Recommended

[Dewi] Agustinus Wibowo–Perjalanan Mencari Cerita

 160917-dewi-agustinus-wibowo-perjalanan-mencari-cerita-2

 

 

Dari pencarian personal, ia tergugah merambah zona-zona konflik dunia dan mendengar cerita-cerita penghuninya.

 

DEWI September 2016

DUNIA PRIA

(LINDA CHRISTANTY)

 

IDENTITAS adalah masalah yang menyertai dirinya tumbuh di Lumajang, sebuah kota di Jawa Timur. Ia berbicara Bahasa Jawa dengan orangtuanya di rumah, tetapi mereka bukan keluarga Jawa bagi orang-orang di sekitar. Ajaran dan tradisi Islam dalam masyarakat telah mempengaruhi pikirannya sebagai seorang bocah, sehingga ia meminta kepada orangtuanya agar ia dikhitan seperti teman-temannya yang lain. Tetapi ia dan keluarganya bukan Muslim. Ia tak mengenal kampung halaman yang lain selain kota lahirnya, tetapi ada orang-orang yang menganggapnya orang asing dan meneriakinya, “Cina, Cina….” di jalanan. “Karena itu saya sering merasa tidak aman. Saya memilih naik becak dari rumah menuju tempat yang hanya berjarak sekitar 200 meter sekalipun,” tutur Agustinus Wibowo, penulis buku-buku perjalanan yang mengisahkan zona-zona konflik dunia.

Ia pun melewati masa remaja dengan memikirkan hal yang paling mendasarkan dari keberadaan manusia di muka bumi ini, “Siapakah saya?”

Pada Mei 1998 kerusuhan anti Cina merebak di Jakarta, mengiringi akhir kekuasaan Presiden Soeharto. Tetapi ia dan keluarganya tidak bisa lari ke luar negeri untuk menyelamatkan diri. “Paspor saja kami tidak punya,” katanya. Perekonomian keluarga mereka pun hanya bertumpu pada sebuah toko telur milik ayahnya. Di Lumajang dan kota-kota Jawa Timur, keadaan makin mencekam ketika terjadi aksi pembantaian dukun santet di Situbondo pada 1999. “Kami harus tidur dengan menyimpan arit di bawah bantal dan ditemani cangkul. Berjaga-jaga siapa tahu kami yang diserang,” tuturnya.

Orangtuanya menabung untuk mengirim Agus belajar teknik komputer di Tsinghua University, universitas terbaik di Beijing, pada tahun 2000. Waktu akan berangkat ke Tiongkok, ia merasa senang dan membatin, “Oh ini pulang ke Tanah Air.” Namun, di negara itu ia ternyata hanya orang asing. Ia harus tinggal di asrama mahasiswa asing dan membayar uang kuliah dengan jumlah yang ditentukan untuk orang asing. Di Tiongkok, ia justru merasa sebagai orang Indonesia, “Pemikiran dan ideologi saya adalah pemikiran dan ideologi Indonesia.”

Meski ia tak merasa menemukan akarnya di Tiongkok, tetapi ia mulai melihat dunia yang lebih luas saat belajar di sana. Pada 2003, ia pergi ke Afghanistan sebagai turis. “Waktu itu saya menganggap Afghanistan sama saja dengan Pakistan,” kenangnya, seraya tertawa. Ia bercerita saat kami bertemu di sebuah restoran sushi di Jakarta akhir Juli 2016 lalu.

Pada 26 Desember 2004 terjadi tsunami di Aceh yang menelan korban hampir 200 ribu jiwa. Agus tergugah untuk membantu orang-orang yang menjadi korban. Ia berinisiatif mengumpulkan dana dari para mahasiswa di Beijing. “Tapi citra Indonesia di Tiongkok rupanya buruk sekali sejak peristiwa Mei 1998. Ada yang berkata agar uang yang mereka berikan nanti untuk orang Kristen saja, jangan untuk orang Islam,” tuturnya. Ia menampik bantuan orang-orang picik ini, “Kata saya, kalau begitu caranya mendingan kamu tidak usah membantu.”

