Recommended

Titik Nol 143: Perkabungan

Acara jenazah (AGUSTINUS WIBOWO)

Acara jenazah (AGUSTINUS WIBOWO)

Hujan rintik-rintik masih mengguyur pegunungan Kashmir. Dingin menggigit. Di bawah selimut tebal yang hangat terasa sangat nyaman. Memang waktu terbaik untuk tidur. Tetapi tiba-tiba datanglah berita duka itu.

Saya membuka mata dengan malas. Sesaat saya lupa sedang berada di mana. Malam pertama di Noraseri, dengan suara gemuruh tanah longsor yang sambung-menyambung, mengantarkan segala macam mimpi aneh dalam tidur saya.

Orang-orang mulai ribut dalam kemah, bicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Anis, pria Kashmir empat puluh tahunan berkumis tebal ini menjelaskan dalam bahasa Urdu, “Ada banda (orang) yang barusan meninggal.” Bahasa Urdu saya masih pas-pasan sekali. Saya tidak menangkap maksudnya. “Apa? Ada bandar meninggal?” Para sukarelawan terpingkal-pingkal. “Bukan. Bukan bandar. Tetapi banda.”

Belakangan saya tahu bandar artinya monyet. Sungguh kesalahpahaman yang tidak pada tempatnya, karena orang yang meninggal ini sangat dihormati di desa Noraseri.

Suasana kembali serius. “Kemarin Haji Sahab, Pak Haji, masih ke sini. Dia masih segar bugar. Hari ini sudah meninggal?” Pak Anis masih tercengang dengan kabar yang disampaikan penduduk desa.

“Sakit jantung! Memang sangat mendadak sekali!”

“Kita mesti turun, ikut berbelasungkawa.”

Para sukarelawan sibuk berdiskusi di kemah kami. Rashid menoleh ke arah saya. “Kamu ikut saja. Di sana kamu bisa potret-potret. Lumayan, baru semalam di sini kamu sudah mendapat kesempatan foto yang bagus.”

Saya menggeleng. Saya sama sekali tak pernah kenal Haji Sahab. Orang-orang desa sini juga tidak ada yang kenal saya, karena saya baru datang kemarin sore. Apalagi potret-potret di acara pemakaman, sama sekali bukan ide yang baik. Ini bukan tempat wisata. Hari ini, dalam sebuah rumah di lereng gunung sana, sedu sedan membahana dan air mata membanjir. Pantaskah saya ikut datang?

Toh Rashid akhirnya menyeret saya untuk ikut serta dalam rombongan. Total 15 orang. Perkemahan langsung kosong. Hanya satu atau dua orang yang ditugasi menjaga perkampungan tenda kami.

Pak Haji baru meninggal tadi pagi (AGUSTINUS WIBOWO)

Pak Haji baru meninggal tadi pagi (AGUSTINUS WIBOWO)

Rumah Pak Haji terletak di bawah, di lereng bukit. Saya yang masih belum terbiasa dengan jalan gunung yang curam ini harus digandeng erat-erat oleh Anis Sahab dan Aslam Sahab. Agak memalukan, memang. Sudah berkali-kali saya tergelincir, apalagi sekarang jalan naik-turun ini semakin licin dengan hujan dan lumpur.

Ini pengalaman pertama saya mengikuti acara perkabungan. Saya sangat kikuk, takut-takut melakukan kesalahan dalam upacara yang kental dengan tradisi dan nuansa keagamaan ini. Rashid, malah jauh lebih aktif daripada saya. Dia terus menggandeng saya, menembus kerumunan pria-pria desa yang masih tergumun-gumun akan meninggalnya Haji Sahab yang begitu mendadak.

Jenazah Haji Sahab diselimuti kain hijau bertuliskan huruf-huruf Arab. Di sekelilingnya dua puluhan orang duduk. Kamar ini tempat terlarang bagi laki-laki, hanya ada perempuan di sini. Yang paling dekat dengan jenazah menangis dan meratap, menebarkan aroma kesedihan ke angkasa raya. Mereka nampaknya anggota keluarga yang ditinggal pergi oleh mendiang. Perempuan-perempuan lain, para tetangga yang ikut melayat, melantunkan doa-doa, mengumandangkan ayat-ayat.

