Recommended

Titik Nol 183: Matahari yang Mendekat

Para chowkidar di makam Shah Shams sedang menikmati santap siang (AGUSTINUS WIBOWO)

Para chowkidar di makam Shah Shams sedang menikmati santap siang (AGUSTINUS WIBOWO)

Matahari Multan bersinar terik, membakar manusia-manusia yang merayap di lorong sempit dan menyesatkan kota Kuno. Di musim panas seperti ini, suhu siang hari bisa mencapai 52 derajad celcius, cukup untuk membikin pingsan. Mengapa Multan demikian panas?

Alkisah Shams-ud-Din Sabzwari adalah seorang guru suci yang umurnya lebih dari seratus tahun. Ia berasal dari kota Tabrez di Iran, hidup antara abad ke-12 sampai 13. Seperti guru suci Sufi lainnya, ia datang ke Multan dan mengajar di sini. Shah Shams, demikian ia dikenal, sangat tersohor dengan mukjizatnya.

Dalam bahasa Arab, kata shams berarti matahari. Dari sekian banyak kisah tentang sang guru, salah satu mukjizat yang dilakukan oleh Shah Shams adalah memindahkan matahari, mendekatkan sang surya ke tubuhnya. Akibatnya, kota Multan terasa panas dan membakar. Kisah serupa juga pernah saya baca tentang kota Kandahar di Afghanistan selatan, di mana seorang guru Sufi bernama Baba Farid menghukum kota itu karena penduduknya yang tak ramah dengan mendekatkan matahari. Ajaran Sufi penuh dengan kisah dan legenda mukjizat macam ini.

Seperti orang suci lainnya, Shah Shams juga punya mazar-nya di Multan. Di luar makam, ada toko yang khusus menjual barang-barang Syiah, seperti foto para Imam, rantai untuk zanjirzani, pajangan berpigura bertuliskan “Live like Ali, Die like Hussain.” Alunan kendang dan harmonium musik qawwali langsung menyambut peziarah yang datang. Dari dalam ruang pekuburan terdengar teriakan “Ya Ali!” dan “Ya Ali Madad!” sambung menyambung.

Apakah hanya pengikut Ali yang berziarah di sini? Seorang chowkidar – penjaga makam – berkata, “Semua Muslim adalah pengikut Ali.” Apakah Shah Shams, sang guru suci, adalah orang Syiah? Chowkidar tak menyangkal, “Shah Shams adalah ahl-i-Sunnat. Ia juga menegakkan Sunnat Rasul.”

Pemain qawwali di makam Shah Shams (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemain qawwali di makam Shah Shams (AGUSTINUS WIBOWO)

Kalau Shah Shams adalah Sunni, mengapa ada tulisan ‘Ya Ali Madad’ di makamnya? Chowkidar menjawab bahwa hiasan itu adalah sumbangan peziarah, dan tidak mungkin pihak mazar menolak sumbangan itu.

Saya kurang puas dengan jawabannya yang tidak pasti. Kami makan siang bersama di ruang petugas makam. Para chowkidar sempat berdebat tentang seorang lelaki yang mengolok-olok kalimah syahadat orang Syiah di tengah pasar. Kemudian pembicaraan dibelokkan seorang penjaga makam yang mengaku bisa bahasa Indonesia. Ia hanya tahu ‘selamat pagi’ dan ‘istri’, diajari seorang teman waktu bekerja di Saudi Arabia. Kata ‘istri’, dalam bahasa Hindi juga berarti sama dengan dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa Urdu artinya adalah ‘setrika’.