Sebulan setelah tsunami, di bulan Januari 2005, ia tiba di Aceh. Ia bekerja dalam tim pemburu mayat sebagai pemberi minum para anggota, “Dalam setiap tim harus ada satu orang yang tangannya bersih dan tidak memegang mayat, yang memberi minum kepada anggota tim.” Ia menyaksikan kehancuran yang luar biasa di sana. Bau busuk di mana-mana. Mayat-mayat berserak dalam keadaan mengenaskan. Gedung-gedung ambruk atau tinggal rangka. Di waktu istirahat, ia sengaja mendatangi kamp pengungsi untuk mendengar cerita-cerita orang yang selamat. Cerita-cerita mereka membuat ia merasa kesulitan hidup yang dialaminya dulu tak seberapa. “Di Aceh saya hampir tidak melihat air mata.” Ia tercenung. Seorang ibu yang kehilangan anak dan rumah malah menyatakan bahwa ia bersyukur kepada Tuhan yang memberinya umur panjang. Di tempat ini Agus merasa menemukan dirinya yang baru. Ia ingin mendengar lebih banyak cerita dan membagikan cerita itu kepada dunia luar. Di Aceh pula ia pertama kali melihat para jurnalis bekerja. Ia tertarik menjadi seperti mereka. Setelah itu ia kembali ke Beijing. Pada tahun ke-4 kuliah, ia menelepon ayahnya dan mengungkapkan sebuah cita-cita, “Pa, saya mau jadi jurnalis.” Sang ayah terkejut. “Bagi orang Tionghoa, yang menyekolahkan anak dengan biaya besar, itu sama artinya dengan tidak balik modal.” Tawanya berderai.

Agus menyisihkan sebagian uang makannya untuk mewujudkan cita-cita hingga. terkumpul 2000 US dollar. Ia bertekad mengeliling dunia dengan uang itu demi mendengar cerita-cerita. Pada bulan Juli 2005 ia lulus sarjana dengan nilai sangat baik. Universitas menawarinya beasiswa S2, tetapi ia menolak. Ia malah memulai perjalanan pada akhir bulan itu, “Pertama kali, saya masuk ke Tibet dan menyamar sebagai orang Cina.” Setelah itu ia menumpang truk ke Nepal dan akhirnya kembali ke Afghanistan yang dulu pernah dikunjunginya.

“Selama ini Afghanistan yang kita kenal dari berita-berita media adalah negeri perang. Ternyata orang-orang di sini ramah, suka minum teh dan lucu,” katanya.

Namun, ia mengakui bahwa masalah utama di negeri itu memang keamanan, “Di Afghanistan orang bisa dibunuh karena bahasa dan warna kulit yang berbeda.” Di Afghanistan ia kembali menemukan masalah dirinya waktu berada di Lumajang, yaitu identitas, “Pertanyaan pertama orang Afghanistan kepada tamu mereka adalah agama kamu apa.” Suatu hari ia menjawab pertanyaan seorang Afghan dengan mengingat ucapan seorang ulama mereka, “Agama saya adalah kemanusiaan.” Orang tersebut setuju.

Di berbagai negeri yang dijelajahinya itu ia pernah dirampok, kelaparan dan hampir dibunuh. Tetapi ia juga bertemu orang-orang yang menyelamatkannya dari bahaya atau mempersilakannya menginap di rumah mereka yang sederhana. Ia tidak pernah jera. Hanya satu hal yang ia hindari, “Jangan sampai Mama saya tahu dan khawatir.” Suatu hari ia tengah berada di sebuah warnet dan menelepon ibunya, “Tapi saya bilang, saya terkurung dalam kamar di asrama di Beijing karena semua mahasiswa dilarang keluar akibat wabah virus SARS.” Sebulan kemudian warnet itu dibom.

Ia anak pertama dari dua bersaudara. Tidak seperti dirinya yang melanglang jauh dari rumah, adiknya kini menjaga toko telur peninggalan orangtua. “Ibu meninggal dunia tahun 2010 dan ayah menyusul di tahun 2013,” ujarnya.

