Recommended

Titik Nol 151: Terjebak Birokrasi Pakistan (2)

Dari Islamabad... (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari Islamabad… (AGUSTINUS WIBOWO)

Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain.

Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru.

Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal.

Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan.

Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya dibagikan kepada orang yang mengantre, kartu-kartu itu malah disebar ke udara. Kami, orang asing pelamar visa, berebutan memunguti kartu seperti pecandu lotre. Yang beruntung, baru datang langsung dapat nomor urut kecil. Yang lagi sial, sudah datang dari pagi buta dan dapat nomor urut ratusan.

Ini baru awal pengalaman di Kementerian Dalam Negeri. Petugas yang berwenang mengatakan bahwa kami harus terlebih dahulu mendapat surat No Objection Certificate (NOC) dari entah kantor apa lagi di kementrian itu. “Omong kosong macam apa lagi ini,” umpat Zahid yang sudah mulai bosan dengan segala birokrasi yang ia sendiri pun tak mengerti. Benar kata orang, kolonial Inggris mengenalkan birokrasi dan orang Pakistan mengembangkannya.

Kami sampai di kantor yang ditunjukkan oleh pegawai Visa Section tadi. Kantornya pun tidak dekat. Saya heran mengapa kantor-kantor yang berhubungan tidak diletakkan satu kompleks saja, tetapi harus disebar ke seluruh penjuru kota. Petugas di kantor ini adalah seorang kakek tua yang penampilannya sama sekali bukan seperti orang yang berwenang. Dia pun terkejut. “Apa? NOC? Kami tidak pernah membuat surat itu!”

Balik lagi ke kantor visa. Api semangat saya sudah padam sejak tadi, loyo karena retentan peraturan tidak jelas ditambah panasnya Islamabad. Sekarang kami disuruh lagi ketemu dengan pejabat yang namanya Mr. Bhatti, di kantor seksi R.

Pak Bhatti ini rupanya sedang rapat. Kami menunggu satu jam, dua jam, masih belum saja kabar. Saya mulai gelisah. Tiba-tiba Zahid berseru, “Ah, betapa bodohnya aku! Aku kenal seorang birokrat penting di kementrian ini. Birokrat harus dilawan dengan birokrat. Mari kita temui beliau dan minta bantuan.”

Koneksi, sekali lagi, adalah segala-galanya di Pakistan.

Tetapi kami seharusnya tidak senang dulu. Birokrat kawan Zahid ini malah menganjurkan saya menyerah. “Birokrasi perpanjangan visa di Islamabad memang dibuat susah, karena tekanan dari Amerika Serikat. Mungkin sebaiknya kamu mencoba di tempat lain saja.”

Kami mencoba menghubungi lagi Mr. Bhatti dengan telepon. Responnya tidak terlalu positif. “Karena NGO Anda tidak terdaftar, kami tidak bisa memperpanjang visa Anda. Kami cuma bisa memberi perpanjangan 10 sampai 15 hari, cukup buat Anda meninggalkan Pakistan.”

... naik bus malam ... (AGUSTINUS WIBOWO)

… naik bus malam … (AGUSTINUS WIBOWO)

Tak ada pilihan lain. Islamabad sudah gagal. Saya berangkat ke Gilgit sore itu juga.

Gilgit adalah kota yang jauh di utara, lebih dari 600 kilometer jaraknya dari Islamabad. Letaknya di pegunungan Himalaya, perhentian penting di lintas Karakoram Highway. Saya kini sudah berada dalam bus malam yang menempuh 20 jam perjalanan naik turun dan berbelok-belok, mendaki menuju kota Gilgit.

Lemas rasanya ketika saya sampai di Gilgit setelah perjalanan bus yang teramat menyiksa itu. Tetapi yang ada dalam benak saya cuma masalah visa, dan saya sudah teramat penat bermain-main dalam labirin birokrasi Paksitan.

... sampai ke Gilgit  ... (AGUSTINUS WIBOWO)

… sampai ke Gilgit … (AGUSTINUS WIBOWO)

Kantor DC Gilgit mungkin adalah kantor pemerintah yang paling bersahabat di negeri ini. Begitu saya datang, langsung disuguhi teh manis. Carik kantor itu, yang kagum dengan peningkatan bahasa Urdu saya, bercerita tentang indahnya naik haji dan betapa ramahnya jemaah dari Indonesia. “Apa benar orang Indonesia tidak akan menikah dulu sebelum naik haji?” tanyanya serius.

Setengah jam berikutnya, baru saya dibawa menemui DC Sahab. Sebelum saya terlibat dalam kusutnya birokrasi, saya langsung berusaha memikat hatinya dengan kemampuan bahasa Urdu saya. “DC Sahab yang baik, visa saya mau habis. Saya butuh grebi – nambah.” Grebi, adalah keunikan makan di warung Pakistan. Kalau porsi makanan kita habis, kita bisa minta grebi, nambah kuah atau nasi satu kali, tanpa dipungut bayaran. Saya menggunakan kata yang sama untuk visa saya. Saya butuh grebi visa.

... demi mengurus visa (AGUSTINUS WIBOWO)

… demi mengurus visa (AGUSTINUS WIBOWO)

Petugas itu langsung tertawa tergelak-gelak. “Zabardast! Luar biasa! Dari mana kamu bisa bahasa Urdu?” Saking senangnya, dia sampai tidak melihat bahwa visa saya bukan visa turis.

Tak sampai lima menit, saya mendapat imbuh visa Pakistan sebanyak tiga bulan. Birokrasi Pakistan, Anda memang harus tahu di mana dan bagaimana menghadapinya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*