Recommended

Titik Nol 120: Seutas Jalan di Bibir Jurang

Pernahkah Anda mendengar tentang sebuah lembah yang dirundung kegelapan – tanpa mentari  – selama berbulan-bulan? Saya tertarik anjuran Wahid untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan orang Tajik di chapursan. Seorang pemilik kios kecil di kota perbatasan Sost menambahkan, “Engkau harus ke Chapursan, mengalami siksaan hidup kedinginan tanpa sinar matahari!”

Saya memberanikan diri pergi ke Chapursan, sebuah lembah yang tersembunyi di balik barisan gunung, di tengah musim dingin Hunza yang menggigit. Gilakah saya?

Noorkhan tertawa tergelak-gelak. Pria kurus 30 tahun berkumis tipis ini tubuhnya dibalut selimut tebal. Musim dingin membuat orang Hunza jalan ke mana-mana dengan selimut terlingkar di pundak.

“Chapursan dingin sekali,” katanya, “dan tidak banyak orang yang senekad kamu pergi ke sana di musim begini.”

Jalan sempit di tepi jurang (AGUSTINUS WIBOWO)

Jalan sempit di tepi jurang (AGUSTINUS WIBOWO)

Tawa Noorkhan membuat saya sedikit ragu. Afiyatabad dan Sost yang berkelimpahan sinar matahari seperti ini saja masih dingin bukan kepalang. Kalau lepas sarung tangan beberapa menit saja, telapak tangan sudah membiru. Apalagi di lembah yang terjepit gunung, 60 kilometer jauhnya dari sini itu, seperti apa dinginnya?

“Saya sebenarnya juga pendatang ke Chapursan,” lanjutnya, “saya memang lahir di Chapursan, tetapi tinggal di Karachi.”

Bahasa Inggrisnya fasih, gerak-gerik tubuhnya menunjukkan tingkat pendidikannya yang tinggi. Noorkhan adalah orang penting di kelasnya. Sebagai seorang pengacara ulung, ia juga sering bertemu pejabat kelas tinggi di negara ini, termasuk Presiden Musharraf.

Tetapi walaupun ia sudah menikmati kehidupan kelas atas di kota metropolis Pakistan, Noorkhan masih dengan bangga menyebut dirinya, “Saya putra Chapursan!”

Kami berdesak-desakan dalam jip kecil menuju lembah tanpa sinar mentari itu. Total ada lima penumpang. Ada bocah kecil yang dijejalkan di bangku belakang bersama televisi ukuran besar dengan lensa cembung dan tombol-tombol seperti kelereng, seperti barang museum dari tahun 70’an. Rupanya si bapak baru membeli TV bekas untuk mengisi kesunyian kehidupan di lembah yang dingin dan gelap itu.

Pertama-tama jip menyusuri jalan raya mulus Karakoram Highway ke arah perbatasan China, kemudian berbelok ke kiri ke utara ke arah Afghanistan. Chapursan melintang sejajar dengan Afghanistan, menyebabkan posisi daerah ini sangat sensitif. Dulu orang asing tak boleh masuk sini. Baru pada tahun 1996 Chapursan dinyatakan sebagai free zone, yang artinya orang asing boleh masuk tanpa izin apa pun.

Satu-satunya jalan yang menghubungkan Chapursan dengan dunia luar mirip seutas garis tipis meliuk-liuk di bibir kematian. Jalan berbatu ini selebar 4-5 meter, hanya cukup satu mobil. Di sebelah kanan ada dinding terjal gunung padas. Sesekali kerikil berjatuhan dari atas dan bergeletuk di atap mobil, seakan mengingatkan maut bisa datang kapan saja. Di sebelah kiri menganga jurang curam, tegak lurus 90 derajat, diramaikan aliran sungai deras bergemuruh.

