Recommended

Titik Nol 145: Belajar di Atas Puing-Puing

Sekolah tenda (AGUSTINUS WIBOWO)

Sekolah tenda (AGUSTINUS WIBOWO)

Kemah biru besar terletak di bukit di atas perkemahan tim sukarelawan kami. Pagi hari, ketika kabut masih menyelimuti badan gunung, saya masih terbungkus selimut tebal mengusir dingin, bocah-bocah di luar sana sudah bernyanyi lagu kebangsaan. Di tenda biru itu mereka sekolah, belajar di atas puing-puing gedung sekolah yang sudah ambruk.

Tenda ini sumbangan China. Tertulis huruf Mandarin besar – Jiu Zai – Pertolongan Bencana. Saya dulu pernah melihat ratusan tenda serupa di Aceh sehabis tsunami. Sekarang, tenda China ini juga populer di daerah gempa Pegunungan Kashmir.

Hari ini, semangat anak-anak sekolah yang belajar di pagi yang masih dingin menggigit, turut membakar tekad saya untuk bekerja lebih giat. Walaupun medan sangat berat, saya membulatkan tekad untuk terus berjalan bersama Ijaz Gillani dan Manzur, dua sukarelawan asal Islamabad. Mereka orang kaya, tetapi tak segan bekerja di desa seperti ini.

Tugas kami hari ini adalah mendata keluarga yang menerima sumbangan bahan bangunan rumah. Beberapa hari ini, NGO kami membagikan sheet CGI untuk atap rumah, yang katanya lebih tahan gempa dan sejuk di musim panas. Sekarang, beberapa keluarga sudah menyelesaikan pembangunan rumah mereka, dan tugas kami adalah mendokumentasikan aktivitas mereka. Total ada 500 rumah permanen yang dibangun di pegunungan ini, di Noraseri, desa-desa di lereng atas, dan lereng bawah sampai ke jalan raya dan lembah sungai.

Jalan naik turun gunung begini tak mudah, apalagi karena hujan berhari-hari, lumpur menggenang di mana-mana. Berkali-kali saya terpeleset. Tetapi saya tak mau menyerah di sini, apalagi teringat kanak-kanak mungil yang begitu giat belajar dalam kondisi yang parah seperti ini.

Madam – ibu guru – mengajar di luar tenda (AGUSTINUS WIBOWO)

Madam – ibu guru – mengajar di luar tenda (AGUSTINUS WIBOWO)

Farman, seorang pria gemuk keluarga menengah di Noraseri, juga punya sekolah sendiri. Ia pemilik sebuah sekolah swasta yang sekarang juga tinggal sebuah tenda terpal. Tak ada meja dan kursi, semua duduk bersila. Gedung sekolah sudah rusak berat, tereduksi menjadi tumpukan batu tak berguna. Dulu muridnya ada 67, sekarang tinggal 55 orang saja. Istrinya mengajar, bersama dua orang guru muda lainnya yang masih berumur 15 tahun. Tiga orang guru, lima puluhan murid dari kelas 1 sampai 5 semua belajar di bawah tenda yang sama. Yang kelas tiga mengerjakan soal matematika, yang kelas satu belajar membaca. Campur aduk. Tetapi mereka tetap belajar. Istri Farman, berkerudung putih, dengan telaten mengarahkan konsentrasi murid-muridnya.

SPP murid-murid Farman seharga 100 sampai 160 Rupee per bulan, tergantung kemampuan keluarga. Dibandingkan SPP sekolah negeri yang cuma 12 Rupee per bulan, angka itu masih terbilang tinggi.

“Sama sekali tidak mahal,” kata Farman, “uang SPP murid ini hanya cukup untuk membayar gaji guru. Desa kami terlalul miskin, dan pendidikan itu bukan untuk mengeruk keuntungan.”

Di puncak bukit, ada sekolah lain. Gedungnya sudah hancur lebur. Yang tersisa hanya tumpukan batu yang menghampar. Gedung kepala sekolah sekarang cuma tinggal sederet batu mengelilingi beberapa meja dan kursi yang sudah rusak. Luka-luka gempa yang masih tergores hingga hari ini.

