisan & tutur kata mas Agus. Mowafaq bashi bradar jan 🙂

    • Setuju mas (y) ternyata banyak juga ya orang indonesia yg pergi keafghanistan

    • Ya seperti itulah Indonesia sekarang, membabibuta mendukung tanpa tahu keadaan. ini karena medianya juga fokus kepada berita dalam negeri terus (banyak berita super ngga penting), jarang melaporkan berita di luar, sehingga rakyatnya bisa jadi seperti katak di dalam tempurung. Untuk poin terakhir saya setuju, Barat juga mesti menyadari bahwa terorisme ga bisa dibalas dengan kekerasan, karena akan jadi lebih hebat. Dunia Muslim juga mesti menyadari untuk tidak mendukung terorisme dalam bentuk apa pun, karena itu menimbulkan citra Islam yang penuh kekerasan. Intinya, kalau dunia mau damai, sama-sama mulai dengan menebar cinta, bukan kebencian.

  20. 🙂 seperti yg sering disebutkan. Banyak orang yg bertindak mengatasnamakan agama, sebenarnya malah menjauh dr ajaran agamanya. Tindakan mereka lebih sering mewakili pikiran mereka, sikap mereka, dibandingkan agamanya.

  21. Mas Agustinus aq berharap anda bisa meet and great bersama Dr.Zakir Naik di kota JOGYAKARTA on APRIL 2016

  22. Ketika agama telah menjadi identitas, orang lebih sibuk untuk menentukan siapa yang segolongan dan siapa yang tidak, siapa yang kawan dan siapa yang lawan, siapa yang beriman dan siapa yang kafir, siapa yang benar dan siapa yang salah. Orang lebih sibuk menghakimi orang, dan semakin tidak toleran terhadap hal-hal yang berbeda dengan kepercayaan dirinya. Orang juga tidak lagi berpikir apa yang salah sehingga ajaran agama dari Tuhan Yang Maha Pengasih justru banyak digunakan untuk melakukan aksi-aksi keji. Quote keren dari ms Agus. Ijin Share ya mas.. 🙂

  23. Paklek Nasrurhanif // April 13, 2016 at 11:32 pm // Reply

    Yang saya tangkap dari pengalaman Mas Agus selama ini tentang nilai2 Islam cukup bagus, mungkin malah lebih bagus pemahamannya dari umumnya muslim kebanyakan di Indonesia. Ketika Mas Agus menulis semua pengalamannya tentang kondisi sosio-budaya muslim di berbagai negara di Afganistan-Pakistan terutama, saya menilai adanya kemiripan universal islami yang sama dengan kehidupan di Indonesia. Tetapi kultur setempat kadang berpengaruh hebat terhadap pembentukan karakter suatu bangsa (tetapi jangan lupa campur tangan asing/ penjajah kadang juga sangat mewarnai). Saya bersyukur hidup di Indonesia yang mayoritas muslim yang memberi kenyamanan hidup yang menurut saya lebih bagus dari negara2 lain (tentunya dengan standar yang saya rasakan sekarang/mungkin juga di Malaysia/negara2 Islam modern juga bisa lebih baik?). Maksud saya kepada Mas Agus adalah tiada yang salah tentang identitas/jatidiri sebagai seorang Muslim bahkan Mas Agus sebagai seorang Katolik atau jatidiri lainnya. Masalahnya terkadang kita bisa menjadi antipati terhadap identitas lain yaitu karena info media yang jahat, memihak, intoleran, dan provokatif; pengalaman real-life yang dialami (contoh Mas Agus sendiri dengan segala pemahaman)dan mungkin lingkungan sekitar kita yang sangat mewarnai. Seperti kata Mas Agus Pratama: “Tapi inilah dunia: Ada langit ada bumi, ada siang ada malam, ada damai ada peperangan. Kita tidak bisa merasakan suka tanpa adanya duka. Semua berpasang-pasangan”. Menurut saya pengalaman Mas Agus keliling di sebagiaan dunia ekstrim dan apa yang saya alami selama ini saya semakin bangga, bahagia dan bersyukur menjadi orang dan tinggal di Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Menurut saya yang harus kita lakukan adalah mensikapi secara arif (kalau sesuai identitas saya/secara pemahaman agama yang benar), sehingga kita bertabayun untuk bersikap positif kemudian. Sekali lagi kalau saya boleh berpendapat tentang geopolitik dunia kontemporer/saat ini jelas media yang dikuasai Yahudi-lah (di dunia Barat dan ini diakui oleh kalangan Barat sendiri) yang mewarnai dunia secara dominan yang mengambarkan bahwa bom cluster, rudal dengan presisi dan daya ledak tinggi serta merata lebih beradab (menghancurkan negara2 muslim) dibanding dari tindakan teroris yang mengancam/terjadi didunia barat, anehnya media ini juga menganggap sepi dengan tindakan teroris yang juga menghancurkan umat muslim. Semoga kita semua menjadi bangga dengan Indonesia……

