Recommended

Perjalanan Kirghiz: Di Manakah Rumah?

160422-afg-pamir-kirghiz-di-mana-rumah-1Nama dari surga itu tersebar di seluruh Afghanistan. Kau bisa menemukannya di toko, di restoran, di supermarket, di hotel, biro tur, perusahaan, organisasi sosial, dan bahkan di pesawat terbang. Tidak berbeda dengan Shangri-La, Pamir telah menjadi sebuah mitos utopis—sebuah surga pegunungan yang dilimpahi keindahan dan kedamaian abadi, begitu jauh sampai tak seorang pun yakin tempat itu apakah benar ada.

Untuk mencapai Pamir, saya pergi ke Koridor Wakhan yang sangat terpencil. Itu adalah sebuah lidah yang cukup kikuk yang seperti ditempelkan secara paksa ke ujung timur-laut Afghanistan. Daerah itu berupa segaris tanah sempit yang memanjang, hanya 11 kilometer pada sisi tersempitnya, membentang 300 kilometer, dijepit oleh Tajikistan di utara, Pakistan di selatan, dan China di timur juah. Koridor Wakhan terbentuk pada abad ke-19 sebagai zona penyangga antara India Inggris dan kekaisaran Rusia. Saya membutuhkan sepuluh hari untuk bepergian dari Kabul, dengan membonceng berbagai kendaraan hingga mencapai ujung terakhir jalan tak beraspal yang rusak parah di sepanjang aliran Amu Darya.

Di sini petualangan dimulai. Saya membonceng sebuah karavan yang terdiri dari empat tentara Afghan dan seorang komandan mereka yang hendak berpatroli ke perbatasan. Mereka punya empat kuda, dan dua warga desa disuruh memandu. Jalan setapak hanya selebar 30 sentimeter, tertutup kerikil dan bebatuan licin, terletak tepat di sebelah tebing vertikal yang sekitar seribu meter di atas lembah sungai. Sungai di bawah itu meraung dan menulikan telinga. Di seberang lembah sungai itu ada sebuah tebing tegak lurus lainnya, yang begitu tinggi sampai kau perlu mendongakkan kepalamu hingga tegak lurus untuk melihat di mana puncaknya.

Itu pertama kali dalam hidup saya menunggang kuda. Sayang, saya harus belajar berkuda justru di tempat seperti ini. Saya memegang tali kendali erat-erat, masih berusaha keras untuk menyeimbangkan diri di atas punggung kuda. Beberapa kali, saya nyaris terjatuh, dan muka saya ini berhadapan langsung dengan lembah yang tak berdasar itu. Di beberapa tempat, jalanan sangat curam, dan kuda-kuda itu harus berhenti setiap tiga langkah untuk mengambil napas. Ketika kami mendaki sebuah celah setinggi 5.000 meter, beberapa kuda itu tergelincir dan hampir jatuh ke jurang di bawah. “Apakah cuma ada jalan ini?” tanya saya pada salah satu pemandu lokal kami.

“Iya. Masalah buatmu?”

“Tidak sama sekali,” kata saya berbohong.

160422-afg-pamir-kirghiz-di-mana-rumah-2

Kami menghabiskan malam di lereng gunung. Daerah ini sama sekali tidak berpenghuni. Serigala melolong susul-menyusul di sekeliling kami sepanjang malam, seolah mereka sudah siap menyergap para mangsa malang ini. Keesokan sorenya, kami baru tiba di perkemahan pertama di Pamir. Pemandangan tiba-tiba berubah menjadi dataran luas yang dikelilingi barisan gunung bertudung salju di kejauhan. Pada ketinggian 4.200 meter, gunung-gunung tinggi itu tidak kelihatan terlalu tinggi lagi. Bahkan langit biru pun serasa berada dalam jangkauan tangan. Saya tidak pernah menghirup udara yang lebih segar daripada di sini.

Permadani hijau yang begitu subur dibercaki noktah-noktah putih—tenda para pengembara, berbentuk silinder ditudungi oleh setengah bola, terbuat dari kerangka kayu dan diselimuti kulit domba. Para pengembara Kirghiz menjamu kami dengan makanan yang sangat mewah: domba yang baru disembelih dan direbus di dalam air. Tidak ada bahan lain yang ditambahkan, karena tidak ada tanaman yang tumbuh di Pamir selain rumput dan belukar. Tamu paling penting—sang komandan—mendapat kepala domba yang sudah dipanggang. Tamu penting kedua—saya, warga asing—mendapat dua bongkah lemak dari pantat domba, masing-masing sebesar buah kelapa. Sedangkan tamu yang tidak penting, para serdadu, mendapat dagingnya.