Setelah makan siang, chowkidar harus bekerja keras untuk tugas mingguan – menghitung sumbangan dari peziarah. Pemandangan yang terpampang di depan saya sungguh menakjubkan. Gunung uang. Kata seorang penjaga makam yang bersurban, sumbangan peziarah tiap minggu sedikitnya mencapai 20.000 Rupee. Di hari sibuk, misalnya perayaan Urs, bisa sampai sepuluh kali lipat. Para chowkidar memisahkan uang menurut nilai nominalnya. Saya hanya melihat selembar uang 500 Rupee. Uang seratusan cukup banyak, lima puluhan lebih banyak lagi, duapuluhan seperti bukit kecil, uang sepuluhan bergunung-gunung. Juga uang logam yang tak terhitung jumlahnya. Untung saya tidak kebagian tugas seperti ini. Bisa kaku juga jari tangan memisahkan uang sebanyak ini.

Ke mana perginya uang sumbangan sebanyak ini. Syed Zahid Hussain, keturunan langsung dari Shah Shams yang sekarang menjadi Pir Sahab – wali – dari makam ini mengatakan bahwa semuanya akan dikembalikan kepada pemerintah. Setiap kali perhitungan uang sumbangan selalu ada bankir pemerintah. Sepeser pun tak akan bocor. Terserah nanti pemerintah yang akan mengatur penggunaannya.

Menghitung sumbangan sukarela (AGUSTINUS WIBOWO)

Menghitung sumbangan sukarela (AGUSTINUS WIBOWO)

Matahari semakin terik bersinar. Sungguh saya tak mengerti kenapa Shah Shams harus mendekatkan mentari ke atas tubuhnya, sehingga penduduk Multan harus terbakar selama beratus-ratus tahun sesudah kepergiannya. Walaupun tubuh sudah lemas, saya masih memaksakan diri untuk mencapai Masjid Eid Gah yang menjadi kebanggan Multan.

Masjid ini adalah salah satu contoh keagungan arsitektur Mughal. Warnanya biru cerah, penuh hiasan yang menyejukkan di musim panas begini. Gagah dengan kubah putih dan barisan menara. Umurnya sudah lebih seratus tahun. Lapangannya luas, tempat bersembahyang ketika umat membludak di Hari Lebaran atau Idul Qurban.

Bocah-bocah kecil berjubah dan berkopiah menekuni Al Qur’an di dalam masjid. Mereka adalah murid-murid Madrasah. Lapangan luar juga dipakai mahasiswa belajar.

Saya terkejut dengan seorang pemuda yang mati-matian menghafal buku teks bahasa Inggris.

“Ujian Bahasa Inggris memang hapalan,” katanya, “nanti guru akan memilih sebuah judul teks yang ada di buku secara acak. Ujiannya kami harus menulis teks yang disebutkan itu persis sama dengan yang tertulis di buku, dari awal sampai akhir.”

Masjid Eid Gah (AGUSTINUS WIBOWO)

Masjid Eid Gah (AGUSTINUS WIBOWO)

Sungguh seram sekali ujiannya. Saya melihat sebuah teks bacaan. Panjangnya lebih dari 385 kata. Total ada delapan teks yang harus dihapal. Berat sekali beban pelajaran pemuda ini. Menghapal… menghapal… menghapal… membuat otak sampai pecah tetapi entah apa gunanya. Teks bahasa Inggris di buku pelajaran yang dihapalkannya pun banyak memuat kesalahan tata bahasa dan pelafalan.

Mengapa belajar di masjid?

“Saya dari luar kota, tetapi tempat kos saya di dekat sini,” kata si pemuda, “Beberapa hari lagi ujian BA. Belajar di sini lebih enak. Tenang dan sepi.”

BA adalah Bachelor of Arts. Hingga sekarang Pakistan masih mengikuti sistem pendidikan ala Inggris namun dengan kualitas yang asli Pakistan, menjadikan tingkat pendidikan di negara ini lebih rendah daripada musuh bebuyutan India.

Tetapi saya sungguh kagum semangat belajar bocah ini. Di bawah teriknya matahari Multan, yang semakin lama semakin mendekat karena mukjizat Shah Shams, ia terus tenggelam dalam hapalan buku-bukunya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 April 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol 183: Matahari yang Mendekat

  1. Apa karya terbaru yang bakal keluar ni om?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*