Recommended

Titik Nol 126: India di Hati

Film India mendominasi persewaan VCD di Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Film India mendominasi persewaan VCD di Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

India adalah musuh bebuyutan Pakistan. Jutaan dolar dihabiskan Pakistan untuk membangun pertahanan kuat menghadapi negeri tetangganya yang raksasa itu. Tetapi saya masih merasakan jiwa India hidup di sini.

Karimabad mungkin adalah sebuah dusun kecil yang terlupakan dalam peta dunia. Kehidupan tenang tanpa gelora mengalir lambat di lereng pegunungan yang hening dan sejuk ini. Salju yang sejak kemarin mengguyur Karakoram menjadikan tempat ini terbungkus putih yang sempurna.

Di tengah kesepian itu, menyeruak lagu Bollywood dari televisi kabel. Salman Khan beradu dengan Akshay Kumar di tepi pantai, menarik-narik lengan Priyanka Chopra seperti lomba tarik tambang. Mereka berdendang riang, Mujhse Shaadi Karogi…, Menikahlah Denganku…. Sejurus berikutnya, gambar berganti dengan panggung gegap gempita. Emran Hashmi, sang superstar Bombay yang selalu tampil dalam film-film seksi, menjadi bintang lagu Aashiq Banaya Aap Ne, Kau Jadikan Aku Kekasih, soundtrack dari film berjudul sama. Ketika saya di Rajasthan beberapa bulan lalu, semua orang memutar lagu ini. Dari radio, televisi, sampai ke pedagang kaki lima di pinggir jalan semua memutar Aashiq Banaya berulang-ulang. Selang berapa bulan, di Pakistan lagu ini juga meledak.

Kakek Haider dan kawan-kawannya, sekelompok lelaki tua berjenggot, datang ke pondok. Begitu listrik datang, mereka bersorak. Televisi langsung menyala. Apalagi kalau bukan serial opera sabun India, Vuh Ranehwali Mehlon Ki, Dialah Perempuan Penghuni Istana? Saya sempat mengikuti beberapa episode. Ceritanya klise, mimpi ala Sinderela, seorang gadis miskin yang cantik yang jatuh cinta pada pria tampan dari keluarga kaya raya. Nama bintang utamanya juga tak kalah klise. Sang pria tampan bernama Raj, artinya ‘raja’, dan si gadis miskin bernama Rani, artinya ‘ratu’. Acara ini, mengingatkan pada acara televisi di Indonesia yang penuh dengan musik latar yang mengganggu, zooming lensa dekat jauh dekat jauh yang membuat pusing, dan alur cerita yang selalu itu-itu saja.

Tetapi jangan berdebat dengan Kakek Haider atau tukang masak si Hussain atau adiknya si Aslam yang cinta mati dengan serial ini. Sebagai penggemar fanatik, mereka tidak suka mendengar pendapat saya yang miring-miring. Apakah mereka begitu menjiwai sebuah mimpi, tentang perjuangan seorang gadis demi cinta pada seorang pria pujaan hati? Di negeri macam Pakistan dan India, di mana perkawinan adalah buah tangan perjodohan keluarga, cinta sepasang kekasih hingga melenggang ke mahligai rumah tangga memang hanya mimpi bagi kebanyakan orang.

Serial India ini juga menyajikan hiburan pencuci mata. Kapan lagi mereka bisa melihat gadis cantik yang bersanding dengan pria tampan kalau bukan di televisi? Pemandangan ini tak ada di jalanan desa Karimabad yang mungil, di mana hubungan antar jenis manusia dibatasi sekat yang tak terlihat.

Hindutan ki larkion ke bara dudh hai… Gadis Hindustan punya [maaf] payudara yang aduhai…,” si koki Hussain berbisik sambil berkedip-kedip nakal.
Bagaimanakah kebencian mereka dengan negeri tetangga.

“Kami benci India, tetapi sayang gadis-gadis dan filmnya,” Hussain menandaskan.

Saya melihat persewaan DVD dan VCD penuh dengan film-film Bollywood, hiburan murah berjam-jam dan menawarkan sejuta mimpi. Manusia-manusia dari dua sisi perbatasan ini ternyata berbagi mimpi yang sama.

Selain isi cerita yang sesuai dengan mimpi orang Pakistan (juga orang Indonesia) apa lagi yang membuat film India begitu populer di negeri muslim ini? Faktor bahasa tidak bisa diremehkan. Percakapan bahasa Urdu di Pakistan dengan bahasa Hindi di India boleh dikatakan hampir sama persis. Kultur pun berasal dari akar yang sama.

