Recommended

Titik Nol 97: Pernikahan Muslim India

Permainan menyuapi calon pengantin pria (AGUSTINUS WIBOWO)

Permainan menyuapi calon pengantin pria (AGUSTINUS WIBOWO)

Masih ingat Aman, seorang pria Muslim pemilik hotel yang akhirnya mengundang saya dan Lam Li ke rumahnya untuk merayakan Idul Fitri? Hubungan kami bukan hanya hubungan biasa antara pemilik hotel dan tamunya. Aman sudah menganggap saya bagian dari keluarganya dan wanti-wanti saya harus hadir dalam pesta pernikahan adik perempuannya.

Khusus untuk acara ini, saya memutar haluan dari Bikaner kembali ke Jaipur. Lam Li tak bisa datang. Ia punya prinsip yang dipegang teguh selama perjalanannya keliling dunia – tak sekalipun mengulang jalan yang pernah dilalui. Saya sendiri lebih mengutamakan pencarian pengalaman sepanjang jalan, tak peduli kalau harus mulai lagi dari titik awal.

Aman memang sudah menyiapkan segalanya untuk saya. Begitu saya datang ke Jaipur, saya sudah disiapkan kamar di losmennya yang gelap. Sekarang kualitas losmen yang tak seberapa ini di mata saya begitu luar biasa, karena kemurahan hati pemiliknya. Bahkan Aman sempat wanti-wanti kepada manajernya yang baru untuk memperlakukan saya sebaik-baiknya, karena gelar saya adalah the family’s most important guest, seperti yang tertulis di buku daftar tamu.

“Kenapa kamu tidak datang kemarin?” tanya Aman, “kamu sudah kelewatan satu acara penting dalam prosesi panjang pernikahan. Kemarin malam adalah acara mehndi, pembubuhan cat henna ke tangan dan kaki pengantin.”

Tak apalah. Masih banyak acara berikutnya yang menyusul. Acara pernikahan di India memang sangat banyak upacaranya, dilangsungkan berhari-hari sampai seminggu penuh. Acara pernikahan adalah sebuah peristiwa akbar dan penting bagi semua orang. Ratusan ribu Rupee, atau puluhan juta Rupiah, dihabiskan begitu saja. Harkat, gengsi, kasta, kebanggaan, semuanya ditunjukan melalui acara pernikahan.

Besok lusa adalah hari pernikahan. Malam ini keluarga Aman mengajak saya ke rumah pengantin pria atau dulha untuk mengikuti acara penghibahan mas kawin. Menurut adat India, mas kawin atau jehez berasal dari pihak keluarga perempuan. Bagi orang tua yang punya anak perempuan, mas kawin adalah beban terberat dalam hidup. Punya anak perempuan yang tidak menikah sangat memalukan. Tetapi menikahkan anak juga mahal, sampai menelan biaya puluhan ribu Rupee atau ratusan juta Rupiah sebagai mas kawin yang dibayar kepada calon suaminya.

Kaum perempuan keluarga mempelai wanita memberika pemberkatan kepada sang calon pengantin pria. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kaum perempuan keluarga mempelai wanita memberika pemberkatan kepada sang calon pengantin pria. (AGUSTINUS WIBOWO)

Rombongan kami cukup besar, sampai Aman harus menyewa bus khusus. Kebanyakan adalah kaum wanita anggota keluarga, semuanya berpakaian cantik. Perempuan Muslim tidak memakai baju sari seperti wanita Hindu, melainkan baju panjang kamiz dan celana kombor shalwar. Kamiz-nya juga lengan panjang. Mereka juga memakai perhiasan indah. Tetapi begitu keluar rumah, blurrrp, segala kecantikan itu langsung terbungkus kain burka hitam dari ujung kepala sampai kaki, hanya menyisakan sepasang mata saja yang menatap dunia. Itu pun masih ditutup lagi dengan kain hitam tembus pandang atau kaca mata hitam.

Pemandangan perempuan Muslim di jalan-jalan Rajasthan sungguh kontras. Perempuan Hindu di Rajasthan suka warna-warni liar. Merah, kuning, hijau, jingga, biru, ungu, pendeknya segala macam warna yang lebih pantas untuk parade di jalan. Sebaliknya, perempuan Muslim yang berbalut cadar atau burka sangat sederhana – hitam sempurna. Dulu saya bertanya, apakah perempuan Muslim tak ingin tampil cantik dengan mengenakan busana yang menarik pandangan? Baru sekarang saya tahu, kecantikan itu tetap ada, tetapi disimpan hanya untuk orang-orang yang berhak saja. Di bawah selimut kain hitam itu  tersembunyi wajah cantik dengan segala macam perhiasan juga pakaian shalwar kamiz dengan warna-warna yang tak kalah dahsyatnya.