Longsor batu besar adalah kejadian sehari-hari di sini (AGUSTINUS WIBOWO)

Longsor batu besar adalah kejadian sehari-hari di sini (AGUSTINUS WIBOWO)

Jurang ini sedemikian dalam sehingga tidak usah dibayangkan apa yang akan terjadi kalau jipyang kami tumpangi terpeleset sedikit saja. Jalan batu kerikil yang kami lintasi berbelok merangkul gunung, dengan sudut lancip kurang dari 90 derajat. Apa jadinya jika berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan? Tak usah ditanyakan. Serahkan saja nasib kepada sopir yang berpengalaman, insya Allah ….

Ya Allah khair… Ya Allah khair! Ya Tuhan, tolong…!” seru saya setiap kali mobil yang saya tumpangi menikung tajam. Dan mulut saya tak pernah berhenti komat-kamit membaca doa. Penumpang lain tertawa.

“Ini sudah biasa. Koi zabardast nehi hai.. Tidak ada istimewanya sama sekali.”

Perjalanan itu membuat saya lebih mencintai hidup.

“Perjalanan ini akan semakin mendekatkanmu dengan Tuhan!” Aziz, kerabat Noorkhan yang ikut dalam satu mobil, terkekeh.

Tiba-tiba mobil terhenti. Di depan sudah ada barisan tiga jip. Di depannya lagi ada sekumpulan pria bergerombol mengelilingi sesuatu.

Rupanya ada tiga bongkah batu gunung yang menutupi jalan. Ukurannya sebesar tinggi manusia dewasa. Batu-batu ini jatuh begitu saja dari tebing gunung, seakan ingin memecah kebosanan di lembah tanpa penghuni ini dan terjun ke sungai yang mengalir dalam jurang yang menganga lebar. Longsoran batu raksasa adalah kejadian sehari-hari di sini, yang bagi orang Chapursan sama lazimnya dengan roti chapati dan teh susu chai di pagi hari.

“Waktunya bekerja!” kata Aziz seraya bergabung dengan rombongan pria-pria itu.

Para penumpang jip berupaya sekuat tenaga untuk menyingkirkan batu-batu raksasa dari badan jalan. Ada yang mendorong, menarik, menendang, memukuli, mencangkuli, mengaisi, mendorong dengan tangan, mendorong dengan kaki sambil berbaring, mendorong sambil berdiri. Batu-batu itu bergeming.

Dalam sekejap warna pakaian mereka menjadi coklat kelabu, sama seperti warna debu pasir yang muram sejauh mata memandang. Kraaak…. Pelan-pelan, batu nakal itu mulai bergeser. Sepuluh orang berbaring di tepi jalan, mendorong batu besar itu dengan telapak kaki-kaki mereka bersama-sama mengikuti komando.

Ek…do… tin…char!!! Satu… dua….tiga…empat!!! Ek…do… tin…char!!!”

Bergotong royong menyingkirkan batu dari jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bergotong royong menyingkirkan batu dari jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Batu bergeser sedikit. Para pecangkul mulai bekerja mengais tanah, kemudian diselingi para pendorong menumpahkan energi dari telapak kaki mereka. Berkali-kali. Akhirnya batu raksasa itu berhasil juga digiring ke mulut jurang.

Sekarang orang mendorong ramai-ramai sampai batui itu terjungkal dalam jurang yang menganga. Suara ledakan dahsyat baru terdengar lebih dari tiga detik setelah batu terjungkal dari bibir jurang. Sungai yang mengalir deras di bawah untuk beberapa saat diselimuti debu tebal.

Baru satu batu. Masih ada dua yang lain.

“Batu-batu itu seperti chapati,” kata Noorkhan dalam jip, tiga puluh menit kemudian, ketika kami melanjutkan kembali perjalanan.

Membandingkan batu raksasa dengan chapati, hanya orang di tempat seperti ini yang tahu maksudnya.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 11 Januari 2009

Leave a comment

Your email address will not be published.


*