Recommended

Titik Nol 180: Heera Mandi (2)

Kota tua Lahore dengan gang-gang kecil yang bak rumah sesat menyimpan banyak kejutan. Salah satunya, Heera Mandi (AGUSTINUS WIBOWO)

Kota tua Lahore dengan gang-gang kecil yang bak rumah sesat menyimpan banyak kejutan. Salah satunya, Heera Mandi (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya terjebak di Heera Mandi, kompleks prostitusi terbesar di Pakistan.

Kamar ini berukuran cuma 2 x 3 meter. Dindingnya dicat biru. Foto-foto keluarga bergantungan di dinding. Ada pintu menuju dapur di ruangan sebelah. Di belakang saya duduk ada tangga. Melalui tangga inilah Jawad naik dan sudah lima menit tak turun juga.

Ibu tua tak banyak bicara. Saya berbasa-basi sedikit, yang dijawab hanya dengan senyuman. Mengapa ibu ini tidur tak menutup pintu rumah? Mungkin karena hawa yang panas, saya mencoba berpikir positif.

Jawad turun. Ia minta izin pada ibu itu untuk membawa saya naik.

“Ini turis yang ingin melihat-lihat atap rumah,” katanya dalam bahasa Urdu.

Kebohongannya mulai terbongkar.

“Ini bukan rumahku,” bisiknya, “dan perempuan itu bukan ibuku. Sekarang, ayo kamu naik.” Ia memaksa.

Tangga ini mengantar kami ke lantai dua, sebuah ruangan yang sama persis ukurannya dengan yang di bawah tadi. Selain televisi dan foto-foto keluarga di tembok, tak ada apa-apa lagi. Tak ada siapa-siapa. Kami terus naik tangga sampai ke atap rumah.

Rumah ini berbentuk kotak sederhana. Atapnya datar. Ada sebuah charpoy di salah satu sudutnya. Charpoy adalah kasur di India dan Pakistan yang terbuat dari kayu atau bambu, dengan jalinan tali tambang sebagai tempat tidur.

Bintang berkelip-kelip di langit kelam. Kubah-kubah megah Badshahi Masjid tampak berkilau diterangi lampu warna-warni.

“Aku mau lihat ‘itu’-mu,” kata Jawad tiba-tiba, mengagetkan. “Berapa ukurannya? Boleh aku pegang?”

Saya mencoba mengalihkan pembicaraan mengenai sejarah dan kehidupan Heera Mandi, sebelum ia melangkah terlalu jauh.

“Kamu bukan jurnalis kan? Bukan penulis kan? Jangan coba-coba memotret siapa pun di sini, jangan tanya macam-macam dengan orang mana pun di sini.”

Jawad duduk di sebelah saya. Tangannya mulai meraba-raba. Sambil mewawancarai saya harus sibuk mengembalikan tangan nakal Jawad ke tempat semestinya.

“Tempat ini memang rumah untuk bercinta,” katanya.

Putri-putri perempuan tua itu tadi adalah pekerja seks. Jawad mengaku membawa saya ke sini untuk ‘jajan’.

“Tetapi aku bukan germo,” tegasnya, “maksudku, kalau kamu bisa dapat harga istimewa. Kamu bayar 1000 Rupee, saya 500 Rupee, kita bisa patungan untuk dapat satu gadis.”

Lebih mahal daripada harga rata-rata yang saya tahu. Untuk pertunjukan erotis, biasanya 300 sampai 400 Rupee. Untuk hubungan seksual kisarannya 800 Rupee. Yang paling mahal adalah gadis perawan, sampai ribuan Rupee. Tempat gelap dan kotor ini adalah lembah hitam di mana para gadis mengoyak mahkota keperawanan mereka demi sekadar berapa lembar uang Rupee. Mimpi-mimpi digantung ke langit yang kelam, bersama desahan kesakitan dan derik charpoy, di atas tubuh berbulu lelaki hidung belang. Hari-hari berikutnya, mereka adalah tubuh-tubuh terpenjara dalam kebahagiaan maya di Heera Mandi, berkawan dengan penyakit nista dan cibiran orang.