Kenangannya dengan ibu masih membekas. Setelah 10 tahun tidak pulang ke Lumajang, Agus menjenguk ibunya yang sakit parah akibat kanker. Di rumah sakit, ia menunggui sang ibu yang dirawat dengan membacakan cerita-cerita perjalanan yang ditulisnya. Ibu pun berbagi cerita-cerita hidup yang belum pernah ia dengar. Ia terpukau, “Selama ini saya mengira saya mengenal ibu saya. Ternyata banyak hal yang saya belum tahu tentang dia.” Di saat-saat terakhir ibunya, ia memahami makna sejati dari sebuah perjalanan. Perjalanan ternyata bukan hanya tentang tempat, melainkan tentang kehidupan. “Mama yang tidak ke mana-mana pun mengalami perjalanan,” katanya. Di masa ini ia merenungkan makna keluarga dan cinta sejati, “Mama rupanya mengharapkan ciuman pertama dari Papa saya. Saya pertama kali menyaksikan mereka ciuman di rumah sakit.” Ayahnya tidak pernah mengungkapkan rasa cinta, sedangkan ibunya sangat terpengaruh novel-novel percintaan yang dibaca. Ketika menunggu ibu yang sakit, ia justru makin mengenal ibunya. Ia meyakini, “Orang-orang yang tidak pernah terpisah oleh jarak, tidak akan pernah menghargai orang-orang terdekat mereka.”

Setelah menulis dua buku tentang negara-negara Asia Selatan dan Asia Tengah, yakni Selimut Debu dan Garis Batas, lalu menerbitkan memoarnya Titik Nol, Agus ingin menulis buku tentang Indonesia. Ia akan mulai dari beberapa tempat, karena Indonesia sangat luas. Ia ingin menjelajah Indonesia untuk mengetahui bagaimana orang-orang di negeri kepulauan terbesar di dunia ini bisa tetap bersama. Baginya, ini sebuah misteri. “Pasca 1998, pengamat asing menganggap Indonesia akan pecah seperti Balkan dan ternyata tidak. Dulu orang bilang di masa Soeharto orang bersatu akibat militerisme, tapi ketika kekuasaan Soeharto berakhir, Indonesia toh tetap ada.” Barangkali perjalanannya akan memberi jawaban dan melahirkan cerita-cerita baru untuk kita.

160917-dewi-agustinus-wibowo-perjalanan-mencari-cerita-1

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

12 Comments on [Dewi] Agustinus Wibowo–Perjalanan Mencari Cerita

  1. “Orang-orang yang tidak pernah terpisah oleh jarak, tidak akan pernah menghargai orang-orang terdekat mereka.”

    Suka banget …

  2. Selalu terpesona dgn cara bertururnya.

  3. Kapan sentimen terhadap etnis tionghua akan berakhir di indonesia ya!

  4. Selalu memikat dan menginspirasi, sehat terus mas biar selalu bisa membagikan kisah2 perjalananmu.

  5. saya, istri, dan anak2 saya, termasuk orang2 yang beruntung bisa ketemu dan berbicara banyak hal dengan beliau.. Sungguh! tak pernah saya ketemu dengan seorang penulis yang begitu humble dan serasa SAUDARA SENDIRI 🙂

  6. Perjalanan tanpa batas

  7. Paling suka: Orang-orang yang tidak pernah terpisah oleh jarak, tidak akan pernah menghargai orang-orang terdekat mereka. 😀

    memang betul.

  8. Pengin bertemu dengan bang agustinus… Hemmm semoga bisa. Sangat menginspirasi perjalanan saya

  9. Sehat terus, ditunggu buku terbarunya….. Apalagi kalau tentang Indonesia.

  10. bagaimana langkah pertama untuk menjadi traveller seperti Anda, dahulukan mana antara : kesehatan, modal dan ketrampilan (bahasa dlsb). Sangat suka saya dengan tulisan Anda dan sangat berkeinginan untuk menjadi Traveller seperti Anda, salam kenal…

  11. Mas Agus, kapan buku mengenai indonesia terbit?. Saya penasaran aspek apa tentang indonesia yang akan diceritakan mas agus dalam bukunya nanti.Salam kenal.

  12. Mas Agus, kapan buku mengenai indonesia terbit?. Saya penasaran aspek apa tentang indonesia yang akan diceritakan mas agus dalam bukunya nanti.

Leave a Reply to Dwi Atmaji Cancel reply

Your email address will not be published.


*