Recommended

Titik Nol 125: Urdu

Urdu ditulis dengan huruf Arab bergaya Nastaliq yang cenderung vertikal ke bawah. Perhatikan pulah bentuk hamzah yang berbeda di akhir kata ‘Allah’ (AGUSTINUS WIBOWO)

Urdu ditulis dengan huruf Arab bergaya Nastaliq yang cenderung vertikal ke bawah. Perhatikan pulah bentuk hamzah yang berbeda di akhir kata ‘Allah’ (AGUSTINUS WIBOWO)

“Itu bahasa Urdu, bukan bahasa Hindi!” kata seorang bocah Pakistan protes.

Dia meminta saya menyanyikan lagu bahasa Hindi. Saya menyanyikan sebaris lagu soundtrack film Salman Khan terbaru, Mujhse Shadi Karogi. Si bocah mengira saya berbohong. Ia tak tahu kalau bahasa Urdu dan Hindi hampir sama.

Memang tak banyak orang sadar bahwa bahasa Urdu dan Hindi adalah dua bahasa yang serupa, kalau tidak bisa dikatakan sebagai satu bahasa yang sama dengan nama berbeda. Orang biasa melihat hurufnya saja yang berbeda.. Hindi ditulis dengan huruf Sansekerta Devnagari, sedangkan Urdu ditulis dengan huruf Arab-Persia dengan gaya Nastaliq yang cenderung vertikal ke bawah.

Tetapi huruf dan bahasa adalah hal yang berbeda. Kenyataannya, kita tidak mudah membedakan seseorang bicara bahasa Urdu atau bahasa Hindi. Kedekatannya melebihi kemiripan bahasa Indonesia dengan Malaysia yang perbedaan aksen dan pelafalannya sangat kentara. Yang membedakan tuturan Urdu dan Hindi adalah pilihan kosa katanya. Untuk kata-kata tertentu, bahasa Hindi lebih memilih kata dari Sansekerta, sedangkan Urdu kaya akan kosa kata Arab dan Persia.

Bukan hanya kita yang awam, bahkan orang Pakistan dan India pun banyak yang tak tahu kenyataan ini. Seperti halnya penonton setia film Bollywood di Pakistan yang mengklaim semua artis India bisa bahasa Urdu. Sebaliknya seorang penumpang kereta dari Gorakhpur berujar, “Saya tidak bisa bicara bahasa Urdu,” walaupun bahasa Hindinya sudah terbilang first class. Dia sampai memanggil kawannya yang katanya pandai berbahasa Urdu untuk bercakap-cakap dengan saya. Alangkah terkejutnya dia mendengar bahwa percakapan Urdu tak ada bedanya dengan Hindi.

Permusuhan Pakistan dan India membuat informasi tentang negara tetangga sangat terbatas. Kecuali dari film-film Bollywood yang terus membanjir, tak banyak lagi yang diketahui tentang India. Jawad, seorang pemuda Karimabad, sangat takjub mendengar orang di India sana juga bicara bahasa yang sama dengan di Pakistan.

Karena alasan sosiolinguistik, yang dipengaruhi juga unsur sejarah, kultur, politik, Urdu dan Hindi diangkat menjadi dua bahasa yang berbeda. Urdu adalah bahasa nasional Pakistan, yang semula adalah bahasa kaum minoritas dan mohajer (pendatang dari India), kemudian menjadi lingua franca, dan selanjutnya bahasa resmi negara baru ini. Di India, Urdu menjadi salah satu dari 23 bahasa resmi negara. Dengan demikian, bahasa Urdu/Hindi adalah bahasa keempat terbesar jumlah penuturnya di dunia setelah Mandarin, Inggris, dan Spanyol.

Besarnya penggunaan bahasa Urdu/Hindi membuat saya merasa bersyukur sekali sempat belajar bahasa Urdu selama di perjalanan. Waktu saya di Nepal, kemampuan bahasa Urdu telah menolong saya ketika berhadapan dengan gerilyawan Maois. Di India, dengan kemampuan Urdu saya, yang sering dibilang orang adalah bahasa Hindi, saya bisa menemukan cerita menarik di pedalaman kampung kumuh sekali pun. Dan sekarang, saya berada di negeri berbahasa resmi Urdu – Pakistan.

Walaupun sebagai bahasa resmi Pakistan, bahasa Urdu bukanlah bahasa asli mayoritas orang di sini. Mirip juga keadaannya dengan bahasa Indonesia yang berlandaskan bahasa Melayu Riau, yang juga bukan bahasa suku mayoritas. Tempat kelahiran bahasa Urdu masih diperdebatkan hingga sekarang, tetapi kebanyakan merujuk pada kota-kota di India. Lucknow, ibu kota negara bagian Uttar Pradesh di India, disebut-sebut sebagai tempat di mana bahasa Urdu yang paling murni dituturkan.

