Recommended

Titik Nol 158: Keluarga Haji Sahab

Keluarga Haji Sahab (AGUSTINUS WIBOWO)

Keluarga Haji Sahab (AGUSTINUS WIBOWO)

Masih ingat Pak Haji, atau Haji Sahab, yang meninggal di hari kedatangan saya di Noraseri? Rumah duka itu kini sudah mulai menampakkan keceriaan di tengah masa perkabungan.

Terlahir sebagai Sayyid Karim Haider Shah Kazmi, almarhum Pak Haji pernah tinggal selama 38 tahun di Saudi Arabia. Ia bekerja, menetap, dan menikah di sana. Istrinya orang Arab. Selama di tanah suci, Karim Haider sudah menunaikan ibadah haji tujuh kali. Karena itu begitu pulang, ia dikenal oleh penduduk kampung Noraseri sebagai Haji Sahab. Orang desa menyebut keluarga ini sebagai Arabwallah, orang Arab.

Pak Haji punya delapan anak. “Sebenarnya waktu itu kami sudah punya satu anak laki-laki,” kata Bu Haji, “tetapi Haji Sahab ingin satu putra lagi. Tetapi Allah berkehendak lain. Anak-anak berikutnya, sampai anak kedelapan, semua perempuan.” Bu Haji, atau Bari Amma (nenek besar) berusia lima puluhan, berkulit gelap seperti orang dari propinsi Baluchistan di selatan sana. Raut mukanya tenang, tak banyak bicara. Pakaiannya adalah shalwar kamiz sederhana dengan dupata yang berfungsi sebagai kerudung sekaligus penutup dada. Saya sempat tak percaya bahwa Bari Amma ini orang asing. Ketika baru datang dari tanah Arab dulu, bahasa Urdunya katanya tak jauh berbeda dengan bahasa Urdu saya yang amburadul, tetapi sekarang ia sudah sepenuhnya menjadi seorang wanita Pakistan.

Tajjamal dan keponakannya (AGUSTINUS WIBOWO)

Tajjamal dan keponakannya (AGUSTINUS WIBOWO)

Empat anak pertama mereka lahir di Saudi, sisanya lahir di Pakistan. Pak Haji, istrinya, dan keempat anak pertama berkewarganegaraan ganda. Anak yang kecil-kecil cuma memegang paspor Pakistan saja.

Hafizah, putri kesayangan Haji Sahab, dengan bangga mengisahkan tentang almarhum ayahnya kepada saya. “Kami sudah merelakan kepergiannya,” kata Hafizah yang baru berumur 22 tahun dengan bahasa Inggris yang cukup fasih, “ayah pergi dengan begitu tenang. Wajahnya begitu damai. Tak ada rasa sakit, tak ada penderitaan. Tak semua orang beruntung bisa meninggal seperti itu.”

Kematian Pak Haji di usia hampir 70 tahun itu bukan hanya kesedihan bagi keluarganya, tetapi juga seluruh penduduk Noraseri. “Almarhum Bapak orangnya ramah,” kata Hafizah, “hampir setiap malam keluarga kami menjamu orang. Kalau misalnya waktu makan malam tak ada tamu yang datang, Bapak malah mengeluh. Seperti ada yang kurang. Ada rasa bersalah dan tak enak.” Siapa penduduk Noraseri yang tak kenal dengan Haji Sahab, yang kemurahan hatinya sudah termasyhur di seluruh sudut gunung?

Kemurahan dan keramahtamahan yang sama dari anggota keluarga Pak Haji inilah yang mengundang saya melewatkan malam di rumah korban gempa ini, bersama putri-putri Pak Haji. Rumah ini dulu besar sekali, keluarga Pak Haji pastinya cukup terpandang di rumah ini. Beliau juga sangat moderat. Istrinya bekerja sebagai perawat dan Hafizah pun bekerja di rumah sakit yang sama. Pak Haji sangat bangga karena beberapa putrinya berpendidikan tinggi. Tak pernah Pak Haji memaksa seorang pun perempuan dalam keluarganya bersembunyi di balik purdah.