Di antara para perempuan keluarga Aman ini, justru yang mau menikah malah tidak diikutkan. Si pengantin perempuan masih belum tahu siapa calon suaminya. Sejak masa pertunangan – yang merupakan hasil perjodohan kedua keluarga – sampai hari pernikahan nanti kedua mempelai dilarang bertemu muka. Aman bilang, adiknya cuma sekali saja melihat foto calon suaminya sebelum ditunangkan. Sisanya adalah urusan anggota keluarga.

Berangkat dari rumah dalam balutan burqa hitam (AGUSTINUS WIBOWO)

Berangkat dari rumah dalam balutan burqa hitam (AGUSTINUS WIBOWO)

Begitu sampai di rumah pengantin pria, kaum perempuan keluarga Aman sibuk menyiapkan barang-barang yang mau dihibahkan. Ada kemeja, dasi, jas, celana, sepatu, kelapa, berbagai jenis manisan, kue, selimut, serbuk hijau, kuntum mawar mekar, pisau cukur, deodoran, sampai uang kertas yang jumlahnya tepat 151 Rupee. Angka ‘1’ di akhir jumlah uang adalah pertanda baik, dan wajib hukumnya dalam upacara pernikahan.

Dulha – si pengantin pria – sungguh sangat sederhana. Namanya Muhammad Salim. Bajunya kemeja biasa saja, seperti acara santai saja.. Kumisnya tebal, malu-malu dikelilingi ibu-ibu yang datang dari keluarga calon istrinya.

Upacara dimulai. Satu per satu dari para tamu perempuan ini menyuapkan makanan berupa tepung dan manisan ke mulut sang dulha. Seorang perempuan lain menutup kepalanya dengan sapu tangan. Salim sama sekali tidak bisa menikmati suapan ibu-ibu ini dengan nyaman, karena mereka benar-benar tahu caranya bermain. Tidak langsung disuapkan ke mulut, tetapi diputar-putar dulu di depan wajah, seperti mengiming-imingi anak balita. Berapa kali dulha menyosorkan lehernya. Berapa kali pula ia gagal. Serbuk tepung bertebaran di wajahnya.

Setiap perempuan diberi kesempatan lima suapan, mulai dari ibu Aman, istrinya, kakak adiknya, sampai saudara-saudara ipar. Total ada lebih dari selusin wanita. Salim, sang calon pengantin, langsung kelelahan setelah acara permainan ini berakhir. Acara selanjutnya adalah pemberkatan dengan menorehkan pasta kuning dan hijau di wajah dan di tangan pengantin. Sanak saudara Aman ini juga sembarangan menorehkannya, membuat wajah sang dulha belepotan tak karuan.

Betapa sederhananya pernikahan ini. Tetapi tawa dan canda gembira dari kaum perempuan dan sang pengantin semuanya begitu tulus, muncul dari hati yang dalam. Semoga sang pengantin akan sama gembiranya seperti malam ini dalam bahtera rumah tangganya yang akan mulai berlayar esok lusa.

Warna-warni indah yang tersembunyi di bawah burqa (AGUSTINUS WIBOWO)

Warna-warni indah yang tersembunyi di bawah burqa (AGUSTINUS WIBOWO)

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 Desember 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on Titik Nol 97: Pernikahan Muslim India

  1. akhirnya di update lagi, terimakasih byk cak agus… hampir 1th ga di update 😀

  2. Adat pernikahan muslim India dan Pakistan banyak menyelisihi anjuran Nabi SAW untuk menyederhanakan pernikahan.

    Adat jawa juga ribet, tapi tak masih kalah jauh dengan India.

  3. Seru seru seru….

  4. Ibn batutah dari indonesi..

  5. risqi mahardhika r // January 28, 2015 at 6:43 pm // Reply

    Kak, bagus banget penyajian ceritanya, aku sampe kaya ikut berpetualang. Maaf nanya, kakak jg satria pinandhita ya? Proud of you kak 🙂

Leave a comment

Your email address will not be published.


*