Recommended

Menyoal Identitas Indonesia dan Dunia di London Book Fair 2019

Pertanyaan tentang identitas adalah tema yang terus-menerus dibahas belakangan ini di berbagai penjuru dunia, baik dalam konteks politik global maupun di dunia perbukuan. Pada bulan Maret lalu, saat Indonesia menjadi tamu kehormatan (“Market Focus”) dalam pameran buku terbesar kedua di dunia London Book Fair, saya sebagai penulis mendapat kepercayaan untuk menjadi bagian dari delegasi. Saya diberi kesempatan berbicara dalam tiga panel diskusi, dan kebetulan semuanya berhubungan dengan isu identitas. 

Panel pembuka bagi kehadiran Indonesia dalam ajang London Book Fair tahun ini diselenggarakan pada 11 Maret 2019 di aula British Library, London. Mengangkat tema “17.000 Pulau Imajinasi: Sastra Indonesia Hari Ini”, tiga panelis—yaitu Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, dan saya—berbicara tentang perkembangan kesusastraan Indonesia dari perspektif genre dan latar belakang kepenulisan yang berbeda-beda. Menariknya, moderator Louise Doughty membuka diskusi dengan pertanyaan yang kelihatannya cukup mudah, tetapi sebenarnya sangat sulit dijawab: “Bagaimana Anda mengidentifikasikan diri Anda sendiri?”

Sebagai keturunan imigran Cina generasi ketiga di Indonesia, pertanyaan “Siapa saya?” adalah pertanyaan yang menghantui saya sejak kecil. Saya dibesarkan dengan dongeng-dongeng eksotik dari negeri leluhur saya, dan keluarga saya selalu mendidik bahwa saya adalah Zhongguo-ren, orang Tiongkok. Tetapi di luar rumah, saya belajar bahwa saya adalah orang Indonesia, yang harus membaktikan segenap jiwa dan raga untuk Indonesia. Saya bertumbuh di Indonesia pada masa Orde Baru, yang mengusung narasi anti-komunisme (dan itu sekaligus berarti anti-Cina), sehingga diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa pada masa itu sangatlah gencar. Warna kulit dan bentuk mata saya sering mengundang olok-olok rasis di jalan. Pengalaman itu membuat saya senantiasa bertanya-tanya tentang jati diri saya yang sebenarnya. Jikalau saya adalah Cina, mengapa negeri leluhur itu terasa begitu jauh dan asing? Tetapi jikalau saya Indonesia, mengapa saya setiap hari selalu diingatkan bahwa saya adalah Cina?

Panel “17.000 Pulau Imajinasi: Kesusastraan Indonesia Hari Ini” di British Library

Saya sempat mengira bahwa pertanyaan tentang jati diri itu adalah pertanyaan yang universal. Panelis lainnya, Dewi “Dee” Lestari, yang merupakan salah satu novelis kenamaan Indonesia, mengaku bahwa dia tidak pernah mengalami kegelisahan akan pertanyaan “Siapa saya?” sebagaimana yang saya alami. Dia memiliki darah Sunda dan Batak, tetapi dia tidak pernah mempertentangkan keduanya. Kedua identitas itu melebur dengan harmonis dalam dirinya: kelembutan ala Sunda sekaligus keterusterangan ala Batak. Dia merasa semua itu adalah bagian dari dirinya, dan dia merasa baik-baik saja. Tampaknya identitas ganda itu baru menjadi masalah apabila keduanya saling berkontradiksi—seperti misalnya antara identitas Cina dan Indonesia pada masa Orde Baru.

Cara kita mendefinisikan diri kita sendiri itu sangat berpengaruh dalam membentuk pola hidup kita. Bagi saya sendiri, kontradiksi identitas ganda yang saya alami sejak kecil ternyata membentuk pola perjalanan saya kelak kemudian hari. Setelah tinggal di Cina untuk sekian lama, dan menyadari bahwa Cina ternyata bukan “tanah air” bagi saya, saya kemudian melakukan perjalanan keliling Asia, hingga ke pelosok pedalaman Afghanistan dan negara-negara eksotik di Asia Tengah. Semua perjalanan ini sebenarnya didasari pertanyaan-pertanyaan besar terkait identitas: Apakah “tanah air” itu? Seberapa penting orang merasa menjadi bagian dari sebuah negeri atau bangsa? Mengapa orang bisa saling membenci atau bahkan membunuh karena perbedaan-perbedaan identitas?

