Recommended

Titik Nol (161): Pak Dokter yang Bukan Dokter

Karena alasan keamanan, keluarga di Kashmir menyimpan senjata api (AGUSTINUS WIBOWO)

Karena alasan keamanan, keluarga di Kashmir menyimpan senjata api (AGUSTINUS WIBOWO)

Orang-orang Noraseri menyebut pria berjenggot putih yang murah senyum ini sebagai Doctor Sahab, Pak Dokter. Saya pun mengamininya sebagai dokter, setelah mendengar ceramahnya tentang obat-obatan anti diare.

“Hah, kau kira Dokter Sahab itu benar-benar dokter?” Hafizah, putri Haji Sahab yang juga bekerja di rumah sakit tertawa tergelak-gelak, “Bukan. Dia sama sekali bukan dokter. Tak tahu mengapa semua orang sini memanggilnya Pak Dokter.”

Pak Dokter yang satu ini, saudara kandung Basyir Sahab yang menjaga keamanan tenda kami, hampir setiap sore bertandang ke perkemahan kami. Orangnya humoris dan tak pernah kehabisan bahan lelucon. Walaupun sudah tua, Pak Dokter suka sekali bermain dengan kami yang muda-muda, mulai dari kartu sampai kriket, semua dia jagonya.

“Saya dulu satu sekolah dengan Presiden Sukarno,” saya teringat salah satu bualan Pak Dokter yang paling dahsyat, “jadi jangan lupa kirim peci dari Indonesia, paling sedikit 50 biji. Nanti penduduk desa Noraseri semua akan jadi seperti Presiden Sukarno, sahabat karibku itu.”

Di kesempatan lain, Pak Dokter menyuruh saya cepat-cepat menikah. “Kalau kamu tidak menikah, nanti kamu tidak bisa dapat bahan bangunan rumah!” Organisasi kami memang punya ketentuan, hanya mendistribusikan bahan bangunan shelter permanen kepada keluarga. “Tak peduli betapa tuanya kamu, kalau belum punya istri, tetap tidak mendapat bahan shelter. Makanya, cepat kawin!”

Saya selalu tergelak. Di antara sekian banyak gurauan yang saya dengar dari orang-orang Noraseri yang berusaha memendam tragedi masa lalu mereka dalam timbunan tawa dan harapan, humor Pak Dokter lah yang selalu terpatri dalam ingatan saya. Saya teringat betapa ia ingin sekali dikenalkan pada gadis Indonesia untuk dijadikan istri. Dulu saya kira itu hanya sekadar lelucon kotor. Tetapi sebenarnya Pak Dokter sedang memendam kepedihan hatinya setelah hidupnya diluluhlantakkan bencana. Belum lagi tawanya yang terkekeh-kekeh itu. Hari-hari kami akan jadi teramat sepi kalau saja Pak Dokter absen dari tenda kami.

Hingga pada akhirnya, semua hiburan di tenda itu menjadi kenangan. Proyek kami di Noraseri telah berakhir. Satu per satu kawan meninggalkan kamp ini. Satu per satu tenda digulung. Hanya saya seorang diri yang tersisa, mengunjungi keluarga-keluarga di Noraseri yang masih berat saya tinggalkan.

Dokter Sahab sangat terobsesi dengan peci Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO)

Dokter Sahab sangat terobsesi dengan peci Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO)

Pak Dokter menampung saya selama dua malam. Justru di hari-hari terakhir inilah, saya baru mengenal sisi lain kehidupan pak tua yang terlahir sebagai Khani Zaman ini. “Saya memang bukan dokter,” kata Pak Zaman jujur, “dulu saya bekerja sebagai ahli farmasi. Kemudian saya menjadi supir ambulan Edhi Foundation.” Edhi Foundation adalah organisasi kemanusiaan terbesar di Pakistan, didirikan oleh Abdul Sattar Edhi. Organisasi ini tercatat dalam Guiness Book of Record sebagai penyedia layanan ambulan terbesar di dunia.

Di mana-mana di daerah gempa Kashmir ini saya melihat mobil milik Edhi Foundation. Sungguh saya kagum dengan jaringan organisasi ini yang merambah sampai ke sudut-sudut terpencil pegunungan ini. “Ah, jangan kau kagum berlebihan,” kata Pak ‘Dokter’ Zaman, “saya tahu siapa Edhi itu sebenarnya.” Entah apakah koneksinya dengan Edhi selevel dengan ‘kedekatannya’ dengan Presiden Sukarno.