Satu perkemahan dihuni satu keluarga besar, terdiri atas dua puluh sampai empat puluh orang dan mayoritas adalah anak-anak, tersebar dalam lima sampai sepuluh tenda. Tetangga terdekat, perkemahan berikutnya, sekitar empat jam naik kuda. Kehidupan para pengembara ini berpindah dari satu padang rumput ke padang rumput berikutnya, sedikitnya empat kali setahun, mengikuti pergerakan matahari dan aliran sungai. Mereka menjalani hidup yang merupakan fantasi saya, menjelajahi dunia luas yang tanpa batas. Tidak seperti para saudari Afghan mereka, para perempuan Kirghiz ini memakai baju merah menyala dengan perhiasan berat seolah mereka menghadiri karnaval, dan dengan bebas menunjukkan wajah mereka dan dengan bebas pula berbicara dengan para tamu lelaki. Dengan bentuk rupa yang sangat Mongoloid serta kostum yang sangat rumit itu, sepertinya semua orang ini dipindahkan langsung dari Timur Sangat Jauh zaman baheula. Taliban, pejuang Mujahidin, perang, ranjau, ledakan bom, teroris, semua terdengar seperti barang dari planet lain, zaman lain. Tentu di sinilah surga, begitu pikir seorang pengunjung naif.

Tetapi Pamir, menurut Marco Polo, “sangat tinggi dan dingin sampai kau tidak melihat ada burung yang terbang, … dan karena dingin yang luar biasa itu, api pun tidak menyala terlalu terang, atau memberikan panas yang normal.” Kedatangan kami langsung disambut salju lebat. Ini bulan Agustus, mestinya puncak musim panas. “Tahun ini kita tidak punya musim panas,” kata gembala Kirghiz tua. Di musim dingin, suhu bisa anjlok sampai minus 40.

160422-afg-pamir-kirghiz-di-mana-rumah-3

Setiap berselang seminggu, karavan pedagang berdatangan dari dataran rendah Afghanistan, untuk menjual barang-barang dari dunia “normal”. Uang tidak berarti di sini; mata uang mereka adalah domba. Satu karung beras atau tepung gandum bisa ditukar dengan dua ekor domba dewasa atau empat ekor domba kecil. Satu kantong teh atau satu kantong gula ditukar dengan seekor domba. Tujuh domba bisa memberimu satu televisi. Ada juga nilai tukar untuk ternak mereka. Satu domba empat tahun sama dengan dua domba dua tahun. Satu yak kecil senilai lima domba, satu yak besar sepuluh domba, satu kuda lima belas domba, dan satu unta dua puluh domba.

Nilai tukar yang berlaku saat ini untuk seorang pengantin perempuan adalah seratus domba. Ini cukup mahal. Kebanyakan pernikahan berlangsung antara sesama Kirghiz, tetapi ada terlalu banyak laki-laki dibanding perempuan. Perempuan bisa dibilang tidak cukup kuat untuk bertahan karena ketinggian dan kurangnya oksigen. Tingkat kematian di Pamir sangat tinggi, terutama untuk anak kecil dan ibu hamil. Ketidakseimbangan gender ini bukan hanya berlaku bagi manusia. Semua kuda adalah kuda jantan dan semua keledai adalah keledai jantan. Hanya domba, yak, dan unta Baktria yang bisa bereproduksi secara normal di sini.

Kenapa mereka harus tinggal dengan alam yang sangat tidak bersahabat seperti ini? Saya membutuhkan dua hari berkuda melintasi alam yang gersang dan liar yang kosong melompong, untuk menemukan jawabannya. Saya sampai di perkemahan Khan, pemimpin para pengembara. Abdul Rashid berumur enam puluh delapan, seorang lelaki kurus yang memakai topi bulu sangat besar, berjalan pelan dan terhuyung dengan tongkat kayunya. Ketika dia memasuki tenda yang khusus dibangun bagi para pengunjung, dia membaringkan diri di matras. Semua di ruangan seketika senyap. Di hadapannya, para lelaki Kirghiz seperti berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah, dan kepala mereka menunduk. Khan mulai bicara. Suaranya lemah dan tak bertenaga, mulutnya terus bergetar. Dia sering kehabisan napas untuk menyelesaikan satu kalimat.

