Recommended

Titik Nol 186: Anak Muda

Punjab, ‘lima sungai’, adalah propinsi tersubur di Pakistan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Punjab, ‘lima sungai’, adalah propinsi tersubur di Pakistan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari sekadar berkenalan di terminal bus, sekarang pemuda ini sudah mengajak saya menginap di rumahnya di Bahawalpur.

Namanya Amir. Tinggi, gagah, berpostur seperti tentara, dan berkulit gelap. Tak bisa bahasa Inggris. Kalau berbicara bahasa Urdu, setiap kalimat hampir selalu diakhiri kata matlab, yang artinya adalah ‘yang artinya’, seolah-olah setiap kalimatnya terlalu susah dimengerti dan pendengar harus selalu butuh penjelasan lebih lanjut. Sehari-hari ia bicara bahasa Siraiki, yang menjadi bahasa daerah di Punjab selatan.

“Kamu harus belajar bahasa Siraiki, matlab bahasa ini sangat indah dan lucu,” demikian sarannya.

Rumah Amir terletak di daerah Model Town, sebuah perumahan baru di pinggiran kota kuno Bahawalpur. Dulu Bahawalpur adalah kerajaan semi merdeka, dipimpin oleh seorang Nawab. Nawab Bahadur memutuskan untuk bergabung bersama Pakistan pada tahun 1947, dan tahun 1955 kerajaannya lenyap, melebur dalam Propinsi Pakistan Barat. Sekarang, Bahawalpur adalah bagian propinsi Punjab yang menampilkan khasanah kekayaan dan kejayaannya.

Bahawalpur tentu pernah menjadi tempat yang sangat makmur. Bukan hanya istana milik Nawab yang masih megah berdiri, tetapi juga benteng besar di tengah padang gurun Cholistan yang menunjukkan betapa gagahnya negeri ini dulu. Setelah sekian lama berada di bawah panji-panji Pakistan, Bahawalpur mulai menunjukkan benih-benih kesemrawutan di sana sini. Tetapi masih ada bekas-bekas keteraturan tata kota yang sistematis, peninggalan masa lalunya yang gemilang.

Tempat tinggal Amir termasuk daerah perpaduan antara kesemrawutan dan keteraturan. Jalan raya beraspal membentang lurus, membagi perumahan menjadi blok-blok. Tetapi begitu memasuki kompleks perumahan ini, rumah kotak-kotak tersebar semrawut, walaupun masih punya keteraturan lain – keseragaman bentuk dan ukuran.

Setiap rumah punya petak pekarangan. Punjab memang propinsi yang paling subur di Pakistan, sudah termasyur akan pertaniannya sepanjang zaman. Nama Punjab berasal dari kata panj yang berarti lima, ab berarti air atau sungai. Ada lima sungai besar yang mengalir di propinsi ini, menjadikannya tetap hijau di musim panas yang kering sekali pun.

Rumah Amir cukup sederhana. Ada satu TV, dua ranjang, sebilah charpoi, dan kipas angin di langit-langit. Kamar mandi dan toilet ada di pekarangan, tidak di dalam rumah. Pintu menghubungkan kamar ini dengan kamar lainnya, tempat lemari es. Sebenarnya keluarga Amir sudah dibilang cukup makmur, apalagi katanya ayahnya pegawai pemerintahan dan kantornya di kompleks perumahan ini.

Bangunan perpustakaan bergaya arsitektur Eropa peninggalan sang Nawab (AGUSTINUS WIBOWO)

Bangunan perpustakaan bergaya arsitektur Eropa peninggalan sang Nawab (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi sebenarnya ini bukan rumah Amir. Matlab, rumahnya sebenarnya ada di sebelah. Ini rumah pamannya. Amir sengaja tidak mengajak saya ke rumahnya, karena di rumah ada ibunya yang tak boleh saya lihat. Urusan interaksi dengan lawan jenis di Pakistan selalu jadi hal yang teramat sensitif. Untuk melayani saya yang jadi tamu sekaligus menghormati ibunya yang terlindung purdah, ia hilir mudik membawa nasi, sup daging, dan es sirup dari rumahnya. Sekali lagi, keramahtamahan orang Pakistan membuat hati saya terenyuh. Orang yang baru saya kenal di terminal pun sudah memperlakukan saya seperti kawan lama.

Sore hari, ketika matahari sudah mulai berkurang teriknya, Amir mengajak saya berkeliling kota naik sepeda motor. Ia mengajak kedua sepupunya, dan beberapa kawan lainnya. Jadilah saya ikut geng sepeda motor yang kerjanya kebut-kebutan di jalan tanpa helm. Saya hanya bisa pasrah pada boncengan Amir. Gaya menyetirnya parah sekali. Matlab, sekali tancap gas, ngebut, pelan, ngebut lagi, pelan lagi. Selain berisik juga menjengkelkan pengendara lainnya. Matlab, di tengah jalan ramai masih sempat berzigzag. Ia bahkan memperagakan bertumpu pada satu roda, membuat jantung saya hampir copot ikut serta kawanan geng ini.