Mereka juga punya kesamaan sejarah masa lalu.. Dulu Pakistan, India, dan Bangladesh sama-sama di bawah jajahan kolonial Inggris, dalam wadah bernama British India – kekuasaan Britania terbesar di seluruh Asia. Pakistan baru terbentuk tahun 1947 sebagai negara bagi umat Muslim di tanah India. Sejak saat itu, orang mulai bicara tentang identitas ke-Pakistan-an.

Apakah identitas Pakistan itu? Apakah Islam cukup kuat untuk menjadi identitas bersama negeri baru ini? Pakistan kala itu terdiri dari Pakistan Barat (Pakistan sekarang) dan Pakistan Timur (Bangladesh). Kenyataannya, Islam tidak cukup kuat menjadi identitas bersama Pakistan Barat dan Timur sehingga akhirnya Bangladesh merdeka tahun 1971. Memang banyak faktor yang menyebabkan lepasnya Bangladesh, tetapi renggangnya asimilasi antara warga kedua belahan Pakistan itu adalah salah satu sebabnya. Cuma agama yang sama, namun bahasa, kebiasaan, makanan, busana, susunan kemasyarakatan, semuanya berbeda.

Dalam perkembangannya, perdebatan tentang identitas Pakistan terus mewarnai kolom opini surat kabar. Saya sempat merenung dalam membaca sebuah surat pembaca yang mengeluhkan ‘serangan bertubi-tubi’ serial dan film Hindustan yang membuat orang Pakistan semakin terseret dalam jebakan kebudayaan India. Jangan kaget kalau karena kebanyakan nonton film India, umat Muslim pun bersalam Namaste. Seorang penyiar acara memasak Hum TV pernah menyapa para pemirsa dengan “Namaste” sambil mengatupkan kedua tangan di dada, persis seperti orang Hindu.

Ketika identitas negara baru Pakistan masih terus digali, identitas ‘pra-Pakistan’ – kultur lokal sebelum lahirnya negara ini, yang banyak yang mirip dengan Hindustan sana – masih terus hidup subur. Tak heran, walaupun pemerintah sudah melarang film Bollywood untuk diputar di bioskop, orang masih gemar menontonnya melalui persewaan VCD atau TV kabel dari India. Di sini nama Amitabh Bacchan, gosip percintaan Abishek dan Aishwarya Rai, atau film-film seksi Emran Hashmi, juga menjadi bahan perbincangan sehari-hari. Kalau di India kata ‘Chalo Pakistan” atau ‘enyahlah ke Pakistan’ adalah umpatan kasar yang disambut amarah, di sini ‘Chalo Hindustan’ paling disambut dengan tatap mata heran karena tidak dimengerti artinya.

Bagaimana dengan kebudayaan pop Pakistan?

“Saya benci India,” kata seorang pemuda Lahore, “karena kata teman saya yang tinggal di Inggris, setiap kali film India diputar di bioskop, orang Pakistan juga menonton. Tetapi ketika giliran film Pakistan diputar, orang India tidak ada yang datang.”

Produk film Pakistan memang tidak terlalu favorit di India, bahkan di Pakistan sendiri pun tidak. Tetapi jangan salah, musik qawwali Nusrat Fateh Ali Khan sangat dihormati di sana. Duo rapper Pakistan ‘Strings’ mendulang sukses yang sangat besar di India melalui konser mereka, dan band Sufi Janoon menjadi jawara di Asia Selatan, walaupun di Karimabad sini orang tetap lebih kenal Aishwarya Rai dan Rani Mukarji.

Saya kembali hanyut dalam acara TV kabel Pakistan. Malam ini, sehabis siaran berita, diputar premiere film Bollywood berjudul “Chocolate”. Settingnya di Eropa, gerak-gerik dan gaya hidup pemainnya kebarat-baratan. Di mata saya ini adalah film Hollywood yang pemainnya orang India semua yang berujar bahasa Urdu atau Hindi. Kakek Haider melihat sekilas, langsung pergi lagi. Mungkin mimpi yang dijual dalam film ini sudah bukan konsumsi orang dari zamannya. Sebaliknya, Hussain melotot menyaksikan kemolekan artis-artis dari seberang perbatasan sana.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 27 Januari 2009

Leave a comment

Your email address will not be published.


*