Recommended

Titik Nol 148: Lautan Tenda

Lautan tenda pengungsi di Narol (AGUSTINUS WIBOWO)

Lautan tenda pengungsi di Narol (AGUSTINUS WIBOWO)

Jantung kota Muzaffarabad, ibu kota Azad Jammu dan Kashmir, terletak di persimpangan dua sungai paling penting di Pakistan, Neelum dan Jhelum. Perbukitan kota ini menjamin kesejukan udara setiap saat. Pemandangannya pun tentram. Kalau bukan karena menjadi sengketa antara India dan Pakistan, dan kalau tidak diluluhlantakkan oleh gempa dahsyat 8 Oktober 2005, kota ini pasti menjadi tujuan wisata favorit.

Muzaffarabad bukan kota besar. Jalan raya menghubungkan distrik Chella Bandi di utara sampai ke Gedung Sekretariat di ujung selatan, panjangnya cuma empat kilometer. Karena berbukit-bukit, jalanan di sini juga naik turun, menyusuri lereng gunung. Beberapa lintasan sangat terjal, sehingga tak jarang mobil harus berputar-putar untuk naik. Pejalan kaki tak perlu repot karena pemerintah membangun undak-undak sepanjang jalan pintas. Jalan setapak merambah kota ini bak benang kusut, membuat Muzaffarabad semakin menantang untuk dijelajah sebagai labirin raksasa.

Muzaffarabad punya kebanggaan sejarah. Benteng Merah, atau Lal Qila, dibangun pada pertengahan abad XVII oleh Sultan Muzaffar Khan, pendiri kota Muzaffarabad. Benteng ini rusak parah karena gempa. Beberapa bagian sudah tereduksi menjadi tumpukan batu.

Landmark lainnya kota ini adalah sebuah hotel mewah bernama Neelum Valley Hotel, terletak di tebing menjorok ke Sungai Neelum. Pemiliknya adalah seorang menteri di Azad Kashmir, Khan Abdul Waheed Khan. Hotel kebanggaan ini pun hancur lebur dalam bencana dahsyat Asia Selatan itu. Bangunan megah hotel berbintang ini terlempar ke dalam sungai yang mengalir deras, menjadi salah satu dari ratusan ribu tragedi di tanah Kashmir. Abdul Waheed dan istrinya tewas, bersama dengan 14 anggota keluarga lainnya. Keluarga itu hanya menyisakan seorang putra yang kini sebatang kara, yang pada saat kejadian sedang menempuh studi di Inggris.

Wartel (AGUSTINUS WIBOWO)

Wartel (AGUSTINUS WIBOWO)

Bukan hanya bangunan besar saja yang hancur lebur. Pertokoan dan rumah penduduk sepanjang jalan utama Hall Road pun masih menjadi saksi ganasnya bencana alam ini. Beberapa pemilik toko nekad menjalankan usaha di bangunannya yang retak-retak, dengan resiko bisa setiap saat ambrol dengan goncangan gempa sekecil apa pun. Yang lainnya menggelar dagangan begitu saja di pinggir jalan. Bagaimana pun juga, pasar dan perekonomian sudah mulai terdengar perputaran rodanya.

Jalanan dipenuhi banyak bocah yatim yang mengemis setetes belas kasihan. Mungkin ini akan menjadi pemandangan Muzaffarabad hingga beberapa tahun ke depan. Gempa dahsyat yang menurut catatan pemerintah menelan setidaknya 70.000 korban jiwa menghasilkan entah berapa ribu yatim piatu, jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan kehidupan kembali merangkak dari reruntuhan dan puing-puing. Gempa ini juga mengubah wajah Muzaffarabad. Kini hadir bercak-bercak ‘kota tenda’ yang didiami ribuan pengungsi dari desa-desa di pegunungan sekitar.

Zindagi, o zindagi. Allah malik hai. Hidup ya hidup, Tuhan memang raja (yang menentukan),” Muhammad Nassir, seorang pengungsi, hanya bisa pasrah. Sudah lima bulan ini ia tinggal bersama istrinya, kedua adiknya, dan bayi kecilnya. Setidaknya Nassir masih termasuk beruntung, tidak kehilangan seorang pun anggota keluarganya. Sekarang ia tinggal di sebuah tenda kumuh di tengah perkampungan tenda di Stadion Narol.

Bangkit dari puing-puing reruntuhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bangkit dari puing-puing reruntuhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya tercengang melihat lautan tenda yang memenuhi seluruh penjuru stadion ini. Ini adalah lapangan olah raga terbesar ketiga di Pakistan, dan sekarang menjadi kamp pengungsi terluas sekaligus terkumuh di kota ini. Tenda-tenda tersebar semburat sejauh mata memandang. Terpal dengan logo UNHCR dan ILO menandai kehadiran PBB di tempat ini.

“Tetapi mereka tak memberi apa-apa,” kata Nassir, “selain tenda dan selimut. Tidak ada janji kapan kami akan dimukimkan. Apakah kami akan tinggal di sini selamanya? Hanya Allah yang tahu.” Nassir bekerja sebagai satpam di sebuah NGO untuk menghidupi keluarganya di tenda sederhana yang dipenuhi kasur dan perabotan masak ini. “Kami tak bisa bergantung pada siapa pun. Kami harus bertahan hidup dengan kekuatan kami sendiri.”

Terlepas dari segala kesusahan yang dialami para pengungsi ini, saya tidak melihat air mata, kecuali tangisan bayi yang kadang meraung ketika gempa kecil mengguncang. Yang saya rasakan hanya pengharapan dan keyakinan untuk bangkit dari kubangan kehancuran ini. “Kami pasti bisa pulih,” kata Jalal-ud-din, pengungsi berusia 36 tahun yang putrinya menderita cacat jasmani, “kami bahkan akan pulih lebih cepat daripada Aceh di Indonesia!”

Aku pun bisa memotret (AGUSTINUS WIBOWO)

Aku pun bisa memotret (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah kecil bermain riang di antara barisan tenda. Lapangan yang lebarnya tak sampai tiga meter pun bisa menjadi tempat bermain kriket atau voli. Seorang bocah bahkan dengan percaya diri keluar dari tenda untuk memotret saya dengan sebuah kamera mainan dari plastik.

Terlepas dari bencana dan penderitaan, para pengungsi Kashmir ini tidak melepaskan tradisi keramahtamahan yang sudah melegenda. Hampir semua tenda mengundang saya untuk minum teh. Bahkan seorang pengungsi bersikukuh untuk menyediakan makan siang bersama saya. “Kami sudah terlanjur memasak, makanlah,” katanya, “karena engkau adalah tamu istimewa.”

Saya terharu. Kacang lentil yang sederhana dari tenda kumuh di kamp pengungsi rasanya menjadi sama istimewanya dengan kemuliaan hati pemiliknya.

“Hidup harus terus berjalan,” katanya, menyinarkan kemauan kuat untuk bangkit dari puing-puing ini.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 26 Februari 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol 148: Lautan Tenda

  1. Optimisme yang patut ditiru. Benar, dengan berpasrah pada sang Illah…semua rintangan bisa dihadapi dengan “gagah”

Leave a Reply to alana Cancel reply

Your email address will not be published.


*