    • Terima kasih Paklek untuk komennya. Tidak ada yang salah dengan agama sebagai identitas, dan setiap manusia perlu identitas untuk bisa menjadi dirinya sendiri. Justru manusia tanpa identitas akan hidup dengan sangat menderita. Tetapi agama jika hanya dipakai sebagai identitas dan melupakan ajaran inti dari agama, yaitu Cinta dan Keadilan (yang merupakan juga sifat Allah yang harus dipelajari umatnya), maka yang tersisa adalah identitas yang membabibuta yang menghasilkan kebencian, kesombongan, eksklusivitas, intoleransi, radikalisme, dll. Dan itulah sebenarnya yang saya cemaskan dengan kondisi dunia sekarang, di mana kedamaian sulit terwujud karena orang-orang hanya terkungkung dalam identitasnya sendiri (agama/negara/bangsa/ras/dll) dan gagal melihat dunia yang lebih besar.
      Untuk media, saya rasa tidak adil hanya menyalahkan Yahudi. Mengapa negara-negara Muslim tidak membuat media yang kredibel dan melaporkan kehidupan di negara Muslim secara objektif? Kenapa Indonesia tidak mengirim reporter di Afghanistan atau Suriah misalnya? Saya bekerja di Afghanistan sebagai jurnalis, dan itu pun dengan kantor media lokal. Media Indonesia pun jarang melaporkan dari Afghanistan, justru BBC dan CNN liputan di Afghanistan sangat komprehensif, sampai menyentuh ke kehidupan masyarakat sehari-hari. Pertaannya, apakah negara mayoritas Muslim seperti Indonesia juga peduli menonton berita tentang kehidupan umat Muslim di Afghanistan? Tengoklah berita di televisi2 di Indonesia yang isinya melulu tentang Indonesia sendiri dan banyak berita tidak penting, sedangkan pandangan internasionalnya sangat minim. Sejauh ini hanya Al Jazeerah dari Qatar adalah media dari negara Muslim yang berstandar internasional, dan memberikan porsi yang lebih banyak untuk negara-negara Muslim. Saya sendiri lebih banyak menonton Al Jazeera dibanding televisi berita lainnya.
      Tetapi bagaimana pun juga, mau dari media mana pun, asalkan kredibel dan memenuhi kaidah jurnalistik, pembahasan dan pengetahuan geopolitik tadi masih tetap sama. Bom cluster kalau dilakukan negara mana pun masti akan diberitakan semua media utama, tidak peduli itu punya siapa, karena itu berita internasional. Intinya media dan jurnalistik di zaman sekarang ini susah melakukan kebohongan, yang dilakukan adalah memilih mana yang dilaporkan dan mana yang tidak. Masalahnya bukan itu media punya siapa, tapi apakah isinya bisa dipercaya. Bukan berarti kalau itu media dimiliki orang yang berbeda dengan identitasnya, lalu kita mentah-mentah menelan berita dari media yang identitasnya sama dengan kita walaupun isinya kebohongan.
      semoga bisa memberi pandangan dari sisi berbeda.
      Salam.

