Recommended

Titik Nol 95: Skeptis

Biro pemesanan tiket, bisa mempermudah perjalanan, tetapi tak jarang pula malah menambah masalah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Biro pemesanan tiket, bisa mempermudah perjalanan, tetapi tak jarang pula malah menambah masalah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Indiakah yang mengubah saya? Satu setengah bulan di negara ini membuat saya semakin susah mempercayai orang. Hati saya selalu dipenuhi curiga yang berawal dari kehati-hatian yang berlebihan.

Ini adalah sebuah kisah yang sangat biasa bagi backpacker yang berpetualang di India. Kisah sama yang diulang-ulang oleh ribuan orang – gangguan para calo, teknik tipu-tipu bus dan rickshaw, pedagang kaki lima yang agresif, orang-orang yang mata duitan. Ini adalah pengalaman sehari-hari yang menjadi kenangan betapa kerasnya mental yang diperlukan untuk bertahan hidup di India.

Saya mem-booking karcis bus menuju Bikaner, berangkat malam dari Jaisalmer dan sampai di kota di utara Rajashthan menjelang subuh. Sebuah teknik kuno untuk menekan pengeluaran akomodasi, dengan risiko mengorbankan stamina yang diperas habis-habisan di kendaraan.

Tetapi, stamina saya sudah habis bahkan sebelum naik bus. Bagaimana tidak, kalau untuk naik bus saja saya masih harus berjuang menghadapi orang-orang rakus yang mengincar setiap keping uang di dompet.

Berbekal tiket dari Hanuman Travels di Lapangan Hanumar di kota benteng Jaisalmer, saya langsung meluncur ke biro travel itu tepat pukul 8 malam.

“Wah… tidak bisa ini,” kata pria yang duduk di kursi di pinggir jalan, “bus yang kamu tumpangi tidak jadi berangkat malam ini.”

Masalah. Seperti skenario film India, jangan kaget dengan masalah yang muncul tiba-tiba. Tak perlu kaget pula kalau solusinya pun muncul tiba-tiba.

“Begini saja, jalan keluar paling gampang, kamu pindah ke bus lain. Saya bisa ganti tiket kamu kalau kamu bayar 50 Rupee lagi.”

Lagu lama. Serentetan masalah tak terduga muncul, dan penyelesaiannya cukup mudah – uang. Tetapi orang ini sungguh sembrono sekali dalam bermain teknik tipu-tipu. Saking nafsunya mengeruk keuntungan dari turis asing yang tampak bodoh, ia bahkan lupa menanyakan saya hendak ke mana dan sudah membayar harga karcis berapa.

Karena sudah kebal, saya hanya mengacuhkannya.

“Tak jadi berangkat pun tak apa-apa,” saya langsung melengos.

Di dalam bus India (AGUSTINUS WIBOWO)

Di dalam bus India (AGUSTINUS WIBOWO)

Tak disangka, pria kurus itu main fisik. Ia menyambar karcis saya, membubuhkan macam-macam tulisan dan angka. Saya masih tak peduli, terserah ia mau corat-coret apa pun. Merasa tak berhasil, pria ini pun menurunkan harga,          “Begini saja. Bagaimana kalau bayar 30 Rupee saja?”

Sekali tidak tetap tidak. Saya tak berminat mengikuti permainannya. Melihat tekniknya tak mempan dengan saya yang terlalul acuh, akhirnya ia menyerah.

“Ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana?”
“Polu!” saya menjawab ketus.

Tak disangka, kata itu bagaikan mantra ajaib. Pecundang karcis itu langsung gelagapan, terkejut.

“Hah? Kamu teman Polu? Aduh maaf sekali… Polu teman baik saya. Kami berteman akrab. Dia orang baik…”

Saya teringat, seorang pemilik warung di Pushkar yang menganjurkan saya untuk menginap di losmen Polu. Ia mengatakan, Polu adalah orang yang dihormati di Jaisalmer. Ia orang baik. Tetapi saya tak menyangka, sebaik-baiknya pemilik hotel ternyata namanya saja sudah sanggup untuk meruntuhkan benteng ego seorang calo tiket.

“Tetapi kawan, walaupun kamu teman Polu, kamu tetap harus bayar 10 Rupee ekstra.”
Buat apa lagi?
“Untuk menaruh barang di bagasi. Sepuluh Rupee saja. Tas kamu terlalu besar, tak boleh dibawa naik bus.”

Lagi-lagi uang. Seingat saya, saya tak pernah bayar untuk menaruh bagasi. Bukankah harga tiket termasuk barang bawaan penumpang.

“Saya baru mau bayar kalau orang lain sudah bayar semua!”

Aneh, kali ini gelagatnya tidak menggebu-gebu seperti cacing kepanasan lagi. Ia santai saja, sambil berkeliling ke arah calon penumpang lain yang baru datang, menarik karcis dan uang bagasi.

Saya melihat beberapa penumpang India membayar juga 10 Rupee. Akhirnya saya pun ikut bayar, walaupun dalam hati saya tetap curiga, jangan-jangan orang India yang memberi uang itu teman-temannya sendiri, dan masing-masing mereka akan mendapat uang mereka kembali setelah saya membayar 10 Rupee.

Pantaskah untuk 10 Rupee saja bermain begitu banyak taktik? Tak mudah mengatakannya. Orang-orang ini bisa melakukan apa saja hanya untuk 1 Rupee sekali pun.

Dalam bus saya merenung, betapa kerasnya hidup di sini yang penuh tipu-tipu dan kecurangan, telah mengubah saya lahir batin. Kalau dulu saya adalah orang yang mudah percaya dengan orang lain, karena saya yakin orang lain tak bermaksud merugikan saya, sekarang saya seperti sudah membangun tembok dan perisai, melindungi diri dari tatap mata jahat dan rakus, tangan-tangan kotor, dan jurus tipu-menipu. Saya ingat Lam Li yang pernah bertanya, haruskah ia membuka pintu hatinya kepada orang yang dijumpainya di India. Satu bulan lebih tinggal di lingkungan seperti ini, pintu hati saya pun ikut tertutup. Penat sekali rasanya.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 15 Desember 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*