Recommended

Titik Nol 102: Mimpi di Air Keruh

Pencucian dhobi ghat di Mahalaksmi (AGUSTINUS WIBOWO)

Pencucian dhobi ghat di Mahalaksmi (AGUSTINUS WIBOWO)

Di antara beragam suratan nasib yang diterima umat dari berbagai kasta, ada jutaan yang ditakdirkan menjadi dhobi, tukang cuci. Di kota Mumbai, para dhobi tenggelam dalam perkampungan kumuh yang terbentang menggurita tersembunyi bisnis binatuan terbesar di Asia.

Sebut saja Vinoj. Pria berusia tiga puluhan tahun ini berasal dari propinsi Bihar, dua ribu kilometer jauhnya dari sini. Sepuluh tahun lalu, Vinoj datang ke Mumbai membawa sebongkah mimpi—hidup makmur bergelimang harta, bangkit dari kenistaan kemiskinan di kampungnya. Ini adalah mimpi yang sama dengan puluhan juta manusia lainnya yang menghuni kawasan miskin di kota metropolis ini.

Tetapi kota ini sudah terlalu penuh sesak oleh orang-orang penuh mimpi seperti Vinoj. Kota ini kejam, rodanya menggilas mereka-mereka yang hanya datang dengan mimpi. Sudah belasan juta mulut yang mengais rezeki di sini. Tak semua orang seberuntung artis Bollywood. Nasib Vinoj, istri, dan kedua anaknya berakhir di dhobi ghat, di antara ruas-ruas batu, air keruh, dan ratusan ribu helai kain.

Ghat, dalam bahasa Sansekerta, berarti anjungan di pinggir sungai, biasanya untuk membasuh tubuh. Di tepian sungai Gangga atau di tepi danau suci Pushkar tersedia undak-undakan tempat umat Hindu melakukan mandi suci. Dhobi ghat adalah ghat untuk para dhobi—tukang cuci. Bentuknya adalah seruas kamar terbuka dari batu, berukuran satu kali dua meter. Lantainya selalu basah oleh air. Di bagian tengahnya ada anjungan dari batu setinggi lutut.

Di bawah jembatan layang Mahalakshmi, barisan ratusan ruas dhobi ghat terbentang sejauh mata memandang. Di sinilah, Vinoj dan ribuan rekan sejawatnya mencari penghidupan. Pusat binatuan Mahalakhsmi adalah bisnis laundry terbesar di Asia. Sekitar setengah juta helai pakaian dicuci oleh sekitar 730 ruas dhobi ghat. Tiap ghat bisa menyelesaikan seribu pakaian per hari.

Mimpi dari air keruh (AGUSTINUS WIBOWO)

Mimpi dari air keruh (AGUSTINUS WIBOWO)

Menjadi dhobi bukan pekerjaan yang mudah. Cuci-mencuci di sini tidak menggunakan mesin. Pakaian kotor dicampur sabun, dihantamkan berkali-kali ke dinding batu yang membatasi ghat, diayunkan ke udara, dihantamkan lagi. Bulir-bulir air terciprat membentuk busur di angkasa, terbang bersama debu dan kotoran. Pakaian direndam lagi ke dalam air, diayunkan ke udara, dipukulkan dengan penuh tenaga ke tembok batu. Sampai belasan kali. Anda bayangkan bagaimana rasanya melakukan pekerjaan ini berulang-ulang sampai seribu kali dalam sehari, setiap hari, setiap minggu, sepanjang tahun?

“Menjadi tukang cuci memang bukan pekerjaan seumur hidup,” kata Vinoj, “ada waktunya ketika tubuh sudah lemah dan uzur, kita harus mencari penghidupan lain.”

Tukang cuci bernasib sama dengan penarik rickshaw, buruh bangunan, pembersih saluran air, dan ratusan pekerjaan kaum papa India yang demikian menguras tenaga. Ketika tua banyak di antara mereka yang livernya rusak karena pembudakan badan yang berlebihan.

Namun, hidup mereka terus berkubang dalam kumuh dan keruh. Seperti inikah mimpi yang menghiasi tidur mereka yang datang dari tempat ribuan kilometer jauhnya ini?

“Mengapa harus malu dengan pekerjaan ini?” ungkap Vinoj, “Kami tidak mengemis, tidak mencuri. Kami malah membantu kota Mumbai membersihkan dirinya dari debu dan kotoran!”