Sementara itu, menjawab pertanyaan moderator “Bagaimana identitas memengaruhi kepenulisan Anda?”, Dee mengaku justru bisa melepaskan dirinya dari jerat-jerat identitas, dan hal itu memberinya kebebasan yang luar biasa dalam proses kreatifnya. Dia tidak melabeli dirinya sebagai penulis genre tertentu, sehingga dia bisa bebas bereksperimen dengan berbagai genre dan gaya penulisan yang baru. Sebagai perempuan, dia bahkan bisa melepaskan keperempuanannya saat menulis, sehingga dia bisa menulis menjadi siapa pun dan menjadi apa pun.

Bisa melepaskan diri dari belenggu identitas diri itu, sebagaimana yang dialami Dee itu, bagi saya adalah sebuah pencerahan spiritual yang tinggi, dan merupakan kemampuan yang wajib dimiliki oleh siapa pun yang ingin menjadi penonton kehidupan yang objektif. Dee mendapatkan kemampuan itu dari perjalanan spiritualnya, sedangkan saya juga belajar kemampuan itu dari perjalanan secara fisik (itulah sebabnya saya kemudian menjadi penulis perjalanan).

Kiri ke kanan: Dewi “Dee” Lestari, Louise Doughty, Agustinus Wibowo, Seno Gumira Ajidarma

Perjalanan fisik mengajarkan saya untuk menjadi orang asing di tanah yang asing, dan itu artinya menjadi bukan-siapa-siapa. Tanpa membawa bagasi identitas sendiri, dan tanpa terjebak konflik identitas di tanah yang kita kunjungi, maka kita akan bisa mengamati konflik-konflik di tanah asing itu dari sudut pandang yang tidak memihak. Pengamatan itu kemudian akan membantu kita untuk mengamati konflik-konflik identitas yang ada di dalam diri kita sendiri, juga secara objektif. Pada akhirnya perjalanan memang adalah cermin yang membantu kita untuk melihat diri sendiri. 

Isu identitas merupakan kontemplasi saya sepanjang hayat, karena ini juga merupakan pencarian pribadi saya untuk jawaban pertanyaan “Siapa saya?” yang terus menghantui saya sejak kecil. Terlebih lagi dalam dua tahun ini, ketika saya memfokuskan diri untuk menyelesaikan sebuah buku esai tentang identitas, Kita dan Mereka. Buku ini mencoba menelusuri akar identitas-identitas kita sekaligus mengapa kita harus berkonflik karenanya. Buku ini rencananya akan diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada akhir tahun ini.

Panel “Banyaknya Identitas Indonesia” bersama Will Harris dan Elizabeth Pisani.

Terdengar paradoks memang, tetapi perjalanan saya ke banyak negeri-negeri asing itu justru membantu saya untuk memahami negara saya sendiri, Indonesia. Panel diskusi saya yang berikutnya, Banyaknya Identitas Indonesia, yang digelar keesokan harinya di Olympia, khusus membahas kompleksitas identitas di negeri kita sendiri. Panel ini dipandu oleh Elizabeth Pisani, penulis buku perjalanan Indonesia, Etc. yang telah menjadi best-seller internasional. 

Menyadari bahwa penonton panel ini kebanyakan adalah orang Inggris yang awam dengan Indonesia, Elizabeth memulai diskusi dengan menggelar peta Indonesia dan mengajak para penonton untuk menyadari betapa istimewanya geografi Indonesia. Sekilas pandang, Indonesia tidak tampak seperti satu negara. 17.000 pulau, 300 grup etnik, 700 bahasa… bagaimana negara yang panjang dari timur ke baratnya sama dengan jarak dari London sampai ke Istanbul ini bisa menjadi satu negara?

