Recommended

Titik Nol (156): Mandi Darah

Zanjir terayun (AGUSTINUS WIBOWO)

Zanjir terayun (AGUSTINUS WIBOWO)

Darah segar mengaliri punggung bocah-bocah kecil belasan tahun ini. Beberapa tetes terciprat ke wajah dan pakaian saya. Semua orang hanyut dalam nuansa perkabungan, peringatan empat puluh hari wafatnya Imam Hussain dalam perang Karbala.

Sepuluh Muharram tahun 61 Hijriyah, atau 680 Masehi, Hussain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad S.A.W, gugur dalam pertempuran di perang Karbala melawan khalifah Yazid. Lebih dari 1300 tahun berselang, umat Syiah di Pakistan memperingati peristiwa itu dengan bermandi darah.

Saya didampingi seorang pria tua berjenggot lebat yang mengaku sebagai petugas lapangan acara peringatan Chehlum hari ini. Pak tua bukan hanya memberi tahu saya harus ke mana dan meliput apa, malah masih membantu saya memanjat tembok dan pagar untuk mendapatkan angle yang bagus untuk liputan prosesi akbar ini.

Pelataran masjid Syiah Muzaffarabad dipenuhi oleh pria yang berbaris bersaf-saf, berhadap-hadapan. Mereka semua bertelanjang dada atau berkaus kutang putih. Bersamaan, mereka mengayunkan lengan kanan tinggi-tinggi, kemudian dilecutkan ke dada masing-masing dengan keras. Plak..! Kemudian lengan kiri diangkat, dipukulkan dengan kencang ke dada. Plak…! Berulang-ulang, bertalu-talu. Gemuruh pukulan serempak di dada ratusan orang berhamoni bak musik pengiring. Kadang lembut dan lambat, kadang cepat dan penuh histeria. Orang-orang ini seakan tersihir dalam maatam, memukuli dada sendiri sebagai lambang kesedihan. Sakit sudah tak terasa, ketika rasa cinta akan Imam Hussain merasuk sukma.

Parade maatam di hadapan reruntuhan gempa (AGUSTINUS WIBOWO)

Parade maatam di hadapan reruntuhan gempa (AGUSTINUS WIBOWO)

Mulut mereka melantunkan syair, menggemakan irama kesedihan akan kepergian seorang pemimpin besar yang bertempur melawan kebatilan. “O, jang-e-Karbala, Pertempuran Karbala,” sekelompok penyanyi berjubah hitam-hitam memimpin panjatan syair dengan suara bergetar, yang bila didengarkan terus-menerus bisa menerbitkan air mata.

Di sini sama sekali tak terlihat perempuan. Yang ada hanya laki-laki, mulai dari bocah enam tahunan sampai kakek tua berjenggot putih. Semua memasang raut muka yang sama, kesedihan.

Barisan jemaah berangkat dari dalam masjid, dipimpin oleh seorang bocah berwajah bule yang memegang tiang dengan gantungan puluhan kain menjulur warna-warni. Alam, atau bendera, adalah lambang suci acara perkabungan ini. Ratusan umat ini dibagi menjadi tiga rombongan. Setiap rombongan terdiri dari puluhan laki-laki dan anak-anak, serta beberapa orang penyanyi yang lagunya berirama monoton. Syairnya panjang sekali, semua tentang Ali, Hussain, dan Karbala.

Rombongan bergerak maju lambat-lambat. Setiap tiga langkah, berhenti. Lantunan syair maatam melenting, diiringi pukulan di dada. Tak sampai sepuluh menit, dada-dada telanjang itu berubah warna menjadi merah padam, bahkan ada yang sampai berdarah.

Keluar dari pelataran masjid, parade ini menyusuri gang sempit, kemudian menuju jalan besar yang menuju ke pasar Medina. Jalan raya ini masih menampakkan gurat-gurat bencana gempa. Rumah-rumah roboh di kanan kiri, dan tumpukan bongkahan batu menjadi pemandangan utama. Di bawah keagungan gunung yang wajahnya sudah terpancung karena longsor, dikelilingi oleh rongsokan rumah hancur, orang-orang ini khusyuk menjalankan ibadahnya.