Kirghiz, dia bilang, telah melakukan perjalanan selama beribu tahun untuk mencari Rumah. Nenek moyang mereka berasal dari tepi Sungai Yenisei, di suatu tempat di Siberia. Bagi mayoritas orang Kirghiz, perjalanan mereka berhenti di pegunungan Tienshan, di wilayah Kirgizstan sekarang dan Xinjiang-nya China. Tetapi pada tahun 1916, Revolusi Bolshevik meletus di Rusia membangkitkan pemberontakan orang-orang di Asia Tengah melawan komunis. Moskwa melabeli mereka sebagai basmachi, bandit. Soviet kemudian melancarkan represi berdarah terhadap orang Asia Tengah, memaksa ribuan pengembara Kirghiz mengungsi ke China dan Afghanistan. Rusia terus melancarkan serangan terhadap pengembara Kirghiz di wilayah Afghanistan. Pada tahun 1946 terjadi upaya pembunuhan terhadap Khan yang menjabat pada saat itu. Khan membawa keluarga dan sejumlah pengikutnya untuk melarikan diri ke China. Tetapi dua tahun kemudian, China juga menjadi negara komunis. Khan percaya bahwa hanya di Afghanistan yang Islami bangsa Kirghiz bisa mempertahankan tradisi mereka, sehingga mereka balik lagi ke Pamir.

160422-afg-pamir-kirghiz-di-mana-rumah-4

Menuju penghujung tahun 1970an, Afghanistan juga menjadi komunis, dan kemudian dijajah Soviet. Khan saat itu, Rahman Qul, takut bahwa orang Kirghiz akan dimusnahkan oleh kaum komunis tak bertuhan. Pada tahun 1978, dia memimpin hampir semua kaumnya untuk meninggalkan Afghanistan. Lebih dari seribu mereka melakukan perjalanan berbahaya melintasi sungai dan celah gunung, demi menuju Pakistan. Mereka tersangkut di perbatasan selama tiga bulan, demi menunggu turunnya permukaan air. Beberapa orang yang sudah terlalu sepuh, perempuan, dan anak-anak mati dalam pelarian itu. Setibanya di Pakistan, Rahman Qul mengajukan permohonan lima ribu visa ke Amerika Serikat, supaya dia dan kaumnya bisa dipindahkan ke Alaska, yang dia percaya punya iklim mirip dengan Pamir. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, tidak kunjung ada kabar. Dalam tahun-tahun penantian itu, banyak orang Kirghiz yang mati karena panas dan buruknya sanitasi di kamp pengungsi di Pakistan. Abdul Rashid kemudian memutuskan untuk memimpin rombongan lima puluh keluarga untuk balik ke Pamir.

“Kami tidak bisa makan makanan mereka dan minum air mereka,” jelas Abdul Rashid, “Kami adalah orang dari atap dunia. Hanya ada satu Rumah bagi kami: Pamir. Tidak ada yang lain.”

Kebanyakan dari orang Kirghiz yang sekarang menghuni Pamir Afghanistan adalah mereka yang memutuskan untuk balik dari Pakistan bersama Abdul Rashid, atau mereka yang terlalu lemah untuk mengikuti pelarian Rahman Qul sejak awal. Lalu, mereka menunjuk Abdul Rashid sebagai pemimpin mereka, Khan mereka. Sedangkan bagi 250 keluarga Kirghiz yang masih bertahan tinggal di Pakistan bersama Rahman Qul, nasib datang agak di luar dugaan. Pada tahun 1982, Turki tiba-tiba memutuskan untuk menerima mereka semua. Mereka diangkut dengan tujuh pesawat, untuk menuju sebuah tempat di dekat Danau Van di Turki timur. Orang Kirghiz menamai tempat itu Ulupamir (“Pamir Raya”), untuk mengingatkan mereka pada Rumah yang telah mereka tinggalkan.

Malam itu, Khan menyalakan generator di salah satu yurt, sehingga kami bisa menonton sebuah rekaman video tentang perjalanan anaknya ke Turki, yang diundang pemerintah sana. Dalam video itu, Abdul Wali, anak kedua Khan, agak terperanjat dan terkagum-kagum ketika dia melihat mobil di jalanan sibuk, perempuan bekerja di kantor, gedung tinggi, hiruk-pikuk keramaian dunia modern. Itu pertama kali dia keluar Pamir. Para saudara dan saudari Kirghiz yang telah pindah ke Turki itu semuanya kelihatan sehat, banyak yang malah kelebihan berat badan. Ini adalah kontras dari warga Kirghiz Pamir yang kurang gizi. Para anak mudanya memakai kaos ala Barat dan celana jins. Mereka mengemudi mobil, bicara dengan telepon genggam, makan di restoran. Menonton video tentang dirinya sendiri, Abdul Wali yang berumur 35 tahun itu berkata, “Hidup itu mestinya seperti itu! Pamir memang Rumah, tapi bisakah kamu sebut hidup di sini sebagai hidup?”