Pekerjaan yang menguras tenaga (AGUSTINUS WIBOWO)

Pekerjaan yang menguras tenaga (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya berjalan menyusuri barisan dhobi ghat, menyaksikan ratusan orang yang bernasib sama seperti Vinoj, memukul-mukulkan  pakaian tanpa henti ke anjungan batu. Sebenarnya orang asing tidak boleh masuk ke sini. Saya berhasil menyelinap.

Ghat demi ghat berbaris rapi. Ada dua lajur berhadap-hadapan. Air setinggi lutut membanjiri. Masing-masing ghat diisi oleh seorang tukang cuci. Ada yang mencuci baju putih, ada yang khusus baju berwarna. Air dengan berbagai warna menggenangi lantai ghat.. Melihat nasib pakaian yang harus dipukul, dibanting, dan dihantamkan ke batu beratus kali, jangan kaget kalau warna baju Anda berubah menjadi pudar kalau sering dicuci di sini.

Pekerjaan fisik menghantam-hantamkan baju kotor ke batu biasanya dilakukan oleh laki-laki. Kaum perempuan tidak ikut menceburkan diri di dalam ghat. Mereka punya tugas mengumpulkan pakaian yang sudah dicuci, mengeringkan, dan menyetrika. Anak-anak mengantarkan buntalan kain dari dan kembali kepada para pelanggan. Saya melihat bocah sebelasan tahun yang menyokong sebuntal besar baju kotor di kepalanya. Beratnya lebih dari 15 kilogram.

Ayah, ibu, anak, semua hidup dari anjungan, tumpukan baju kotor, dan genangan air sabun. Selain bekerja, banyak dari mereka yang juga tidur dan makan di sini. Di tepi barisan ghat ada sederet rumah kumuh dari seng, berukuran sangat sempit, tempat keluarga-keluarga miskin ini menghabiskan usia.

“Mari makan bersama kami,” kata seorang dhobi menawarkan makan siangnya.

Nasi dan kuah lentil terhidang di atas piring gembreng. Nasinya menggunung dan kuahnya sedikit. Dengan makanan tak bergizi seperti ini, bagaimana mereka mampu melakukan pekerjaan berat sepanjang hari? Bocah-bocah dan ibu pun makan bersama, sementara air terus menciprat dari cucian dhobi lain yang masih sibuk mengejar target.

Mandi dengan air bekas cucian (AGUSTINUS WIBOWO)

Mandi dengan air bekas cucian (AGUSTINUS WIBOWO)

“Mata kamu kuning ya?” tanya seorang tukang cuci yang mengantar saya berkeliling. “Jangan makan makanan berminyak. Kamu mesti beli air tebu. Itu bagus untuk penyakit jaundis!”

Tubuh saya lemas. Saya baru sadar kalau penyakit kuning sudah mulai menggerogoti tubuh saya. Di negara ini, penyakit ini penyakit biasa.

“Jangan khawatir, pasti sembuh. Kamu perlu minum? Kalau mau, saya belikan.”

Saya terenyuh. Mahalakshmi adalah tempat pemujaan Dewi Lakshmi, perlambang kemakmuran. Ironis, mimpi akan kemakmuran tenggelam dalam genangan air sabun. Namun, orang-orang miskin dari kubangan ini punya hati yang teramat mulia. Saya teringat ucapan Vinoj, mengapa harus malu menjadi seorang dhobi?

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 24 Desember 2008

7 Comments on Titik Nol 102: Mimpi di Air Keruh

  1. sy sudah baca tiga2nya, ada buku lain mas ??

  2. share ya mas agus..suka bgt baca cerita prjalananny

  3. kpn ya sy bs ktemu mas.sy pgn bgt jd backpacker sprt mas.sy pgn kliling dunia mnjiwai atmosfer stiap budaya mnusia.ya tuhan,sy bnr2 ign sprt mas.you are my really inspiration.

  4. kak Agustinus Wibowo, pas ke sana pake kamera apa sih? yg macam kamera fixed lens spt Ricoh GR y?

  5. klo baca artikel mas, saya seprti kembali ke report jaman dulu, dimana keasliannya bisa mengingatkan jangka panjang, kaum binatu dan orang yang makan dengan tikus satu piring, entah itu sebuah budaya india lagi atau bukan,

  6. Ghat ——> got
    dhobi——> jadi teringat elf temannya Harry Potter
    City of Joy banget yo, dadi melu miris lan trenyuh.Terus pemerentahe nang ndi to?
    begitu rumit dan tumpang tindih.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*