Dulu Pak Dokter ini termasuk orang terpandang juga di Noraseri. Rumahnya ada dua. Yang satu sudah rata dengan tanah. Yang satunya lagi retak-retak, terlalu berbahaya untuk ditinggali. Sekarang keluarga ini tinggal dalam rumah permanen sederhana yang baru saja selesai dibangun.

Faizah dan Laiba (AGUSTINUS WIBOWO)

Faizah dan Laiba (AGUSTINUS WIBOWO)

Istri tercinta Pak Dokter meninggal tertimpa rumah yang ambruk. Kepergian istrinya itulah yang menjadi luka hati paling dalam Pak Dokter. Dia selalu mengalihkan pembicaraan ke arah lelucon segar begitu teringat lagi akan mendiang istrinya.

Untunglah ada Faizah, menantu perempuannya yang setia menemaninya. Juga Laiba, gadis manis berumur dua tahun – putri Faizah sekaligus buah hati Pak Dokter. Suami Faizah kerja di Dubai. Pak Dokter punya empat orang putra. Selain yang di Dubai, ada yang bekerja sebagai kameraman BBC di Muzaffarabad, pemilik toko di Paktika, dan si bungsu Junaid, pemuda 20 tahun yang masih sekolah.

Pak Dokter dengan tawanya yang khas menyambut saya dengan hangat. Bukan hanya berusaha menyalakan televisi satelit yang menangkap siaran dari negeri Tiongkok, Pak Dokter juga berepot-repot memasak kari ayam untuk saya. Hanya demi saya, Pak Dokter menyembelih semua ayamnya, dan menyisakan satu ekor ayam betina yang bertelur setiap hari.

Saya menatap makanan yang teramat sangat mewah tersaji di atas kasur, pengganti meja makan kami. Tumpukan potongan ayam yang jumlahnya lusinan hanya untuk saya karena Pak Dokter punya pantangan makan daging. Jadi tak enak hati pula rasanya.

Faizah makan di kamar sebelah. Biasanya tamu lelaki tidak makan bersama tuan rumah perempuan. Sehabis makan, Faizah mengetuk pintu kamar, bergabung bersama kami. Pada mulanya ia malu-malu untuk bicara, tetapi akhirnya Faizah begitu bebas menceritakan kisah-kisahnya

“Biasanya saya tak pernah bertemu dan berbincang dengan tamu seperti ini,” kata Faizah, “tetapi kamu tamu istimewa.” Faizah banyak tahu tentang saya dari cerita Pak Dokter. Faizah juga sangat cinta dengan mertuanya, sampai merelakan melepaskan pekerjaannya demi merawat Pak Dokter dan Laiba.

Faizah berasal dari desa di dekat perbatasan India, tempat pertempuran antara pasukan Pakistan dan India pernah bertempur. “Waktu itu saya masih kecil, sendirian di rumah. Tiba-tiba terdengar rentetan senjata, hujan bom, dan pasukan India sudah nampak dekat sekali.” Ketika dua gajah berperang, pelanduk mati di tengah-tengah. Rakyat Kashmir pun terjepit di antara perselisihan kedua raksasa.

Junaid berpose dengan bedil bapaknya (AGUSTINUS WIBOWO)

Junaid berpose dengan bedil bapaknya (AGUSTINUS WIBOWO)

Karena keamanan yang tak menentu, kepemilikan senjata cukup lazim di sini. Pak Dokter punya beberapa senapan laras panjang. Junaid juga berpose gagah dengan bedil otomatis dan Kalashnikov milik ayahnya. Entah mengapa saya tidak merasakan apa-apa melihat bedil yang bertebaran di sana-sini. Ini sudah menjadi bagian hidup di garis depan pertempuran.

Setelah bersusah payah menyalakan televisi, akhirnya Pak Dokter berhasil menyajikan siaran berita dari Tiongkok. Ada berita tentang skandal pemilihan perdana menteri Thailand dan gempa bumi di Iran. Berita lain tentang perdagangan uranium Australia, eksekusi pemimpin al-Qaeda, sampai harga minyak dunia. Sejak saya bekerja di Noraseri, sudah lama sekali saya tidak mendengar berita dari dunia luar. Seolah-olah saya sudah bertapa puluhan tahun dan setiap saat melihat acara berita selalu terkejut dengan kecepatan perputaran roda waktu di luar sana.

Dunia saya sekarang adalah Noraseri, terkunci di tengah pedalaman pegunungan Kashmir, bersama orang-orang hebat yang tak putus asa bangkit dari keterpurukan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 18 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol (161): Pak Dokter yang Bukan Dokter

  1. Pak dokter yang bersenjata jadinya 🙂 Wajar sih, untuk melindungi diri disana ya mas agustinus 🙂

Leave a comment

Your email address will not be published.


*