  24. Paklek Nasrurhanif // April 14, 2016 at 11:23 pm // Reply

    Saya sangat paham apa yang menjadi pandangan Mas Agus, termasuk inti yang dipahami sesuai jatidiri ajaran Mas Agus tentunya bagus jika hal tersebut diterapkan dan InshaAllah akan “nyambung/mesra” dengan namanya toleransi jika berinteraksi dengan umat lain (misalnya umat muslim). Terkadang saya sangat cocok bergaul dengan umat lain jika dia baik dan memahami kita (saya berbisnis erat dengan mereka). Umat Muslim yang benar (sesuai ajaran Islam yang saya pahami)sangat menghormati keberadaan umat lain apalagi kalau Muslim mayoritas. Sifat Allah maha kuasa akan segala-galanya ketika kita umat muslim percaya kepada Allah SWT segala sifat-sifatnya (kami menyebutnya Asmaulhusna)dan memahami dengan benar sesuai akidah yang benar maka yang terjadi adalah umat muslim yang sangat anti terhadap kebencian, kesombongan, eksklusivitas, intoleransi, radikalisme, dll. Tetapi jikat umat Muslim dicederai/diprovokasi dengan serangan anti ajaran yang benar (istilah Mas Agus Pram Islam mainstream)maka umat muslim akan “melawan”. Kondisi sekarang adalah campuran ketidakadilan penguasa/aparat, umat muslim yang salah dalam mensikapi semua serangan baik secara fisik maupun non fisik (fitnah informasi)yang ketidakadilan ini membuat mungkin Mas Agus/masyarakat lain memandang negatif umat muslim. Saya pernah melihat tayangan di Youtube ketika media Jepang melakukan investigasi/tabayun/mencari tahu tentang umat muslim bahkan samapai ke Arab Saudi yang dianggap sangat konservatif, Alhamdulillah mereka sangat memahami ajaran Islam yang benar dan sangat positif pandangan mereka terhadap umat muslim. Hal ini salah satu cara berimbang atau bagian dari meng-kounter informasi negatif dari media2 Barat. Pasti Mas Agus tahu-lah, sebagai seorang jurnalis dan penulis handal betapa media memerlukan modal besar, infrastruktur yang memadai, SDM yang handal/berkualitas dan yang tak kalah penting adalah sarat akan kepentingan pemilik modal jika ingin “mewarnai dunia” pada sekala tertentu atau global. Tetapi intinya begini Mas Agus jika seorang muslim (juga umat muslim) memahami agamanya dengan akidah dan tuntunan yang benar, inshaAllah Mas Agus akan mendapatkan hal-hal yang sangat positif dari umat islam terlepas dari sifat individu/”gawan bayi” yang sulit dikontrol. Yang saya tahu media juga punya andil dalam mendikte masyarakat secara halus/tanpa disadari atau memaksa mengikuti kepentingan2 pemodal/pihak2 yang berkepentingan baik itu positif atau negatif. Sayangnya di sekitar kita media mainstream malah justru menipu untuk kepentingan kekuasaan atau pihak2 tertentu.

    • Saya memahami bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang mengajarkan kedamaian, sebagaimana makna paling mendasar dari Islam. Saya juga tinggal di negara-negara Islam dan mengalami sendiri ketulusan dan pengabdian yang luar biasa. Yang kita bicarakan di sini bukanlah tentang Islam, melainkan tentang penyalahgunaan agama untuk kepentingan sekelompok orang, dan mereka ini memainkan isu identitas dengan menekankan bahwa dunia ini adalah pertempuran antara Barat/Yahudi melawan Islam. Media Barat memainkan isu ini, media di kalangan umat Muslim pun memainkan isu ini, sehingga perdamaian akan sulit terwujud, karena akan terus melipatgandakan kebencian dan stigma. Orang melihat identitas di atas segalanya, yang kita bisa kita lihat dengan adanya Islamophobia di Barat maupun Westernphobia di Timur (bukan cuma di negara Islam). Tentu kita tidak bisa hanya menyalahkan media, toh di mana-mana media pasti berpihak. media yang punya swasta akan membela kepentingan pemilik modal, media punya negara akan membela kepentingan negara, media punya kelompok agama akan memihak kepentingan kelompoknya. yang kita bisa gunakan adalah critical thinking, berpikir kritis. tidak semua informasi kita langsung telan, dan kita tidak boleh hanya percaya apa yang mau kita percaya. sayangnya, critical thinking ini yang agak kurang di sejumlah negeri Timur yang pernah saya tinggali (saya belum pernah tinggal di Barat jadi saya tidak berkomentar), sehingga sekelompok orang sangat mudah disetir dan diprovokasi kebenciannya tanpa memahami isu yang sebenarnya. terlepas dari agama/ideologi/kebanggaan ras yang mereka pegang, tanpa kemampuan berpikir semuanya tetap akan menjadi bidak catur dalam permainan yang lebih besar.