“Dulu ada 85 murid laki-laki di sini,” kata kepala sekolah, “Waktu gempa, murid-murid sudah masuk kelas. Sesudah bencana itu, mereka tersebar ke mana-mana. Ada yang meninggal, ada yang mengungsi. Sekarang tinggal 30 bocah saja.”

Di Pakistan, murid laki-laki dan perempuan tidak belajar di sekolah yang sama. Di bawah terik matahari, bocah-bocah ini belajar. Beberapa murid kelas rendah belajar di lapangan. Mereka duduk di tanah, mengerjakan hitungan matematika.

“Tak ada meja,” kata gurunya, “banyak murid yang sekarang malah merasa nyaman duduk di tanah.”

Pak guru di atas puing-puing gedung sekolahnya (AGUSTINUS WIBOWO)

Pak guru di atas puing-puing gedung sekolahnya (AGUSTINUS WIBOWO)

Murid kelas atas belajar di tenda. Berdesak-desakan. Satu bangku sempit, yang sejatinya untuk dua orang, kini dipakai empat sampai lima siswa. Dalam keadaan susah pun, mereka tetap belajar.

Syed Gillani, seorang guru, tampak berkaca-kaca mengenang kembali Kashmir yang indah. Saya bersamanya memandang lembah yang menghampar, hijau dan damai. “Chaval – nasi – dari Kashmir sudah tersohor kelezatannya. Kami tinggal di bumi yang subur. Tetapi beberapa tahun lalu, kekeringan melanda. Banyak penduduk yang pindah ke Karachi atau Lahore untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dan sekarang, bencana lain datang lagi. Semuanya hancur lebur.”

Kami berdiri di atas tumpukan batu-batu yang bertebaran, menyaksikan bocah-bocah yang asyik bermain kriket waktu jam istirahat. Di kejauhan terdengar deru helikopter pembawa bantuan pangan, menjangkau desa-desa terpencil dan terisolasi di lereng gunung. Manusia begitu kecil di sini, merayap pada ratusan desa yang tersebar di setiap lekukan gunung besar. Bocah yang berlarian mengejar bola bagaikan lalat-lalat mungil dibandingkan gunung-gunung hijau yang mengelilingi. Suatu ketika, gunung-gunung tinggi itu berguncang, mengalir bak air bah, melumatkan manusia yang merayap di atasnya. Sekolah ambruk, murid-murid menghilang. Yang tersisa hanya tumpukan batu, mengubur semua mimpi dan kejayaan masa lalu.

Bendera Kashmir berkibar-kibar diterpa deru angin. Tak ada bendera Pakistan. Dalam bahasa Urdu, nama daerah ini adalah Azad Jammu & Kashmir, Jammu dan Kashmir Merdeka. Kashmir di sisi Pakistan selain punya bendera sendiri juga punya presiden, perdana menteri, dan pemerintahan terpisah. India menyebut daerah ini sebagai Pakistan Occupied Kashmir (POK). Pakistan juga menyebut Kashmir di wilayah India sebagai ‘Kashmir Terjajah’. Merdeka atau terjajah, semuanya relatif, tergantung kepentingan politik mana yang memandangnya.

“India sangat zolim,” kata seorang guru yang mengaku mengungsi dari Kashmir di sisi India bersama keluarganya tahun 1999, “Tetapi bagaimana pun, rumah kami ada di sana. Tentu saya ingin kembali ke sana. Ini bukan berarti Pakistan tidak baik. Bagaimana pun juga, semua orang rindu rumahnya, bukan?” Masih banyak orang Kashmir India yang mengungsi ke Pakistan, ada ribuan di dusun Kharkar, dan semakin banyak lagi selepas bencana gempa.

Belajar membaca di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO)

Belajar membaca di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO)

Kesedihan tergambar jelas di wajah guru berjubah shalwar qamiz ini. Sebagian besar kerabatnya masih tinggal di India. Sekarang pria ini hidup sebagai manusia tanpa kewarganegaraan, tak punya negara tempat ia boleh melabuhkan jiwa kebangsaannya. Hanya ada Kashmir, itu pun terbelah dua.

Bendera Azad Kashmir berkibar-kibar di atas tumpukan batu. Bocah-bocah yang sudah berkeringat bermain kriket, kini kembali duduk di lapangan, menekuni buku pelajaran. Angin terus menderu di lereng barisan gunung hijau.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 Februari 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Comments are closed.