Khan, ayahnya, sangat kecewa dengan komentar anaknya. “Kehidupan kita lebih baik daripada mereka. Kehidupan mereka itu bukan di tangan mereka sendiri. Mereka bukan orang merdeka. Apakah mereka masih bisa disebut Kirghiz kalau mereka sudah tidak mengembara lagi?”

Bukannya terinspirasi, Abdul Wali pulang dari perjalanan itu sebagai orang depresi. Dia membawa saya ke tendanya. “Hidup apa yang kita punya di sini?” dia mengeluh. Dia duduk di matras, menaruh sedikit bubuk opium ke atas api kecil sampai bubuk itu menggumpal menjadi bola hitam kecil. “Kamu sebut ini hidup? Rumah?” dia menaruh bola opium itu pada pipa panjang, dan menaruh pipa itu di atas api kecil, sementara mulutnya di ujung lain pipa. “Kami masih hidup dalam sejarah! Kami bahkan masih belum tiba di abad Pencerahan!” Dia berbaring, mulai mengisap. Istrinya, anak-anaknya, dan bayinya semua duduk di tenda yang sama, tertawa dan terkikik seolah tak ada terjadi apa-apa. Puff… puff… keluhan Abdul Wali mereda seiring opium yang pelan-pelan menghubungkannya dengan fantasi akan sebuah Rumah nun jauh di sana.

160422-afg-pamir-kirghiz-di-mana-rumah-5

Setelah melakukan perjalanan sejauh ini, pemandangan ini sangat menghancurkan hati saya. Apakah Rumah selalu berupa fantasi sempurna dan duka di hadapan realitas?

Beberapa hari kemudian, saya bertemu Arif Khan. Dia adalah putra dari Khan sebelumnya, Rahman Qul, yang sudah meninggal di Turki. Lelaki lima puluhan itu kini tinggal di Turki, dan kebetulan sedang mengunjungi Rumahnya di Pamir selama dua bulan di musim panas ini. Dia saat ini adalah orang paling gemuk di seluruh Pamir. Walaupun dia bukan Khan yang resmi, para pengembara masih menghormatinya seolah dia adalah Khan sesungguhnya. Semua orang membungkuk dan menciumi tangannya saat berjumpa dengannya.

Arif mengingat pertama kali dia tiba di Turki, dua puluh enam tahun lalu. Dia sangat terkejut ketika melihat betapa berbedanya Turki dengan imajinasinya akan sebuah Rumah ideal. Tempat yang disediakan pemerintah Turki itu terlalu panas, tidak ada cukup salju. Para pengembara dari gunung-gunung agung kini harus tinggal di gedung rumah susun yang sempit dan sesak. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan menetap di Turki, yang membebani mereka dengan begitu banyak aturan dan hukum. Dia merindukan kebebasan sempurna yang mereka nikmati di Pamir.

“Memang Turki adalah Rumah kami sekarang. Kami punya hidup yang modern dan nyaman di sana,” kata Arif, “Tapi banyak dari tradisi kami yang terlupakan. Kami hanya memakai baju tradisional Kirghiz pada kesempatan istimewa. Anak muda bahkan tidak punya rasa apa-apa tentang Pamir yang sesungguhnya, tempat berasalnya nenek moyang mereka dan diri mereka sendiri.”

160422-afg-pamir-kirghiz-di-mana-rumah-6

Arif selalu rindu Rumah tercinta. Sejak jatuhnya Taliban, Arif kembali ke Pamir setiap setahun atau dua tahun sekali. Tahun ini dia juga membawa serta lima lelaki tua Kirghiz dan seorang perempuan tua Kirghiz. Dia juga membawa putranya, yang lahir di Turki dan tak pernah melihat Pamir. Pemuda itu, yang mukanya terbakar matahari, sangat tidak bersemangat berkata, “Hidup di sini menyenangkan pada mulanya, kita bisa berkuda setiap hari. Tapi dua bulan itu terlalu lama. Aku kangen pulang, aku rindu main basket dan pergi ke disko.”