Indonesia bisa menjadi Indonesia melalui proses yang artifisial. Tanpa penyatuan di bawah panji kolonial Hindia Belanda, mustahil kepulauan yang terlalu beragam dan penduduknya sangat berbeda satu sama lain ini bisa berdiri sebagai sebuah negara. Pisani mencoba membandingkan proses pembentukan Indonesia yang berbeda dengan Amerika Serikat, yang juga sama-sama negara multikultural. Multikulturalisme di Amerika dibangun oleh para imigran, yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia dan memiliki cita-cita bersama membangun masa depan yang lebih baik di tanah air yang baru. Amerika beragam karena ingin menjadi beragam.

Sebaliknya, saya melihat bahwa keberagaman Indonesia itu terjadi karena keterpaksaan. Ratusan etnik Indonesia itu menjadi Indonesia bukan karena pilihan, tetapi karena takdir mereka “kebetulan” berada di lokasi geografis yang sama-sama bekas jajahan Belanda. Bhinneka Tunggal Ika, “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua” yang menjadi slogan nasional Indonesia, lebih merupakan impian cita-cita daripada kenyataan. Indonesia memang terlahir dengan ratusan etnik, tetapi etnik-etnik Indonesia itu pada mulanya hidup dalam dunia mereka masing-masing, dan tidak banyak bercampur dengan orang-orang dari latar belakang budaya, agama, dan bahasa yang berbeda. Baru setelah kemerdekaan Indonesia, terjadi proses “globalisasi Indonesia” melalui migrasi dan transmigrasi, sehingga orang-orang keluar dari isolasi pulau dan budaya masing-masing, berbaur dalam sebuah kuali percampuran yang bernama Indonesia. Ketika orang-orang  yang berbeda itu tiba-tiba hidup berdampingan begitu dekat, sering meletus konflik atas dasar perbedaan. Itulah yang mendasari berbagai konflik etnik, rasial, dan agama yang banyak meletus di Indonesia sejak kemerdekaan bahkan hingga hari ini. 

Tentu, sebagai seorang Indonesia, saya belajar tentang nasionalisme Indonesia. Bahwa negara kita dan bangsa kita sudah ada sejak zaman dahulu kala, bahwa Indonesia adalah titisan Sriwijaya dan Majapahit yang begitu perkasa dan dikagumi dunia, dan bahwa bangsa Indonesia senasib sepenanggungan 350 tahun dijajah Belanda. Tetapi itu semua adalah mitos. Mitos-mitos itu diamini begitu saja oleh orang-orang Indonesia untuk kemudian menjadi bagian dari jati diri mereka. Contohnya saja, ada berapa banyak orang Indonesia yang mempertanyakan, angka “350 tahun dijajah Belanda” itu dari mana asalnya? Kalau kita menghitung mundur 350 tahun dari tahun 1945—tahun kemerdekaan Indonesia—maka itu adalah tahun 1595. Pada tahun itu, kapal ekspedisi dagang pertama Belanda mendarat di Banten, Jawa bagian barat. Bagaimana mungkin kedatangan para pedagang itu sudah dianggap sebagai penjajahan bagi negara seluas ini? Lagi pula, tidak seluruh Indonesia mengalami penjajahan Belanda secara bersama-sama. Ada daerah-daerah yang dua abad di bawah pemerintahan Belanda, ada yang hanya 50 tahun, dan ada pula yang bahkan tidak pernah disentuh oleh administrasi Belanda sama sekali.     

Itu semua memang mitos, tetapi bukan berarti mitos itu tidak perlu. Pengalaman saya hidup di republik-republik Asia Tengah, yang juga merupakan negara-negara artifisial yang diciptakan oleh Uni Soviet, membuat saya menyadari bahwa mitos-mitos kebangsaan itu dibutuhkan oleh semua negara mana pun untuk membangun identitas bangsanya. Tanpa mitos kebangsaan, tidak akan ada bangsa dan negara, tidak akan ada kesetiaan warga negara untuk membela tanah airnya. Mitos-mitos ini—bisa berwujud sejarah bangsa, bahasa nasional, lambang-lambang negara, sampai siapa saja yang disebut sebagai musuh bangsa—perlu disebarluaskan melalui sistem pendidikan, media massa, dan propaganda. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan proses yang berlaku universal di seluruh dunia.  

