Recommended

Titik Nol 108: Dukun

Kakek sakti itu melarang saya menenggak obat-obatan dokter yang saya terima dari rumah sakit (AGUSTINUS WIBOWO)

Kakek sakti itu melarang saya menenggak obat-obatan dokter yang saya terima dari rumah sakit (AGUSTINUS WIBOWO)

Air lucah terciprat dari mulutnya, membasahi wajah saya yang menguning. Kakek tua ini adalah dukun sakti. “Tiga hari lagi, kau akan sembuh!”

Siapa yang tak kenal kakek tua ini. Semua orang di pasar Paharganj menganjurkan saya mencarinya.

“Kawan,” kata seorang pedagang buku bekas, “maafkan saya kalau lancang. Kamu kena jaundis?” Saya mengangguk.

“Saya kenal seorang sakti di Paharganj sini. Semua penderita hepatitis sembuh total dalam hitungan hari. Dan penyakit kuning itu tidak akan muncul kembali.”

Si pedagang buku itu menceritakan kesaksiannya. Dulu dia langganan menderita jaundis, setiap tahun selalu kena. Sampai suatu hari, kawan-kawannya mengajaknya untuk bertemu dengan dukun Hindu yang sakti ini.

“Saya sebenarnya ragu,” ceritanya, “siapa yang percaya dengan dongeng seperti ini? Tetapi si kakek tua itu tenang sekali. Suaranya datar namun tegas. ‘Saya akan membayarmu seribu rupee kalau penyakitmu ini kambuh lagi tahun depan!’”

Dan ajaib, sakit kuningnya tinggal kenangan.

Sebenarnya saya tidak terlalu percaya dengan sihir-sihiran atau sakti-saktian. Tetapi dalam keadaan lemah seperti ini, terjepit oleh visa India yang akan habis tiga hari lagi, saya pun berpikir tidak ada salahnya mencoba.

Menyusuri gang-gang Paharganj yang ruwet seperti benang kusut untuk mencari seorang dukun penyembuh hepatitis tampaknya bukan pekerjaan yang mudah. Anehnya, setiap pemilik toko yang saya temui langsung tahu apa yang saya cari. Tak cuma pemilik toko, bahkan pegawai kantor pos, tukang rickshaw, sampai bocah penyemir sepatu semua kenal dengan ‘orang sakti’ ini.

“Kamu datang ke tempat yang tepat,” kata seorang pemilik warung, “kakek yang satu ini sudah tidak perlu diragukan lagi kesaktiannya. Semua yang datang, hari pertama matanya langsung putih, hari kedua kulitnya kembali normal, hari ketiga penyakit kuning itu lenyap sama sekali dan tidak akan kembali lagi. Dijamin!”

Kakek itu tokonya persis di sebelah warung tempat saya makan sekarang. Ia membuka usaha bengkel reparasi mesin.

Ada sebersit rasa ragu dalam hati saya. Haruskah saya mencoba sesuatu yang nyaris tak masuk di akal ini? Dokter Gurpreet bilang penyakit kuning sembuh dalam waktu minimal dua minggu, itu untuk kasus yang paling ringan. Angka bilirubin saya terlalu tinggi dan perlu istirahat total yang cukup lama untuk menurunkannya.

Tetapi pengobatan kan bukan hanya dari Rumah Sakit Lady Hardinge. India terkenal akan tradisi pengobatannya yang sudah melewati lintasan beberapa milenia. Ayurveda, yang arti harafiahnya pengetahuan panjang umur, adalah sistem pengobatan tradisional Hindu yang mengandalkan obat-obatan herbal namun penuh sugesti akan daya magis yang dipancarkan ramuan sederhana itu. Banyak contoh kasus orang yang sakit parah sehingga dokter pun angkat tangan tetapi langsung sembuh setelah menenggak ramuan obat alternatif Ayurveda.

“Jangan sampai ada rasa ragu,” kata pemuda pemilik warung, “yang penting adalah keyakinan. Keyakinan itulah yang akan membuatmu sembuh.”