Arif dan karavannya siap meninggalkan Pamir, untuk kembali ke Rumah baru yang telah mereka adopsi. Saya bergabung dengan karavan mereka. Tidak seperti anak Arif, dua bulan sama sekali tidak cukup bagi para lelaki dan perempuan tua itu. Mereka menangis sesenggukan ketika harus mengucapkan selamat tinggal kepada sanak saudara tercinta dan Rumah pegunungan mereka.

Kami harus melewati jalan yang berbahaya yang sama, satu-satunya jalan yang menghubungkan Pamir dengan dunia luar. Ketika aku datang ke Pamir dengan para tentara, gunung-gunung ini hanya monster bisu bagi kami. Tetapi sekarang bersama Arif dan karavannya, tiba-tiba gunung-gunung ini punya cerita. Arif menunjuk ke satu gunung lancip, berkerut dan menjulang seperti menggores langit. “Gunung itu adalah Rahman Qul, dinamai dengan nama ayahku,” katanya. Matanya berlinang, seperti sedang memandang pada memori yang mengabur.

“Apa yang berubah dengan Pamir?” saya bertanya.

“Hampir tidak ada. Hidup di sini hampir tidak berubah sama sekali 300 atau 500 tahun. Tetapi lihat ke sana. Beberapa gunung sudah mulai kehilangan saljunya. Aku khawatir, pegunungan ini akan kehilangan semua salju mereka dalam waktu dekat.”

Setelah perjalanan panjang, melihat Rumah itu bagai melihat foto-foto lama dari dirimu sendiri. Kau merasa dirimu yang ada di foto itu sudah bukan dirimu yang sekarang. Tempat-tempat jauh itu mungkin tidak akan mengubah jiwamu, tetapi tentu mereka telah mengubah caramu melihat segala sesuatu.

“Di mana Rumahmu?” saya bertanya.

“Rumah bukanlah tempat. Dia ada di sini,” katanya, sambil menaruh tangan di dada. “Pamir mungkin bukan tempat yang baik sama sekali, tetapi di sinilah aku lahir dan dibesarkan. Airnya, udaranya, semuanya tentangnya adalah manis bagiku. Aku tahu setiap lekuk dari gunung-gunung ini, setiap kelokan sungainya, setiap lembar rumputnya. Semuanya hangat di hatiku.”

160422-afg-pamir-kirghiz-di-mana-rumah-7

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Perjalanan Kirghiz: Di Manakah Rumah?

  1. Keren banget mas artikelnya. penggunaan bahasanya sederhana dan mudah dipahami, tapi cara penyampainannya yang paling hebat. tanpa ilustrasi gambar pun imaginasi saya berada dalam setting tempat tersebut.

  2. Menarik sekali cerita perjalanannya, rasanya ingin juga menjadi traveler seperti mas ini.

  3. Menakjubkan.. Membaca ceritanya membuat imajinasi melayang hingga di Pamir. Rumah senantiasa menjadi tempat tujuan memang, tapi bukan hanya soal tempat tapi penerimaan dan kebersamaan. Keren Mas!

  4. miralazuba // May 30, 2016 at 1:33 pm // Reply

    Hi, Mas Agustinus, well saya baru saja tadi pagi meng khatamkan buku Mas dengan judul titik nol. sekitar 5 tahun yang lalu hingga tahun 2013 saya masih aktif menulis, dan sempat menerbitkan novel. Tetapi sejak bekerja, seperti semua inspirasi menulis hilang. Sajak dan rima itu minggat meninggalkan saya, sehingga kering ide dan inspirasi untuk menulis karena terdesak rutinitas kantoran. Membaca buku Mas, membuat bulu kuduk saya merinding, seolah sapaan sajak dan rima begitu dekat. Buku Mas telah membangkitkan keinginan saya untuk menulis.

    Bagi saya menulis adalah tentang mengenali diri dan menginspirasi orang lain, dan lewat tulisan Mas,saya terinspirasi.

    Sukses selalu

  5. Saya pembaca buku2 mas agus..buku terbaru kapan terbit mas? ga sabar rasanya nunggu hehe Thanks mas sudah memberikan inspirasi lewat tulisan2nya

  6. Selalu saja bisa membuat saya terkesan dengan tulisannya
    Benar-benar terbayang dengan jelas petualangannya

Leave a comment

Your email address will not be published.


*