Bicara tentang keberagaman identitas Indonesia memang tidak ada habisnya. Di sini saya memperkenalkan keunikan tradisi pemakaman Toraja.

Bicara tentang identitas bangsa, kita harus senantiasa ingat bahwa identitas bangsa pun bisa berubah-ubah. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, di masa pemerintahan Sukarno, narasi bangsa kita adalah anti-imperialisme dan anti-kolonialisme, dan itu menjelma menjadi sikap anti-Barat, anti-Westernisasi, dan anti-kapitalisme. Pada masa rezim Orde Baru Suharto, narasi bangsa adalah anti-komunisme, sehingga wujudnya menjadi pro-Barat, anti-Cina, anti-ateisme, dan standarisasi agama. Setelah rezim Orde Baru ambruk pada tahun 1998, Indonesia memasuki era demokrasi dan pengakuan HAM, tetapi bersamaan dengan itu, seiring waktu konservatisme religius justru meningkat. Ini kelihatannya kontradiktif tetapi sebenarnya sangat masuk akal. Para politisi Indonesia pada era demokrasi ini sering menggunakan identitas agama demi mendulang suara dalam pemilu demokratis, dan isu agama ternyata memang sangat efektif untuk mendapatkan simpati massa di Indonesia.

Jadi apa yang kita pelajari dari perjalanan sejarah identitas Indonesia ini? Identitas diri kita ternyata tidak pernah murni ditentukan dari dalam diri kita sendiri. Identitas kita sebenarnya sangat ditentukan oleh permainan-permainan politik yang jauh lebih besar daripada diri kita. Sering kali, isu-isu politik di tingkat nasional maupun global itu terlalu sulit dipahami oleh individu, yang semata-mata menjadikan identitas sebagai cara untuk memaknai hidup mereka masing-masing. Mereka yang demikian ini mudah diadu domba, saling membenci dan berkonflik satu sama lain, mati-matian membela identitas yang mereka imani secara membabi-buta, tanpa menyadari bahwa mereka tidak lebih dari bidak-bidak catur dalam permainan politik kaum elite penguasa maupun oposisi.

Lagi-lagi, pola ini bukan hanya eksklusif di Indonesia, tetapi juga universal di negara-negara lain mana pun. Apa yang terjadi di Indonesia hari ini juga adalah cermin dengan konflik identitas yang terjadi di Inggris. Isu Brexit telah memecah rakyat Inggris menjadi dua kubu yang saling bertolak belakang dan saling membenci, dengan satu parameter yang sangat sederhana dan kini telah menjadi identitas baru: keluar dari Uni Eropa atau bertahan dalam Uni Eropa. Awal mula dari referendum Brexit sebenarnya bukan dari kalangan masyarakat jelata, melainkan perebutan kekuasaan partai-partai politik di parlemen.

Kita bisa mengamati fenomena dunia kita sekarang. Di tengah penyatuan umat manusia yang semakin homogen karena globalisasi, pertentangan karena perbedaan-perbedaan identitas justru semakin mencuat dan menghebat. Kegagalan Musim Semi Arab, aksi-aksi teror berbasis agama, krisis pengungsi Timur Tengah, kebangkitan sentimen nasionalisme di Eropa, kebencian terhadap imigran, maraknya politik identitas…. semua ini menuntut kita untuk mempertanyakan kembali dan merenungkan kembali hakikat dari identitas-identitas kita.

Pembahasan tentang kekompleksan identitas Indonesia menarik perhatian banyak pengunjung di LBF.

Dalam panel saya yang ketiga, Kota dan Laut, para panelis mencoba melihat identitas dari sudut pandang yang lebih personal. Moderator Katherine Demopoulos memandu diskusi ini untuk melihat keekstreman identitas kota dan desa yang ada di Indonesia. Dia memulai pertanyaan dengan bagaimana kami mendefinisikan kota tempat tinggal kami.