Apa salahnya mencoba? Toh tidak ada ruginya sama sekali. Setidaknya kakek di sebelah rumah ini tidak pernah memungut bayaran dari pasiennya.

Pemuda pemilik warung itu mengantar saya ke tetangganya. Ia berteriak-teriak memanggil si kakek. Orang-orang di Paharganj yang selalu bising nampaknya semua memang hobi berteriak. Si kakek keluar tergopoh-gopoh dari dalam bengkelnya yang kotor. Bajunya sudah dekil, sedekil bengkelnya yang gelap dan penuh dengan onderdil hitam.

Ia tak nampak istimewa. Wajahnya, jenggotnya, kumisnya, rambut putihnya, semuanya nampak seperti orang kebanyakan. Yang membuatnya sedikit berbeda adalah sepasang matanya yang kuning pekat. Jauh lebih kuning daripada penderita penyakit hepatitis mana pun yang pernah saya lihat.

Bukankah kakek ini adalah dukun penyembuh penyakit kuning? Mengapa ia tidak menyembuhkan sendiri matanya yang kuning itu? Apakah ia ‘menghisap’ penyakit kuning orang-orang dan menumpuknya dalam tubuhnya sendiri.

Si kakek memeriksa bola mata saya dengan kedua tangannya, bak dokter profesional. Kemudian dia mengamati jari-jari saya, menggenggamnya di antara kedua telapak tangannya. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantra yang saya tidak tahu apa artinya.

Mantra dan doa terus mengalir dari mulut tuanya. Saya kikuk sekali. Ragu, takjub, terkesima, semua bercampur jadi satu.

Sekarang ia mengambil secangkir susu mentah. Di atas susu itu ia melantunkan mantra-mantra lagi. Nadanya naik turun, tetapi sangat cepat. Dari mulutnya ia meludahkan sesuatu ke dalam susu itu. Saya disuruh minum susu yang sudah diludahinya. Saya menenggak cepat-cepat, tak ingin mencicipi setetes pun rasanya, mendorong teguk demi teguk susu bercampur ludah itu supaya segera masuk ke kerongkongan.

Kakek itu mulai berbicara.

“Kamu boleh makan apa saja yang kamu mau, kecuali daging, minyak, dan obat dokter. Setengah jam lagi kamu minum susu mentah yang dicampur soda. Besok dan besok lusa kamu datang lagi ke sini. Tiga hari lagi kamu sembuh.”

Sambil bicara, air ludah terus menciprat dari mulutnya, membasahi wajah saya yang kuning.

Saya tak punya waktu untuk terus mengunjungi dukun ini. Malam ini juga saya harus berangkat ke Amritsar, lekas-lekas menyeberang ke Pakistan karena visa India saya sudah hampir habis.

Malam itu pemilik losmen terkejut melihat saya.

“Hai, matamu sudah tidak sekuning tadi pagi!”

Saya melihat wajah saya di cermin. Bola mata saya sudah putih!

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 1 Januari 2009

8 Comments on Titik Nol 108: Dukun

  1. Salam kenal, sangat imagine sekali membaca tulisan2 Bpk, apakah postingan yang terakhir ini, kejadiannya sekarang atau ulangan posting cerita lalu? berarti bpk sekarang lg berada dimana? lanjutin dong jln2nya ke daerah perkampungan arab, mo tahu gmna tradisi arab ada yg kumuh, miskin, dll?

  2. Waduuuh mas, kayak iklan di teve.. 😀

  3. Pak, apa perjalanan terbaru saat ini, dan apakah sekarang bapak masih dalam pengembaraan? kalau belum kapan, dan kemana rencana pengembaraan selanjutny? Sangat ditunggu postingan2 selanjutnya yang inspiratif dan imagine…..

  4. oh gue inget pas baca bagian ini. penyembuhannya njiji-in~ huahuahua

Leave a Reply to Natalina Diah Utami Cancel reply

Your email address will not be published.


*