Recommended

Titik Nol 149: Jalan Persahabatan, Gang Martabat

Rumah permanen yang dibangun oleh Sabit Merah Turki (AGUSTINUS WIBOWO)

Rumah permanen yang dibangun oleh Sabit Merah Turki (AGUSTINUS WIBOWO)

Gempa bumi Kashmir bukan hanya menyisakan penderitaan dan tragedi. Ada pula mukjizat dan harapan baru yang muncul dari tumpukan puing-puing reruntuhan.

Sebuah mazar, makam orang suci Muslim, terletak di dekat kawasan Sekretariat. Pada hari terjadi gempa, beberapa umat bersembahyang dalam mazar. Entah apa yang terjadi, orang-orang ini khusyuk dalam ibadah mereka, sama sekali tak merasakan goncangan dashyat yang menghancurkan Kashmir.

Betapa terkejutnya ketika mereka meninggalkan mazar, menyaksikan lingkungan Muzaffarabad yang tiba-tiba hancur lebur. Sedangkan mazar ini, bukan hanya masih berdiri, bahkan satu goresan pun tak ada. Kisah mukjizat ini yang kemudian menjadi buah bibir masyarakat Muzaffarabad.

Di dekat mazar ada sebuah madrasah. Bocah laki-laki dan perempuan yang masih kecil-kecil bersama belajar membaca Al Qur’an di bawah bimbingan sang ustadz, seorang pria gemuk berjubah, berjenggot, dan berkopiah. Mereka belajar di halaman, karena gedung madrasah sudah retak dalam keadaan parah, sangat berbahaya kalau ada goncangan sedikit saja.

“Kami datang untuk ikut merasakan air matamu,” demikian spanduk merah bertebaran di jalan utama Muzaffarabad. Spanduk ini dipasang oleh Insani Yardim Vakfi (IHH), sebuah organisasi kemanusiaan asal Turki yang sudah mengulurkan tangan di pelbagai daerah bencana di seluruh dunia. Di antara negeri-negeri Muslim, hanya Turkilah yang paling terlihat di kawasan gempa Kashmir.

Perkemahan pengungsi  IHH (AGUSTINUS WIBOWO)

Perkemahan pengungsi IHH (AGUSTINUS WIBOWO)

Mohammad Soaib, pemuda 20 tahun yang kebetulan duduk di sebelah saya waktu naik angkot, mengantar saya mengunjungi kompleks pengungsi yang dibangun oleh Palang Merah Turki. Di sini ada lima atau enam orang Turki, sebagian besar tak bisa bahasa Inggris maupun Urdu. Saya diajak berkeliling oleh penjaga pintu gerbang, orang Pakistan yang bahasa Inggrisnya di luar dugaan sangat fasih, berkeliling kompleks pengungsi ini.

Sungguh kontras dengan kamp Narol yang kumuh dan padat, kompleks pengungsi Turki ini begitu modern, tertata rapi dan bersih. Penjaga pintu mengajak saya mengunjungi rumah sakit yang dibangun Turki. Katanya, Perdana Menteri Azad Kashmir sendiri yang akan meresmikan gedung ini akhir bulan. Sekarang, gedung ini sudah terlihat bentuknya, hanya kurang daun pintu dan jendela saja. Obat-obatan untuk kebutuhan seluruh kota disimpan di dalam tenda. Sampai bulan April, udara masih cukup sejuk. Tetapi setelah April, obat-obatan ini harus sudah disimpan dalam ruangan berpendingin.

Lebih dari 1.200 korban gempa tinggal di kompleks pengungsi milik organisasi IHH dan Khubaib. Tenda pengungsi tidak campur aduk, tetapi berbaris rapi, dibagi dalam blok dan distrik. Ada dapur umum, para pengungsi tak perlu memasak di dalam tenda. Dapurnya cukup besar, 36 perempuan bisa memasak dalam waktu bersamaan. Pemakaian dapur pun ada jadwalnya.