Purdah, kata Rashid, adalah konsep yang sangat kuat di Pakistan. Purdah artinya tirai. Sebuah tirai tak kasat mata yang memisahkan perempuan dari laki-laki. Para pelayat laki-laki dipisahkan dari perempuan. Mereka yang perempuan cuma membaca doa di sini, karena mereka tidak diperkenankan ikut acara pemakaman, yang hanya khusus untuk laki-laki. Itulah sistem purdah.

Berikutnya, para pria mengusung jenazah dari dalam rumah. Hujan rintik-rintik masih terus mengguyur, seolah langit ikut mewakili kesedihan para penduduk. Jenazah Haji Sahab di dalam kafan dan di bawah kain hijau, juga dibungkus plastik supaya tidak basah.

Di bawah guyuran gerimis, para pelayat menghantar ke pemakaman (AGUSTINUS WIBOWO)

Di bawah guyuran gerimis, para pelayat menghantar ke pemakaman (AGUSTINUS WIBOWO)

Iring-iringan para pelayat mengular-ular sepanjang lereng gunung, menuju lapangan di bawah sana. Jenazah diletakkan di atas tanah. Orang-orang berbaris, menghadap arah kibla.

“Allahuakbar!”

Salat jenazah dimulai. Senyap. Yang ada hanya suara merdu imam yang mempimpin para pelayat memanjatkan doa bagi Pak Haji yang baru saja pergi. Para pelayat tetap berdiri, mulut komat kamit, di bawah lindungan payung warna-warni. Kesunyian berpadu dengan kekhusyukan, ditambah lagi gerimis rintik-rintik yang membasahi desa yang sudah berubah menjadi puing-puing ini. Saya merasa bulu kuduk saya berdiri.

Jenazah tidak langsung dikubur. Sekarang almarhum disemayamkan di atas ranjang, di dalam sebuah bangunan yang sudah bolong-bolong temboknya, hancur karena gempa. Selapis demi selapis, kain pembungkus jenazah dibuka. Kini wajah Pak Haji jelas terlihat. Kepalanya ditumbuhi uban pendek. Jenggot dan kumis tipisnya sudah memutih. Matanya terpejam. Wajahnya memancarkan kedamaian, tanpa tanda-tanda penderitaan.

Keluarga mendiang meminta saya memotret wajah Pak Haji yang sudah terbujur tak bernyawa ini. Saya masih belum terbiasa dengan adat masyarakat sini dan takut berbuat salah, hanya berani mengambil gambar dari kejauhan. Para pelayat berbaris memasuki gedung hancur ini, sejenak berdiri di samping jenazah untuk memberi penghormatan terakhir pada almarhum.

Ratapan dan tangisan para perempuan begitu memilukan, mengiris-iris ulu hati. Ketika giliran mereka memberi penghormatan, ledakan tangisan berpadu dengan rintik hujan, menguatkan nuansa kelabu perkabungan.

Setelah dibaringkan hampir satu jam dan diperlihatkan wajahnya kepada setiap pelayat yang datang, jenazah sekarang diberangkatkan ke kaberistan, alam kubur. Isak tangis para wanita masih terdengar di dalam rumah hancur ini. Para pria desa sudah berangkat mengusung jenazah menuju ke pekuburan.

Putri Pak Haji yang tak sempat melihat bapaknya untuk terakhir kalinya (AGUSTINUS WIBOWO)

Putri Pak Haji yang tak sempat melihat bapaknya untuk terakhir kalinya (AGUSTINUS WIBOWO)

Baru saja liang lahat ditutup, sayup-sayup terdengar ledakan tangisan seorang wanita. Begitu keras dan pilu.

Putri Pak Haji yang satu ini baru datang dari Rawalpindi. Karena hujan dan tanah longsor di Kashmir, ia terlambat datang. Baru saja beberapa menit yang lalu, jenazah Pak Haji dipendam. Sang putri menangis histeris, menyesali nasibnya yang tak sempat menyaksikan wajah ayahnya terakhir kalinya.

Kelabu menyelimuti bumi.

Selamat jalan, Haji Sahab.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 19 Februari 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*