Sesama rekan panelis, ilustrator Sheila Rooswitha Putri, membuat para penonton berdecak kagum dengan kedinamisan perubahan kehidupan di Jakarta yang sangat pesat. Bagi Sheila, identitas Jakarta adalah semangat tahan banting di tengah kerasnya kehidupan. Sedangkan bagi saya, Jakarta adalah kuali percampuran yang sangat ekstrem. Kita bisa menemukan kekumuhan Bangladesh di kantong-kantong slum Jakarta Utara, sekaligus kegemerlapan New York di Jakarta Pusat. Semua itu berjalan bersama dalam satu kota yang sama, bagai mozaik warna-warni yang membuat kota ini menjadi sangat kontras dan penuh kejutan.

Pembicara lainnya adalah seorang penulis buku perjalanan asal Skotlandia, Mallachy Tallack, yang berbicara tentang perjalanannya menyusuri negara-negara yang dilalui garis 60° Lintang Utara. Cerita Mallachy tentang Greenland sangat menginspirasi bagi saya. Pada saat itu, Greenland dikuasai oleh orang Viking. Dunia tiba-tiba mengalami perubahan iklim mendadak, dan suhu udara turun 2 °C. Perubahan sebesar itu sudah cukup untuk menghancurkan sistem rantai makanan di Greenland. Ketika bangsa-bangsa lain bisa bertahan, orang Viking yang gagah perkasa itu justru musnah dari Greenland karena mereka kukuh memegang budaya dan tidak mau beradaptasi dengan perubahan alam. Mereka menolak untuk mengubah makanan mereka dengan menyantap anjing laut, karena itu bertentangan dengan kepercayaan mereka.  

Panel “Kota dan Laut” bersama Mallachy Tallack, Sheila Rooswitha Putri, dan Katherine Demopoulos

Cerita ini sangat penting bagi saya. Kalau kau tidak mau beradaptasi, maka kau akan mati. Identitas-identitas kita sebenarnya tidak ada saklek, tetapi senantiasa berubah. Apa yang kita sebut sebagai bangsa, agama, budaya, dan lain-lain itu, semuanya berubah sesuai kondisi zaman. Orang yang tidak mau beradaptasi, tidak mau memaknai ulang identitas-identitas yang diyakininya, akan tergilas perubahan zaman. 

Pada suatu saat dalam perjalanan hidupnya, setiap orang pasti pernah mengalami konflik identitas, disadari atau tanpa disadari. Karena itulah, kita perlu memahami apa sebenarnya identitas itu. Bagi saya, mengenali diri adalah proses penting supaya kita bisa berdamai dengan semua gejolak identitas yang ada di dalam diri kita. Hal ini bisa dicapai dengan menyadari bahwa identitas kita memiliki dua sifat dasar: multidimensi dan tidak permanen. Dengan menyadari hal ini, banyak konflik yang bisa kita hindari, karena kita akan menyadari bahwa terlepas dari perbedaan-perbedaan identitas di antara kita, hakikat kemanusiaan kita tetap adalah sama.

Pemahaman ini sangat penting untuk bisa menciptakan perdamaian dunia, yang hanya bisa terwujud ketika orang-orang bisa menghormati perbedaan dan menjunjung persamaan harkat kemanusiaan daripada sekadar membabi-buta membela kesempitan identitas masing-masing. Bagaimana kita bisa mengharapkan perdamaian dunia, kalau kita belum berdamai dengan diri kita
sendiri?

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on Menyoal Identitas Indonesia dan Dunia di London Book Fair 2019

  1. wah sungguh sangat menginspirasi sekali tulisan diatas kak. Semoga dengan tulisan tsb bisa membuat kita jadi lebih mengenal siapa Indonesia yg sebenarnya.

  2. Paragraf terakhir. Sungguh pas utk penutup tulisan yg panjang😁

  3. Saya sendiri sampai sekarang masih mempertanyakan identitas saya pribadi mas

  4. Sangat menunggu buku “kita dan mereka” dimana dari membaca selimut debu hingga titik nol saya jadi ikutan melihat kedalam diri sendiri. Semoga segera terbit.

    Terus berkarya, Bang 👌

  5. mantap, sukses terus buat saya bang

Leave a comment

Your email address will not be published.


*