Bocah-bocah belajar agama di kamp pengungsi Turki (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah belajar agama di kamp pengungsi Turki (AGUSTINUS WIBOWO)

Di dekat dapur umum, ada tenda sekolah. Pagi hari bocah-bocah belajar ilmu pengetahuan umum, sore hari ilmu agama. Turki yang mendanai, guru-guru Pakistan yang mengajar. Di samping tenda ada pula lapangan bermain anak-anak.

Untuk kaum perempuan yang ingin melewatkan waktu luang, ada gedung khusus untuk menjahit dan menyulam. Selain mesin jahit, malah ada pula TV berwarna ukuran besar, untuk hiburan di sela-sela berkutat dengan jarum dan benang. Ada pula ruang cuci, dilengkapi dengan sederet mesin cuci modern dan sistem pembuangan air. Kebersihan terjamin. Toilet umum pun bersih dan tidak bau.

Turki tidak terbilang negara super kaya, tetapi dedikasinya untuk menolong negeri-negeri Muslim yang tertimpa bencana patut diacungi jempol. Saya sempat tersindir oleh selentingan penjaga pintu gerbang, “Mana tim relawan dari Indonesia? Kok tidak pernah kelihatan sama sekali? Di Muzaffarabad tak kedengaran, di Manshera pun tak ada?”

Saya pernah membaca di media Internet bahwa Indonesia pun ikut mengirim tim dokter ke Muzaffarabad. Tetapi ditugaskan di mana? Bahkan petugas KBRI pada waktu itu pun tak bisa memberikan jawaban.

Selain organisasi kemanusiaan, pemerintah Turki pun ikut terjun langsung ke Kashmir. Sabit Merah Turki membangun kompleks pengungsi modern. Mereka tidak tinggal di tenda, tetapi dalam rumah permanen yang bentuk dan ukurannya sama semua – kotak kubus bercat merah dan putih. Setiap kotak rumah dilengkapi dengan kasur, televisi, meja, kursi, yang semuanya serba modern dan cantik. Balok-balok rumah ini berjajar, berbaris rapi sepanjang baris dan kolom, dibagi menjadi beberapa blok dan distrik.

Friendship Street, Confidence Avenue, Dignity Lane, demikian mereka memberi nama jalan dan gang di kompleks pengungsi ini. Semuanya adalah harapan bagaimana Kashmir harus bangkit dari keterpurukan – persahabatan, martabat, kepercayaan diri, perdamaian, cinta, kebersamaan, dan seterusnya.

“Tidak semua orang beruntung untuk bisa tinggal di sini,” kata penjaga kompleks, “kami hanya mampu menampung segini banyak. Masih tidak sedikit para pengungsi yang tinggal di kamp miskin dan kumuh.”

Kamp pengungsi pun dilengkapi taman bermain (AGUSTINUS WIBOWO)

Kamp pengungsi pun dilengkapi taman bermain (AGUSTINUS WIBOWO)

Sampai kapan? Pemerintah Pakistan sudah memberikan tanggal batas 31 Maret, semua kamp pengungsian harus dikosongkan. Ke mana para pengungsi akan pergi? Tidak ada yang tahu. Pemerintah belum siap dengan rumah penampungan. Organisasi asing dan pemerintah negara sahabat pun masih kelimpungan menghadapi kesulitan medan di pegunungan ini. Di Noraseri tempat saya bekerja, hanya beberapa keluarga saja yang sudah menyelesaikan pembangungan rumahnya. Tenggat waktu sudah begitu dekat, tetapi semua masih belum siap.

Bendera Turki berkibar gagah, di samping bendera Pakistan dan Azad Kashmir. Seorang pria yang menjadi gila karena gempa, berlari ke sana ke mari membawa bendera Turki. Begitu dalam cintanya pada Turki, negeri jauh di seberang sana yang mengulurkan tangan hingga ke pelosok pegunungan ini.

Jalan Persahabatan, Gang Martabat, Blok Perdamaian, rumah-rumah balok ini menyiratkan harapan dan tekad dari puing-puing reruntuhan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 27 Februari 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*