  25. Paklek Nasrurhanif // April 15, 2016 at 5:15 pm // Reply

    Nah ini baru saya setuju bingits Mas Agus, saya mencoba menulis ini (juga di beberapa kolom pendapat) bagian dari kepedihan/critical thinking (istilah Mas Agus) saya terhadap media mainstream di Indonesia bahkan dunia, yang benar2 menipu rakyat tanpa malu untuk berbagai tujuan negatif (antara lain: merebut dan mempertahankan kekuasaan, melestarikan/memaksakan nilai2 yang menyimpang/merusak). Terkadang mereka menganggap masyarakat inih bodoh tanpa bisa milah2/menfilter/critical thinking, saya juga ta memungkiri mereka pun punya informasi positif tetapi sekedar bumbu penyedap saja tanpa ketulusan yang berimbang. Sebagai masyarakat yang hanya bersuara sangat terbatas ini (dibanding Mas Agus yang bertaraf internasional) saya hanya menitipkan saran kepada Mas Agus masih banyak masyarakat yang mengingin Indonesia yang lebih sejahtera dan berkeadilan juga bermatabat tanpa menghilangkan azas proposionalitas dan cara pandang nilai2 mayoritas…..(tapi bukan demokrasi alat barat lo he..he..)

  26. Paklek Nasrurhanif // April 15, 2016 at 8:45 pm // Reply

    Sekedar Catatan saja, BBC adalah media Barat yang cukup berimbang (pada kondisi tertentu) sy beri nilai hijau, tapi media yg berbasis di USA spt CNN, FOX NEWS dan termasuk media yang di punya George Soros/hasil akuisisinya serta lainnya yg sejenis umumnya sy beri merah krn media2 ini yang menggiring Masyarakat USA/Barat pada umumnya menjadi fobia thd Islam. Tapi jika sy melihat orang Barat yg melek informasi yg saya lihat di Youtube mereka pada dasarnya ngga peduli ttg agama/netral2 aja, kepentingan politik-lah yg menggiring opini keunggulan pengaruh barat thd Islam. Media Aljazera maupun Arabiya justru berimbang/netral sesuai pendapat Mas Agus. Media Nasional mainstream (menurut sy) justru sangat pro Barat ketika vs “Islam” sy beri nilai merah, tapi terlihat netral pada kondisi tertentu. Penilain ini menjadi sebaliknya jika dilihat dengan kacamata/sudut pandang yg bersebrangan.Sedangkan media muslim hanya bergerak pada tatanan kelas II itupun tdk semua masyarakat mengetahui ttg media ini. Tapi menurut sy Mas Agus selama kita masih didunia pasti yg namanya peperangan, ketidakadilan, rebutan pengaruh/hagemoni, cacimaki, kasih sayang, toleransi dll, akan selalu ada, manusia bukan melulu malaikat juga bukan melulu syetan yang penting kita sbg bangsa/masyarakat Indonesia selalu menjaga kedamaian apapun namanya dan salin memahami identitas masing2……….

  27. irham ismail // April 26, 2016 at 9:55 pm // Reply

    Salam kenal Mas Agustinus. I just stumbled on your article and found a very good discussion happened here. Jadi punya impian, mas Agustinus, mas Agus Prattama dan Paklek Nasrurhanif duduk bareng dan berdiskusi tentang topik ini. Saya yakin akan ada hasil yang sangat menarik dan mencerahkan, bukan hanya untuk umat muslim, tapi untuk kita semua. Pemikiran komperhensif, mendalam, berimbang dan tutur kata yang santun, dari anda bertiga saya rasa sangat mencerahkan bagi kita semua ditengah-tengah gempuran dan banjir informasi “sampah” di media-media kita 🙂

1 2

Leave a comment

Your email address will not be published.


*