Jawad adalah salah satu lelaki yang rajin mengunjungi kawasan ini. Saya merasa aneh sekali dengan pria ini, yang tangannya rajin sekali menjamah. Sekarang tanpa tedeng aling-aling ia meminta saya untuk membuka baju, karena ia ingin ‘memeriksa’ lebih jauh. Apalagi yang mau diperiksa? Jawad bukan dokter. Saya tidak mau tubuh saya dipegang-pegang oleh pria tak jelas asal-usulnya ini.

Jawad kecewa.

“Kamu teman, aku teman, apa lagi yang kamu takutkan?” keluhnya.

Hubungan pertemanan antar pria di Pakistan memang sudah lazim saling menjamah, tetapi tidak sampai tahap saling ‘periksa’, bukan?

Lelaki ini gelisah. Sekali-sekali ia berdiri, memandang ke barisan rumah-rumah kumuh serupa yang tersebar semrawut sejauh mata memandang. Kemudian duduk lagi, memohon-mohon agar saya berubah pikiran. Kemudian menuruni anak tangga, hanya untuk dua menit, untuk ‘bersenang-senang’ dengan si anak gadis. Dua menit? Dia terlalu pesimis dengan daya tahan tubuhnya.

Tak sampai satu menit, Jawad sudah naik lagi. Wajahnya sekarang berseri-seri. Tetapi kegelisahannya masih tetap sama. Duduk di charpoy, minta ijin menjamah dan memeriksa, kemudian berdiri lagi menatap bintang, duduk lagi. Sekarang sambil berbagi kisah duka.

“Perempuan tua itu, sejatinya memang ibu dua putri cantik,” celotehnya, “dan aku jatuh cinta pada si adik. Aku mau dekat dengannya, tetapi kalau aku datang sendirian, si ibu pasti curiga. Makanya aku bawa kamu ke sini, bilang kalau kamu adalah turis yang mau melihat-lihat atap rumah.”

Kebohongan apa lagi ini? Tiba-tiba Jawad mengumpat.

“Perempuan brengsek! Kita sudah menunggu terlalu lama di sini, mana tehnya tak datang-datang juga? Aku sudah kasih dia 30 Rupee!”

Saya melirik arloji. Sebenarnya kami baru sepuluh menit saja di atap rumah ini. Tetapi karena saya harus melewatkan waktu dengan seorang lelaki yang tak bisa diterka isi hatinya, rasanya sudah berjam-jam penderitaan ini.

“Tiga puluh Rupee? Untuk teh saja? Mahal sekali?” saya mengalihkan pembicaraan. “Sepuluh Rupee untuk gula, 10 untuk tehnya, dan 10 untuk ongkos perempuan itu,” Jawad mendengus kesal.

Tiba-tiba seorang gadis cantik berkulit hitam manis naik, berkerudung dupatta, tersenyum ramah sambil menyapa kami berdua, dalam remang-remang malam Heera Mandi. Tangan Jawad pun tak melewatkan kesempatan untuk menjamahnya. Gadis itu langsung turun lagi.

“Dia itu pacarku,” kata Jawad bangga.

Saya sudah tak tahan lagi. Pertanyaan-pertanyaan Jawad membuat saya merasa tak enak. Saya memaksa pulang. Lupakan potret ibu dan saudara-saudara perempuan, lupakan kisah-kisah Heera Mandi. Jawad ke sini karena ia ingin mendapat pemuasan nafsunya, entah dari gadis-gadis itu atau dari saya.

“Kamu bukan jurnalis kan? Bukan penulis kan?” katanya masih meyakinkan ketika mengantar saya keluar dari lorong-lorong sesat ini.

You forget me, I forget you, OK?” katanya mengakhiri hubungan di antara kami.

Kami berpisah. Sosok pria itu ditelan bayang-bayang malam, bersama dengusan dan lenguhan di atas charpoy, tersembunyi di balik barisan rumah kumuh tanpa daun pintu. Bulan bersinar terang, membasuh Heera Mandi yang justru mulai menggeliat.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 14 April 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol 180: Heera Mandi (2)

Leave a Reply to Bundoh Iswanti Ajah Cancel reply

Your email address will not be published.


*