Di Pakistan, banyak orang yang tak bisa berbahasa Urdu dengan baik dan benar. Di Karimabad sini, orang bicara bahasa Burushashki, yang sama sekali berbeda. Di Lembah Gojal yang dipakai adalah bahasa Wakhi, masih serumpun dengan Persia. Masih ada bahasa Shinia di Gilgit. Di bagian barat dan selatan Pakistan mereka bicara bahasa Pathan dan Baluchi. Semua bahasa ini jauh berbeda secara struktural dan gramatikal dengan bahasa Urdu. Walaupun mereka bisa bercakap-cakap dengan sempurna, tetapi kalimat Urdu mereka penuh kesalahan.

Apa sebab? Bahasa Urdu tak mudah. Angka dari 1 sampai 100 semua harus dihafalkan, karena tidak ada aturan yang baku. Bahkan bilangan ½, ¾, 1½, 2½, masing-masing ada istilahnya sendiri. Tata bahasa Urdu pun sangat sulit. Setiap kata benda punya jenis kelamin (gender). Setiap kata kerja harus disesuaikan gendernya dengan subyek. Ada banyak bentuk perubahan kata kerja sesuai tanda waktu. Yang paling bikin pusing, untuk kalimat bentuk lampau, obyek berubah menjadi subyek dan subyek menjadi keterangan.

Misalkan, kalimat “sekarang saya menonton TV” berubah menjadi  “kemarin, bagi saya televisi ditonton”. Untuk mengatakan “saya bisa bahasa Urdu” kita harus membalik strukturnya menjadi “kepada saya bahasa Urdu datang (mujhe Urdu aati hai)”, di mana ‘bahasa Urdu’ menjadi subjek.

Konsep ini terlalu sukar bagi para pengguna bahasa minoritas yang tidak berhubungan dengan Urdu. Dan ini menjadi bahan olok-olok orang Pakistan seantero negeri. Saya pernah mendengar berbagai lelucon tentang parahnya bahasa Urdu orang Pathan. Orang Pathan – juga disebut sebagai Afghan – mendiami propinsi N.W.F.P (North-Western Frontier Province), berbatasan dengan Afghanistan. Mereka banyak yang bermarga Khan. Karenanya orang Pakistan mencemooh orang yang bahasa Urdunya parah dengan julukan Khan Sahab, atau ‘Tuan Khan’.

“Di Northern Areas sini tidak ada marga Khan,” keluh Hussain si juru masak pemondokan tempat saya menginap, “kami bukan orang Pathan. Tetapi kalau turun gunung, mereka [orang Pakistan] juga memanggil kami Khan Sahab!”

Tetapi malah itu asyiknya bahasa Urdu. Bahasa ini sangat lembut, penuh intrik, dan orang bisa membuat banyak lelucon dengan permainan katanya. Saya pernah diajari sebait puisi yang setiap katanya punya dua arti. Belum lagi kalau kita belajar bahasa Urdu yang sangat halus, diperkaya dengan indahnya kata-kata bahasa Persia. Kesopanan tingkat tinggi ini, atau disebut takalluf, menghaluskan kalimat “Pergi kamu!” menjadi “bawalah pergi segala kehormatanmu! (tashrif le jaie), “silakan duduk!” menjadi “letakkanlah kehormatanmu (tashrif rakhie), dan “masuk!” menjadi “bawa kemari kehormatanmu (tashrif laie)”. Betapa manisnya kata tashrif di sini.

Saya masih harus belajar teramat banyak untuk bercakap lebih banyak dalam bahasa ini. Penduduk desa Karimabad pun sangat senang melihat turis asing yang begitu bersemangat belajar Urdu. Tak banyak jumlahnya.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 26 Januari 2009

12 Comments on Titik Nol 125: Urdu

  1. Apa sama seperti bahasa melayu dan bahasa indonesia?

  2. Mas udah brp bhs yg dkuasai??

    • Mas…. Kapan lagi jalan2 adventurenya ke afrika atau amerika latin atau italia??? ditunggu kisah selnjutnya. Sekarang lagi dimana. Mas?

  3. Bahasa yang unik yaa

  4. Selalu terpukau dengan kisah-kisahnya. Terus berkarya Gus Weng.

  5. Haha bang agus bisa nyanyi india?

  6. Mngkin hindi-urdu sma spt bhasa catalan dan spanish(castellano )

  7. Ida Soe: Kalau dikuasai tidak banyak, tetapi yang pernah belajar dan pernah lancar ada lusinan (sekarang banyak yang lupa karena lama tidak dipakai, termasuk Urdu)

  8. Ario Irdani Ardian: nyanyi doang bisa, enak tidaknya didengar itu urusan lain 😀

  9. jdi tata cara belajar bhs Urdu itu mirip dg gramatikal Arab Sorrof Nahwu, Manthik dan Balghah. bhs Urdu dan Arab mmg ada kemiripan dg bhs Farsi krn bhs Persi adlh bahasa tertua dr bhs Arab.

  10. Ohya knp nyari buku Agustinus itu sulit sekali?

  11. keren ya mas agus, Babang aja belajar bahasa inggris belum khatam juga 😂

Leave a comment

Your email address will not be published.


*