Mengenai masa lalu mereka, Hafizah berseru, “Dulu kami bahkan punya enam kamar!” Sekarang yang tersisa adalah sebuah rumah kayu sederhana dengan atap lempengan CGI. Keluarga ini hampir kehilangan semuanya. Rumah, mobil, harta benda. Para perempuan keluarga ini sekarang memasak di lapangan, karena dapur pun tak punya.

Dari semua kehilangan itu, tak ada yang lebih menyedihkan daripada si gadis bungsu yang tewas tertimpa reruntuhan rumah. “Adik bungsu kami adalah anak kesayangan Pak Haji,” lanjut Hafizah, “anaknya cerdas dan aktif. Waktu gempa bumi, ia sedang asyik menelepon dan tak sempat melarikan diri.” Pak Haji sangat kehilangan si bungsu. Dua orang cucunya yang masih balita pun ikut tewas.

Para peserta pengajian (AGUSTINUS WIBOWO)

Para peserta pengajian (AGUSTINUS WIBOWO)

Gempa di Kashmir memang mengerikan. Rumah-rumah di sini terbuat dari batu gunung yang berat. Yang tertimpa dinding batu rumah yang ambrol hampir pasti meninggal atau cacat. Sekarang yang tersisa dari rumah besar keluarga Pak Haji adalah pondasi batu di tanah lapang, sebuah kenang-kenangan dari kejayaan masa lalu yang telah hancur lebur diguncang bumi.

“Tak pernah kami membayangkan hidup seperti ini,” kata Hafizah, “hidup dari uluran tangan orang lain. Pak Haji selalu mengajarkan kami untuk membantu orang, tetapi sekarang kami menjadi orang yang membutuhkan bantuan.” Keluarga ini menerima bahan bangunan rumah dari organisasi. Bari Amma bahkan pernah minta tolong saya mencarikan seng tambahan untuk menutup dapur mereka. Dari keluarga yang senang menjamu kawan dan tetangga, kini keluarga Pak Haji harus hidup dari sumbangan beras, minyak, dan bahan pangan.

Menerima sumbangan, bagi keluarga ini, sebenarnya hal yang memalukan. “Tetapi kami tak punya pilihan lain,” kata Hafizah. Saya juga mengamati dari kehidupan penduduk Noraseri, yang terlepas penderitaan sebagai korban gempa, sebenarnya terlalu tinggi martabatnya untuk memohon belas kasihan. Di desa ini, memakai baju sumbangan pun bisa menjadi bahan olok-olok.

Terlepas dari kesusahan, keluarga mendiang Pak Haji menyelenggarakan pengajian rutin setiap Kamis. Ada ustadz yang datang, juga anak-anak tetangga – semuanya perempuan – yang ributnya bukan main. Habis mengaji mereka melantunkan naat, alunan melodi puisi Islami tentang kebesaran Allah dan Rasulullah.

Hafizah dan kakak-kakaknya sibuk menyiapkan kari sapi dan nasi biryani untuk santapan bocah-bocah ini. Dalam sekejap lantai rumah menjadi jorok oleh ceceran nasi. Bocah-bocah langsung berhamburan pulang sehabis makan.

Suguhan nasi biryani selepas pengajian (AGUSTINUS WIBOWO)

Suguhan nasi biryani selepas pengajian (AGUSTINUS WIBOWO)

Ganda log! Orang-orang jorok!” umpat Samera, kakak Hafizah, memunguti butiran nasi dari lantai kamar. Adik-adiknya tertawa, membantu Samera membersihkan ruangan itu. Mereka sebenarnya senang sekali dengan acara pengajian ini, walaupun harus selalu repot memasak dan membersihkan rumah setelahnya. Ajaran almarhum Pak Haji masih langgeng di keluarga ini.

Saya masih mengagumi kemurahan hati yang tak pernah mengering dari balik reruntuhan puing-puing rumah  batu ini.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 13 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*