Bocah-bocah kecil dengan rantai zanjir bermata tajam (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah kecil dengan rantai zanjir bermata tajam (AGUSTINUS WIBOWO)

Plak…plak…plak…. bunyi daging di dada yang dipukul keras-keras, membahana. Yang tidak ikut dalam parade, penonton sepanjang jalan, ikut hanyut dalam nuansa ini. Mereka, termasuk saya, ikut memukul dada dengan satu tangan.

Hussain mullah! Hussain mullah! Ya Imam Hussain! Ya Imam Hussain!” jeritan anak-anak terdengar nyaring. Mereka sudah berada jauh di depan, di dekat perempatan Madina Chowk. Bocah-bocah belasan tahun ini bertelanjang dada, berdiri di tengah-tengah lingkaran. Masing-masing tangannya memegang rantai.

Zanjirzani! Sebuah nama yang selalu membangkitkan kenangan akan luberan darah. Dalam bahasa Persia, kata ini berarti mencambukkan rantai. Bukan rantai sebarang rantai. Lihat di ujungnya, ada beberapa bilah pisau kecil.

Plak…plak… plak… ditambah gemerincing logam. Daging punggung tersayat pisau tajam. Darah pun menciprat dari punggung-punggung mulus puluhan bocah kecil itu. “Imam Hussain! Imam Hussain!” mereka berteriak-teriak, sambil tanpa henti menyabetkan rantai pisau ke punggung mereka, berirama.

Yang sudah sangat parah lukanya langsung disergap para penonton, supaya tidak terhanyut dalam histeria. Dalam acara seperti ini, orang mudah lupa diri, terus menyabet punggungnya dengan pisau bahkan sampai tewas. Penonton bertugas mengawasi agar pelaku zanjirzani tak sampai melewati batas.

Bergabung dalam rombongan anak-anak yang menikmati zanjirzani, juga ada beberapa lelaki dewasa yang cacat karena gempa. Semangatnya dalam memukulkan rantai pisau sangat dahsyat. Dalam hitungan menit, kulit punggungnya sudah tak terlihat lagi, terbasuh merah darah.

Iring-iringan berjalan pelan-pelan. Lelaki dewasa masih berbaris melaksanakan maatam. Sudah banyak orang yang dadanya tercabik-cabik. Darah di mana-mana. Di bagian depan, sudah seratusan anak-anak yang punggungnya tersayat-sayat. Darah juga di mana-mana.

Parade ini berjalan lambat sampai ke perempatan Madina, kemudian berbalik arah lagi menuju masjid. Sudah hampir dua jam, mereka terus memukuli dada dan menyabetkan pisau ke punggung.

Darah di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO)

Darah di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO)

Menjelang senja, rombongan sampai kembali di pelataran masjid. Bocah-bocah dan lelaki dewasa berebutan pisau, kemudian mengambil tempat di tengah lingkaran. Acara zanjirzani dilanjutkan. Kini orang semakin histeris. Bukan hanya memukuli punggung, bahkan ada yang memukulkan pisau ke kepala.

Darah terus mengalir, sampai akhirnya gelap membungkus langit Muzaffarabad. Empat puluh hari masa berkabungan Imam Hussain berakhir sudah. Tetapi, Imam Hussain hanya satu dari sebelas imam yang hari kematiannya harus diperingati. Masih ada sepuluh Imam lain. Minggu depan, masa perkabungan untuk Imam Hassan, sudah akan dimulai.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 11 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Titik Nol (156): Mandi Darah

  1. Muhammad Rizky // January 23, 2016 at 2:59 pm // Reply

    What the…
    *o* ngeri banget

  2. Serasa baca buku thriller

Leave a comment

Your email address will not be published.


*