Tetapi satu hal yang saya suka dari Amir, orangnya jujur dan tidak munafik. Ia tak menutupi kebiasaan buruknya dengan apologi agama atau budaya. Misalnya tentang pacarnya di Faisalabad yang rajin menelpon. Punya pacar di Pakistan termasuk daftar kebiasaan buruk yang biasanya tak diceritakan pada orang lain. Walaupun demikian, Amir masih gemar main perempuan. Kalau ke Lahore tempat favoritnya tentu saja Heera Mandi. Kalau tak ada cewek, bocah pun jadi. Matlab, Amir bisa memperoleh kepuasan dari semua jenis pemuda dan pemudi. Bahkan gadis bercadar pekat dari ujung kepala pun masih ia goda.

Kebiasannya, kalau ada sesosok tubuh perempuan yang lewat di jalan sendirian, asalkan bukan memakai burqa yang menutup mata, pasti Amir dan sepupu-sepupunya ramai membunyikan klakson. Gadis-gadis itu biasanya cuek saja, karena perempuan teriak-teriak di jalanan sungguh memalukan. Bagi Amir, mengklakson gadis sampai mereka ketakutan atau jengkel sudah merupakan hiburan tersendiri.

Bukankah kita harus menghormati perempuan yang sudah membungkus diri rapat-rapat dengan purdah?

“Kalau begitu caranya, bisa-bisa kita tidak punya mainan lagi,” tangkis Amir.

Mungkin itu pula sebabnya kadang Amir juga menyalurkan nafsunya dengan laki-laki. Matlab, tak ada cinta, hanya penyaluran belaka.

Di saat santai, Amir dan kawan satu geng menyempatkan diri menonton pertandingan sepak bola di stadion (AGUSTINUS WIBOWO)

Di saat santai, Amir dan kawan satu geng menyempatkan diri menonton pertandingan sepak bola di stadion (AGUSTINUS WIBOWO)

Hobinya yang lain adalah mengunyah pan, buah pinang yang disiram bumbu dan dibungkus daun, dikunyah seperti sirih, lalu diludahkan. Hasilnya, gigi dan bibirnya merah seperti habis minum darah. Kalau anak muda Indonesia tak pernah menganggap mengunyah sirih sebagai kebiasaan yang cool, bagi Amir justru itu lambang kemachoannya dan kegagahannya. Saking doyannya mengulum pan, Amir menyebutnya sebagai achar – acar. Pan juga adalah favorit Amir untuk menemani minum alkohol.

Malam itu saya diajak Amin berkumpul dengan gengnya, di rumah sepupunya yang kebetulan lagi kosong karena bapak ibunya sedang keluar kota. Jadilah malam ini, malam sharbat. Arti harafiah sharbat adalah sirup, tetapi bagi Amir sirup ini jauh lebih nikmat – arak bening yang memabukkan.

Pesta mabuk-mabukan ini dimulai pukul 10 malam. Di Pakistan, Republik Islam yang menerapkan aturan Syariah, jual beli minuman beralkohol melanggar hukum. Orang asing bisa membeli bir di kota besar, itu pun kalau punya sertifikat dari kementrian. Lalu dari mana Amir dan kawan-kawannya mendapatkan bahan bermabuk ria ini?

“Di dekat sini ada kampung orang Kristen,” jelas seorang anggota geng, “mereka sembunyi-sembunyi bikin arak di rumah mereka. Lalu dijual.”

Harga cairan bening berbau tajam ini cuma 100 Rupiah seplastik.

Minum arak dari satu gelas yang sama adalah lambang persaudaraan anggota geng (AGUSTINUS WIBOWO)

Minum arak dari satu gelas yang sama adalah lambang persaudaraan anggota geng (AGUSTINUS WIBOWO)

Mabuk bersama bagi anggota geng adalah upacara persaudaraan. Pertama-tama, musik Bollywood dinyalakan keras-keras. Para pemuda ini menari seperti anak kecil, mengiringi lagu Zarra Jhoom Jhoom yang lagi nge-pop. Kemudian arak dicampur es batu dalam teko besar, dikocok-kocok, dituang ke dalam gelas. Masing-masing mereka bergiliran meneguk dari gelas yang sama. Kadang, untuk menambah rasa, dicampur dengan Coca Cola. Setiap selesai meneguk, mereka menelan namkin, snack kacang dari Asia Selatan, yang katanya untuk menawarkan alkohol.

Ritual persaudaraan sebuah klik anak muda, membuat saya penasaran tanpa ingin ikut serta. Ritual ini berakhir dengan penuh kecemasan ketika Amir muntah-muntah. Perutnya seperti meledak, isinya tak henti tercurah sampai sekujur tubuhnya lemah.

Pan yang ditelannya – lambang kegagahan dan kemachoannya – rupanya tak bersahabat dengan sharbat bening – lambang kejantanannya yang lain. Seorang pengebut jalanan ini akhirnya harus takluk di pinggir jalan, matlab, sekarang ia malah harus diangkut pulang sebagai pemabuk yang tak sadarkan diri.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 22 April 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol 186: Anak Muda

  1. Hahaha matlab ceritamu sungguh kocak

Leave a comment

Your email address will not be published.


*